Mengukur diri bahwa kita memang sedang berpunya dan berkelebihan. Mampu secara diplomasi dan juga terlebih, mampu secara ekonomi. Jika kedua prasyarat ini belum terpenuhi, menurut Prabowo, apa yang telah ditunjukkan dan dilakukan oleh Pemerintah hanyalah sekedar mencari popularitas. Mencoba menangguk keuntungan untuk mendapatkan pencitraan positif di mata umat muslim.
Dalam logika para 'petualang' politik ini bantuan atau donasi yang telah dikirimkan ke Myanmar untuk membantu mengurangi beban hidup para pengungsi etnis Rohingya hanya sebagai upaya kamuflase untuk mendapatkan citra politik. Dengan kata lain, Pemerintah sedang melakukan sebuah usaha secara sistematis, terstruktur, dan massif untuk menjadikan isu dan tragedi Rohingya sebagai komoditas politik.
Lebih konyol lagi bila harus menghubungkan kepedulian sebagai cermin sifat dasar kemanusiaan dengan kondisi (para) donatur. Apakah cukup mampu, dalam arti mampu memenuhi kebutuhan diri sendiri, dan juga memberi infaq pada orang lain. Sepanjang belum mampu mandiri, apalagi masih harus ditopang oleh utang, maka kubur itu rasa perikemanusiaanmu! Persetan dengan penderitaan orang lain! Boro-boro  membantu memberi donasi (infaq, sedaqah, dan sebagainya), membuat rakyat sendiri sejahtera saja belum mampu.
Padahal perasaan kemanusiaan yang ingin membantu kepada orang lain, apalagi yang sedang menderita bukan saja sebagai cermin sifat dasar manusia, tapi adalah merupakan sebuah kewajiban agama. Berderma dan berinfaq dalam doktrin agama tidak harus ditentukan oleh sebuah prasyarat (kondisi).
Spirit Islam mengajarkan untuk mengulurkan tangan kepada orang tak punya dan yang sedang mengalami musibah. Pemilik langit akan senang terhadap orang kaya yang dermawan, tapi akan lebih bangga kepada orang miskin (yang) dermawan. Itulah salah satu diktum agama Islam yang dipesankan  Nabi SAW kepada umat melalui hadis.
Sifat pemurah tidaklah ditentukan oleh kondisi kekayaan dan harta benda yang dipunyai seseorang. Tapi hal itu ditentukan oleh kebesaran jiwa dan kelapangan hati, tersentuh ketika melihat ketimpangan dan penderitaan yang ada di sekelilingnya. Peka membaca momentum yang mengharuskan cepat tanggap dan segera bertindak.
Keagungan Nabi SAW karena memiliki keluhuran budi dan akhlak yang sangat mulia. Ketika ada umatnya yang sedang menderita dan mendatangi beliau untuk meminta pertolongan, meski beliau sendiri hanya memiliki selembar baju dan atau sepotong roti, tetap saja 'persediaannya' tersebut diinfaqkan. Bagi Nabi SAW, umat yang datang lebih membutuhkan apa yang sedang ada pada beliau, dibandingkan hanya menuruti egonya sendiri.
Hari ini, ada (calon) pemimpin yang  mengaku sebagai umat Muhammad SAW, tapi malah mengajak simpatisannya, atau boleh saya mengatakan sedang mencoba memanipulasi sentiment umat untuk tidak berinfaq gegara alasan kondisi yang juga tak mampu, sungguh sebuah kewarasan logika yang dibalik secara paksa. Inikah tipologi dan kualitas calon pemimpin yang diharapkan bangsa besar ini? Bukannya mengajak pengikutnya untuk beraksi nyata, memberi inspirasi, eee, malah memupuk perasaan benci dan iri hati atas alas solidaritas semu. Kasihan!
Publik juga harus bersikap cerdas. Senantiasa meningkatkan daya kritis untuk menilai, siapa yang sedang membangun asa melalui sebuah inspirasi, dan siapa yang hanya menawarkan mimpi dan fatamorgana sambil menghujat sana sini. Publik jangan sampai terbuai, apalagi tertipu oleh calon pemimpin yang hanya bisa bermain kata (retorika) dengan berbalut jargon agama. Karena, sangat boleh jadi hal itu, menyesatkan!
Pemimpin seperti ini nirvisi, hanya bisa memanipulasi isu untuk sebuah komoditas politik melalui provokasi dan agitasi tak bernalar. Menjual sentiment agama untuk kepentingan memenuhi syahwat politik jangka pendek sambil dengan tega pula mengorbankan kepentingan bangsa dan Negara. Berbicara seolah-olah paling patriotik dan nasionalis, tapi sesungguhnya di balik itu tersembunyi agenda terselubung ingin menggapai asa dan ambisi pribadi dan kelompok yang sudah lama terpendam.