Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Perppu Ormas Disahkan, "Quo Vadis Khilafah"?

26 Oktober 2017   15:42 Diperbarui: 26 Oktober 2017   16:35 1573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jalan panjang dan berliku Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat (Ormas) akhirnya menemukan ujungnya. Selasa (24/10/2017) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam sidang paripurna akhirnya menerima (menyetujui) dan mensahkan Perppu Ormas tersebut menjadi Undang-undang.

Sejak dilansir oleh Pemerintah, Perppu Ormas tersebut menimbulkan polemik, antara yang mendukung dan yang menolak. Terjadi perdebatan antara pro dan kontra, yang kemudian melahirkan pula kontroversi.

Pada sisi melindungi kepentingan  bangsa dan negara, Perppu Ormas tersebut   mendapat dukungan dari banyak pihak. Tapi pada saat yang bersamaan, tak sedikit pula yang menentangnya. Resistensi tersebut terutama berasal dari kelompok yang mengatasnamakan dirinya sebagai pejuang hak azasi manusia (HAM) dan ormas-ormas berbasis agama, serta partai politik (parpol) oposisi Pemerintah.

Umumnya kelompok penentang terhadap Perppu Ormas beralasan bahwa regulasi itu bertentangan dengan konstitusi (UUD 1945), khususnya terkait dengan kebebasan berkumpul dan berserikat untuk menyampikan pikiran dan pendapat. Selain itu, menurut kelompok penentang ini bahwa semangat Perppu Ormas itu pasti akan memberangus kebebasan dan azas demokrasi. 

Bagi kelompok penentang ini, kebebasan berkumpul dan berserikat untuk menyampaikan pikiran dan pendapat merupakan HAM bagi setiap individu dan kelompok. Karena itu, jika membatasi seseorang dan kelompok untuk berkumpul dan berserikat maka sudah pasti melanggar HAM, sekaligus melanggar demokrasi.

Sampai di sini bila kita sedikit cermat maka akan terlihat cara pandang yang saling kontradiktif dari kelompok penentang UU Ormas yang baru disahkan ini. Di satu sisi menolak hasil pemikiran manusia yang dikategorikan sebagai sekuler dan bersifat thogut, seperti sistem demokrasi (lihat foto di atas), tapi atas alasan demokrasi dan HAM pula mereka berdalih bahwa Pemerintah telah bersikap represis, sewenang-wenang, dan diktator.

Padahal Pemerintah membuka pintu yang selebar-lebarnya bagi kelompok HTI, dkk. untuk melakukan upaya hukum bila menganggap UU Ormas ini bertentangan dengan konstitusi, demokrasi, dan HAM, sebagaimana mereka dengung-dengungkan. Tidakkah mereka sadari bahwa sikap saling bertolak belakang ini menunjukkan sikap hipokrit sejati alias munafik? Sebuah sikap yang sangat dibenci oleh Islam.

Pada sisi lain, Pemerintah juga dituntut untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia dari kemungkinan rongrongan yang dapat  menyebabkan kapal Indonesia karam dan tenggelam. Salah satu potensi yang dapat membuat kapal Indonesia karam dan bisa berakhir tenggelam, adalah upaya untuk mengganti ideologi negara Pancasila dengan ideologi lain. Entah ideologi berdasarkan agama maupun paham-paham lain yang tidak genuine produk 'lokal' Indonesia.

Padahal selama ini, Pancasila sudah menunjukkan elan vital dan kesaktiannya dari berbagai ronrongan dan usaha untuk menggantinya. Dan berbagai usaha percobaan menggeser posisi Pancasila dari ideologi negara itu pun sudah terbukti telah gagal total (gatot).

Pancasila mampu membentengi dirinya dari rongrongan ideologi lain. Sebut saja ideologi komunis(me). Dalam dua kali kesempatan, 1948 dan 1965, Pancasila mampu menggagalkan usaha PKI, baik untuk mengambil alih kekuasaan maupun sekaligus menggantikan Pancasila dengan ideologi komunis(me). Begitu pula dengan pemberontakan Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kartosuwiryo di Jawa dan Abdul Kahar Muzakkar di Sulawesi.

