Oleh : eN-Te
 "Emang gue pikirin!", demikian penggelan pernyataan yang keluar dari mulut Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo menjawab pertanyaan Karni Ilyas, ketika diwawancarai langsung melalui teleconferencepada acara Indonesia Lawyer Club (ICL), Selasa (19/9/2017) malam yang mengangkat tema, "PKI, Hantu atau Nyata?". Jawaban sangat  tegas dan lugas.
Meski demikian, pernyataan "emang gue pikirin" itu mengesankan sikap sombong dan tidak peduli serta cuek terhadap berbagai kritik dan reaksi publik merespon kebijakan Panglima TNI yang mewajibkan seluruh jajaran TNI untuk nonton bareng (nobar) Film G30S/PKI. Bagi Jenderal Gatot, respon dan atau reaksi kurang mendukung terhadap kebijakan nobar Film G30S/PKI merupakan proses dan dinamika yang wajar dalam alam demokrasi. Karena itu, merupakan hal yang tidak perlu terlalu ditanggapi secara berlebihan bila muncul resistensi terhadap sebuah kebijakan. Termasuk dalam kebijakan nobar Film G30S/PKI. Dengan alasan tersebut, maka muncul kemudian pernyataan, "emang gue pikirin" ala Jnederal Gatot itu.
Secara sepintas, pernyataan "emang gue pikirin" itu mengesankan ketidakpedulian dan atau ketidaksukaan Panglima TNI terhadap berbagai polemik dan kontroversi terkait anjuran nobar Film G30S/PKI. Panglima TNI merasa tidak perlu, bahkan bersikap cuek terhadap berbagai polemik yang berkembang terkait kebijakan yang telah diambilnya. Apapun reaksi publik terhadap kebijakan nobar Film G30S/PKI tidak terlalu penting, yang utama dari sikap Panglima adalah memastikan bahwa dia dapat menjalankan otoritasnya tanpa diganggu gugat oleh pihak lain. Karena itu, Panglima merasa tidak perlu memperhatikan 'keberatan' pihak lain yang mencoba mengkritisi kebijakan nobar itu, meski kritik atau reaksi yang diberikan dilandasi oleh argumentasi yang rasional.
'Emang gue pikirin" adalah bahasa gaul anak muda masa kini (milenial) yang cenderung abai terhadap lingkungan. Artinya, anak-anak muda yang baru gede tidak cukup punya kepekaan membaca reaksi lingkungan sekitar terhadap setiap sikap dan perilaku mereka. Ketika tindakan dan sikap mereka cenderung 'menyimpang' dari kelaziman umum, sehingga dengan demikian mendapat reaksi kurang baik, mereka seakan cuek saja, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Buat anak baru gede (ABG), tidak masalah reaksi lingkungan, baik itu menerima maupun menolak, mereka tidak risau. Yang penting, reaksi lingkungan itu tidak sampai membuat privasi mereka terganggu.
Mengadopsi sikap anak muda dan ABG itu, Jenderal Gatot mencoba pula bersikap  resisten terhadap kritik publik. Buat dia, sepanjang kritik dan atau reaksi kurang mendukung terhadap kebijakan nobar itu tidak sampai mengganggu otoritas dan wewenangnya sebagai Panglima TNI, cuek saja. Menurut Jenderal Gatot, dia mempunyai kewenangan penuh untuk 'memberi' pencerahan kepada seluruh prajuritnya melalui kebijakan nobar Film G30S/PKI sebagai pembelajaran sejarah.
Pernyataan "emang gue pikirin" yang keluar dari mulut seorang Panglima TNI, meski menunjukkan sikap tegas seorang pimpinan militer, tidak harus mengesankan arogansi kuasa. Bahwa kekuasaan itu mutlak dijalankan, namun hal itu harus pula dipandu oleh etika demokrasi.
Etika demokrasi memberikan ruang untuk berbeda pendapat. Karena itu, sikap Panglima TNI, Jenderal Gatot, yang cenderung cuek dan mengabaikan suara-suara yang berbeda terhadap kebijakan nobar sebagai sebuah sikap kepongahan. Meski suara-suara yang berteriak menentang itu mempunyai dasar argumentasi yang rasional, yang perlu pula diperhatikan dan didengar.
Sikap mengakomodasi perbedaan tidaklah berarti sebagai sebuah kelemahan. Malah dengan kelenturan atau fleksibilitas dalam alur interaksi dialogis itu akan bermuara pada suatu titik yang saling memahami dan menerima. Maka sikap cuek (baca kaku) Panglima TNI, meski itu menunjukkan 'watak' asli militer, bukan berarti tidak ada pilihan lain dari semua varian yang ada.
Doktrin militer adalah doktrin komando. Tidak ada tafsir lain, selain dari apa yang sudah digariskan dan diintsruksikan. Tafsir militer adalah bersifat tunggal. Apa yang diinstruksikan atasan adalah sebuah ketentuan 'undang-undang' yang harus dilaksanakan oleh prajurit. Karena itu, anjuran atau kebijakan nobar Film G30S/PKI adalah sebuah  instruksi yang mesti dilaksanakan prajurit tanpa reserve. Sehingga pihak lain dari elemen bangsa ini yang merupakan 'orang luar' tidak pantas memberikan reaksi negatif, apalagi mencoba mendelegitimasi kewenangan Panglima TNI. Bagi Panglima TNI, kewenangan dan otoritas adalah sebuah 'marwah' yang harus dijaga dan dipertahankan. Tidak bisa lagi didiskusikan, apalagi dikompromikan. Dalam konteks demikian, maka dapat dipahami pernyataan "emang gue pikirin" yang mencerminkan sikap cuek Jenderal Gatot itu.
'Sikap kaku' Jenderal Gatot, meski bermaksud untuk menjaga 'marwah' Panglima TNI dalam tataran etika demokrasi malah memunculkan tafsir lain. Tafsir yang mencoba mengartikan 'sikap kaku' Jenderal Gatot sebagai sedang mencoba peruntungan dalam dunia politik praktis. Jenderal Gatot dinilai sedang  mencoba bermanuver melalui kebijakan nobar Film G30S/PKI, sebagai mengetes permukaan air (test the water). Melalui kebijakan nobar Film G30S/PKI, Jenderal Gatot ingin mengukur reaksi publik terhadap keberterimaan dirinya.