Hal kedua yang memantik suhu politik Nasional bertambah naik adalah lontaran pernyataan Panglima TNI di hadapan para purnawirawan dan petinggi TNI di Markas Besar (Mabes) TNI Cilangkap.
Momentum bulan September, di mana suasana kebathinan rakyat Indonesia sedang dilanda perasaan traumatis terhadap sejarah kelam tragedi berdarah pemberontakan G30S/PKI seakan-akan terlalu sayang kalau dilewatkan begitu saja untuk menaikkan citra politik. Apalagi sebagian besar dari rakyat bangsa ini masih sangat gampang dimanipulasi dan dieksploitasi dengan isu kebangkitan paham kumonis dan PKI yang dibumbui pula dengan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Maka di hadapan para purnawirawan dan petinggi TNI yang masih aktif, Jenderal Gatot kembali menggebrak. Gebrakan Gatot tersebut sontak saja membuat publik terhenyak. Bukan saja terhenyak, tapi sekaligus menyulut perdebatan dan spekulasi, serta tafsir terhadap maksud, tujuan, dan sikap Jenderal Gatot yang terkesan 'menyimpang dari praktek yang selama ini dijalankan para petinggi dan mantan Panglima TNI.
Jenderal Gatot dengan sangat percaya diri dan meyakinkan melontarkan sebuah 'isu baru' di tengah suhu politik Nasional yang sedang menanjak naik. Pernyataan menghentak itu digelontorkan di hadapan para purnawirawan dan petinggi TNI aktif lainnya, seakan bertujuan untuk mengkapitalisasi suhu politik Nasional bersamaan dengan meningkatnya sentimen terhadap kemungkinan bangkitnya paham komunis dan PKI Â menjelang peringatan hari kesaktian Pancasila. Bahwa Hari Kesaktian Pancasila ditetapkan sebagai peringatan Nasional setelah upaya mengganti ideologi hasil kontempelasi Soekarno ini melalui tragedi berdarah G30S/PKI digagalkan.
Jenderal Gatot mengungkapkan bahwa berdasarkan informasi intelijen dengan kualifikasi A1 bahwa ada institusi di luar TNI dan POLRI melakukan pengadaan/pembelian senjata sebanyak 5000 pucuk tanpa melalui prosedur pengesahan Panglima TNI. Bahkan secara sesumbar Jenderal Gatot menyatakan bahwa senjata yang akan didatangkan oleh institusi di luar TNI/POLRI itu merupakan standar TNI dan didatangkan (diimpor) dari luar (negeri).
Karena merasa informasi tentang pengadaan senjata oleh institusi lain di luar TNI/POLRI yang berjumlah ribuan diungkap oleh sumber yang sangat kompeten maka dengan serta merta hal itu memancing polemik dan kontroversi. Ada yang mendukung sikap Panglima TNI yang akan 'menyerbu' isntusi yang mengadakan senjata tersebut, dan tak sedikit pula yang menyayangkan. Bagi yang pro, apa yang disampaikan Panglima TNI itu sudah sewajarnya dan harus segera dicegah sebelum senjata tersebut 'disalahgunakan'.
Sementara yang kontra berpendapat bahwa apa yang dilakukan Panglima itu sudah 'menyimpang' dari pakem yang seharusnya (tak pantas). Mestinya bila informasi yang diperoleh Panglima TNI itu berasal dari sumber intelijen, apalagi dengan kualifikasi A1 maka seharusnya Panglima TNI menyampaikan kepada penggunanya (user). Dan user informasi intelijen itu adalah Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di bidang militer (dulu disebut Panglima Tertinggi).
Tidak ingin polemik dan kontroversi 'sikap' Panglima TNI berkepanjangan, Pemerintah melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) terpaksa harus turun tangan menteralisir (melakukan klarifikasi) kegaduhan yang sempat menyeruak. Menurut Wiranto, bahwa kebijakan nobar Film G30S/PKI merupakan hal yang wajar sebagai pembelajaran sejarah. Agar dengan mengetahui peristiwa kelam itu, bangsa ini dapat belajar dan mengambil pelajaran, sehingga ke depan tidak lagi terulang tragedi memilukan yang telah menciptakan noda hitam dalam perjalanan bangsa ini. Berikutnya mengenai isu pengadaan senjata oleh isntitusi di luar TNI dan POLRI. Menurut Wiranto, bahwa informasi pengadaan senjata yang disampaikan oleh Panglima TNI itu adalah benar. Akan tetapi, jumlah yang disebutkan dan instansi pemasok itu tidak akurat.
Wiranto menjelaskan bahwa jumlah senjata yang didatangkan itu bukan 5000 pucuk, melainkan hanya 500 pucuk dan diperuntukan untuk sekolah Badan Intelijen Negara (BIN). Standar senjata yang dibeli itu juga bukan standar TNI, sehingga perijinannya tidak perlu melalui Panglima TNI (senjata ilegal), tetapi hanya cukup oleh Kapolri (perijinan).
Kemudian akurasi tentang sumber pemasok senjata. Awalnya ditafsirkan bahwa senjata itu didatangkan (diimpor) dari luar (negeri), tetapi faktanya Wiranto mengungkapkan bahwa senjata itu merupakan produksi Pindad. Pihak Pindad juga mengkonfirmasi bahwa benar senjata yang dibeli merupakan produksi mereka dan spesifikasinya berbeda dengan standar TNI, serta berjumlah hanya 500 pucuk (bukan senjata organik).
Selanjutnya Menkopolhukam berharap agar setelah ada klarifikasi atas dua hal (nobar Film G30S/PKI dan isu pengadaan senjata) dapat menurunkan tensi politik menjelang tahun politik 2018/2019. Akan tetapi harapan Wiranto itu sepertinya masih jauh. Publik tidak serta merta 'mempercayai' klarifikasi yang disampaikan Pemerintah itu. Malah klarifikasi Menkopolhukam dinilai sebagai sebuah upaya simplifikasi semata (tidak sederhana).