Fakta itu menunjukkan bahwa Pancasila sudah menyatu secara inheren dalam derap nadi bangsa dan negara Indonesia. Karena pada hakekatnya ideologi Pancasila lahir dari sebuah proses yang panjang dan digali dari nilai-nilai tradisi nan luhur dari rahim Indonesia. Ia merupakan saripati nilai-nilai adiluhung warisan budaya bangsa. Dan tentu saja nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu merupakan saripati adiluhung warisan budaya bangsa, yang sangat relevan dan sejalan dengan nilai-nilai ketuhanan. 

Jadi merupakan hal yang sangat keliru bila hari ini, setelah 72 tahun merdeka, kemudian ada kelompok-kelompok sosial dari komponen bangsa ini, atas alasan sentimen keagamaan, mencoba mereduksi Pancasila sebagai produk pemikiran bersifat thogut, sehingga ingin menggantinya dengan ideologi lainnya.  

Maka lumrah kemudian dalam satu sampai dua dekade terakhir muncul berbagai kelompok sosial yang bergabung dalam sebuah ormas (terutama berbasis agama) mencoba menawarkan sebuah sistem nilai (baca ideologi) baru dan hendak menggeser, bahkan berkeinginan kuat untuk mengganti ideologi negara Pancasila menjadi ideologi berbasis agama. Menurut kelompok yang getol memperjuangkan ideologi berbasis agama itu bahwa ideologi Pancasila merupakan produk manusia, karena itu mengandung banyak kelemahan sehingga berpotensi melanggar nilai-nilai transedental berdasarkan wahyu ilahi.

Dalam bahasa yang sering digunakan oleh kelompok 'pemuja' ideologi berbasis agama itu bahwa ideologi yang berasal dari produk pemikiran manusia maka itu bersifat thogut. Pancasila yang merupakan juga produk dari hasil pemikiran manusia, karena itu sekuler maka dengan demikian berarti juga bersifat thogut. Karena bersifat thogut maka jelas bertentangan dengan wahyu ilahi. Sesuatu yang bertentangan dengan wahyu ilahi sudah jelas tidak berberkah dan tertolak.

Cara pandang demikian kemudian dicoba 'rasionalisasi' dengan mengkomparasikan kondisi aktual hari ini di Indonesia. Bahwa sejak diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, kemudian sehari sesudahnya ditetapkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai ideologi dan konstitusi negara, Indonesia hari ini masih saja belum beranjak secara signifikan menjadi negara yang adil dan makmur. 

Dalam pandangan kelompok 'pemuja' ideologi berbasis agama itu, kondisi tersebut tidak lepas dari 'keingkaran' rakyat dan terutama pemerintahnya menerapkan nilai-nilai yang berdasarkan wahyu ilahi. Sehingga keadilan dan kemakmuran yang menjadi tujuan negara ini tetap "jauh panggang dari api".

Sebabnya jelas, karena negara ini sangat jauh dari naungan syariah. Karena itu, tawaran yang harus diterima jika berkeinginan negeri ini dapat menjadi negeri yang "baldatun thoyyibatun wa rabbun Ghafur", maka harus segera mengganti ideologi Pancasila menjadi ideologi agama dengan khilafah sebagai sistem pemerintahan.

Saya sangat yakin bahwa mayoritas anggota DPR yang menyetujui Perppu Ormas untuk disahkan menjadi UU itu pasti sangat tahu dan paham urgensi adanya sebuah regulasi yang mengatur secara jelas dan tegas tentang ketaatan pada ideologi dan azas negara. Begitu pula dengan 'keyakinan' mereka terhadap relevansi nilai-nilai luhur Pancasila yang merupakan saripati adiluhung warisan budaya bangsa sungguh tidak bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan. Karena itu, adalah keliru bila secara simplifikasi mencoba mereduksi sebuah ideologi negara adalah bersifat thogut hanya semata-mata melihat dari sudut pemikiran manusia.

Dengan disahkannya Perppu Ormas menjadi UU maka otomatis setiap ormas yang berazaskan bukan Pancasila sebagai terlarang dan harus dibubarkan. Apalagi secara jelas-jelas ingin mengganti azas dan ideologi negara Pancasila dengan sistem nilai atau ideologi lainnya.

Bagi Indonesia empat pilar, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika adalah harga mati. Dengan begitu setiap upaya yang mencoba menyeragamkan ke-bhinnekaan itu adalah tindakan subversif (merongrong kewibawaan dan kedaulatan negara plus pemerintahan yang sah).

Terus bagaimana sikap kelompok 'pemuja' ideologi berbasis agama ini dalam merespon dan bereaksi terhadap UU Ormas ini. Apakah kelompok-kelompok yang selama ini sangat getol ingin menerapkan ideologi berbasis agama (baca khilafah) akan surut dan ciut nyalinya? Atau malah mencoba bermetamorfosa, seperti beberapa waktu lalu ketika Pemerintah dengan tegas membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) karena ingin mengganti Pancasila dengan ideologi khilafah  akan serta merta juga mengubah taglinekhilafah menjadi NKRI Bersyariah? Meski wacana dan diskursus tentang NKRI Bersyariah sebenarnya sudah muncul dan secara resmi dideklarasikan pada 1 September 2012, bertepatan dengan hari ulang tahun (HUT) Front Pembela Islam (FPI).

Sejak itu gaung dan gema NKRI Bersyariah seakan tenggelam oleh teriakan perlunya membentuk negara khilafah yang dipimpin oleh seorang khalifah untuk seluruh umat Islam pada semua belahan dunia. Dan sebagai 'pilot proyek' itu para motor penggerak di HTI berkeyakinan harus dimulai dari Indonesia. Maka mereka seakan tidak peduli dan tidak mau tahu bahwa pada beberapa negara Islam kelompok HTI ini sudah dilarang dan dibubarkan. Mereka seakan tidak mau mengakui keberagaman yang ada, dan terus bermimpi untuk 'menyeragamkan' kebhinnekaan yang menjadi sunnatullah.

Meski mereka menyadari sepenuhnya, sebagaimana istilah Buya Syafi'i Ma'arif bahwa sistem khilafah itu adalah gerakan utopis. Gegara 'sindiran' Buya Syafi'i ini sehingga seorang mantan Menteri ketika diwawancarai dalam tabligh akbar yang dimotori HTI di Gelora Bung Karno sampai dengan gusar mengatakan mereka yang menilai khilafah sebagai gerakan utopia itu sebagai orang gila atau tidak waras. Bagi sang Menteri ini, khilafah adalah sudah menjadi nubuwat Nabi, sehingga harus dan wajibkan dilaksanakan.

Dengan demikian mencermati pola gerakan yang mengusung khilafah ini sebenarnya bermotif politik, dan hanya untuk berambisi meraih kekuasaan politik. Karena itu sudah tepat bila negara harus hadir dan menunjukkan sikap tegas. Maka disahkan Perppu Ormas menjadi UU adalah sebuah momentumbagi Pemerintah  agar segera menertibkan dan mematikan embrio gerakan-gerakan yang berpotensi melakukan makar terhadap pemerintahan yang sah. Sebab, mengutip Gus Sholah (K.H. Sholahuddin Wahid) "bahwa khilafah itu belum pernah ada di dunia terutama di Indonesia, karena berpotensi menghancurkan negara" (sumber).

Jika sudah demikian, pertanyaan kemudian timbul adalah hendak ke mana (quovadis) HTI pasca Perppu Ormas disahkan menjadi UU? Akankah HTI dengan segera bersalin rupa dan berkamuflase dengan berlindung di balik jargon NKRI Bersyariah? Padahal pada esensinya keduanya, khilafah dan NKRI Bersyariah sama saja memperjuangkan misi yang sama. Atau demi aman, boleh bersikap munafik?

Wallahu a'alam bish shawab

Makassar, 26/10/2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun