Sejak kelompok penebar berita hoaks berkonten suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), Saracen diciduk polisi, para pemesan seakan tiarap. Konsumen yang memanfaatkan jasa 'pabrik' berita hoaks berkonten SARA ini seakan bungkam. Mereka tidak lagi dengan leluasa memesan berita hoaks untuk kepentingan politik menyerang kompetitor. Hal itu tidak hanya karena 'pabriknya' sudah (dipaksa) tutup, tapi juga karena para pemesan sengaja ingin menghindar dari kemungkinan diduga sebagai otak intelektual di balik kelompok Saracen ini.
Bersamaan dengan terbongkarnya sindikat 'pengkhianat bangsa' ini, terjadi tragedi kemanusiaan di belahan dunia lain. Nun jauh di negeri tetangga, Myanmar (dulu bernama Burma), terjadi tragedi kemanusiaan, di mana etnis Rohingya terpaksa dan dipaksa harus meninggalkan tanah leluhurnya. Mereka harus mencari perlindungan dengan mengungsi ke negara-negara tetangga, agar dapat terhindar dan selamat dari pembantaian oleh militer Myanmar.
Rupanya momentum tragedi kemanusiaan yang sedang terjadi terhadap etnis Rohingya di Myanmar, yang terusir dari negerinya, seakan menjadi 'komoditas politik' baru bagi para petualang politik di dalam negeri. Para elit partai, terutama yang berasal dari partai oposisi seakan mendapat wahana dan sekaligus amunisi baru untuk menyerang, menyalurkan dan menebarkan kebencian kepada Pemerintah.
Elit partai yang tidak bisa mengembangkan kemampuannya setingkat lebih tinggi dari hanya sekedar sebagai politisi. Sehingga apa yang sedang terjadi pada etnis Rohingya seolah menjadi 'berkah' tersendiri untuk mereka menaikkan popularitasnya. Kebencian mereka terhadap Pemerintah, yang selama ini disalurkan melalui produksi berita hoaks berkonten SARA melalui 'pabrik' Saracen, seakan mendapat katalisator baru. Â
Isu pembantaian  terhadap etnis Rohingya kemudian dimanipulasi, dikemas, dan digoreng sedemikian rupa, sehingga seolah-olah telah terjadi genosida secara struktur, sistematis, dan massif atas alas  agama. Para politisi senayan bermental 'ndeso' berusaha memanipulasi sentimen keagamaan untuk menaikkan citra politiknya sambil berjingkrak ria menyerang Pemerintah. Bahkan Kapolri Jenderal Tito Karnavian, harus dengan tegas mengatakan bahwa, "Dari hasil penelitian itu bahwa isu ini lebih banyak dikemas untuk digoreng untuk menyerang pemerintah.(Pemerintah) Dianggap lemah," (lihat di sini). Narasi kebencian pun dibentangkan secara terbuka untuk menarik simpati konstituen bahwa merekalah yang paling peduli (care) terhadap nasib yang sedang menimpa etnis Rohingya.
Etnis Rohingya yang sedang merana, tidak bisa berbuat apa-apa untuk mempertahankan eksistensi mereka sebagai sebuah entitas sosial dan politik pada suatu wilayah teritorial setingkat negara bangsa (nation state) selain mengungsi, tak tahu dan tak menyangka bahwa nasib mereka malah dimanfaatkan oleh segelintir 'politisi ndeso' dan elemen tertentu dari bangsa ini untuk meraih keuntungan politik. Mereka seakan membangun narasi kebencian baru dengan memanfaatkan penderitaan entitas sosial lain di luar sana untuk memprovokasi sentimen umat Islam agar antipati terhadap rejim yang sedang berkuasa saat ini.
Maka tak heran politisi seperti Fadli Zon, Tiffatul Sembiring, dan Fahri Hamzah, sekedar menyebutkan beberapa contoh 'politisi ndeso' yang memanfaatkan tragedi kemanusiaan di Rohingya untuk kepentingan politik sesaat mereka. Memainkan penderitaan etnis Rohingya sebagai komoditas untuk menaikkan citra politik sambil mendiskreditkan Pemerintahan Jokowi.
Busuk nian motif dan niat mereka. Menjual dan menjadikan komoditas politik tragedi Rohingya untuk kepentingan politik pribadi dan gerombolannya. Tragedi Rohingya yang senyatanya merupakan persoalan domestik Pemerintah Myanmar dengan warga negaranya, dikemas sedemikian rupa dengan isu SARA seakan-akan terkait dengan pembantaian etnis atas nama agama. Padahal menurut Wakil Presiden (Wapres) JK, bahwa persoalan tragedi Rohingya terjadi tidak atas faktor tunggal.
JK seperti tertangkap dari media, menyebutkan bahwa apa yang sedang terjadi di Myanmar terhadap etnis Rohingya setidaknya disebabkan empat faktor. Wapres menyebutkan bahwa sejarah, politik, ekonomi, dan agama merupakan faktor  dominan dalam tragedi kemanusiaan yang sedang dialami etnis Rohingya.
Keempat faktor itu saling berkelindan secara sentrifugal memutar pada satu poros, yang berakar pada konflik geopolitik (lihat di sini), sehingga sangat sulit untuk mengurai, hendak mulai dari sisi mana. Karena 'benang' persoalan itu sudah sedemikian kusut, yang telah berlangsung sangat lama.
Dengan begitu seharusnya dalam menanggapi kondisi yang terjadi di Rakhine State Myanmar perlu bersikap hati-hati. Tidak asal grasa grusu, mencak-mencak, sampai ada seakan mengalami 'orgasme' sehingga hendak ingin memobilisasi dan mengimpor 'pejuang' untuk membantu rakyat Rohingya. Tindakan tak memakai nalar yang benar dengan hati yang bersih ini, bukan saja semakin membuat 'benang kusut' persoalan Rohingya semakin tidak terurai, malah semakin memperkeruh suasana di sana (baca di sini). Â
Lebih jauh malah akan memperburuk citra Indonesia di mata rejim militer Myanmar. Padahal sejauh ini, hanya Pemerintah Indonesia yang diberi akses oleh Pemerintah Myanmar untuk turut terlibat menyelesaiakan krisis kemanusiaan yang sedang dialami etnis Rohingya.
Dengan begitu diharapkan semua elemen bangsa untuk berpikir jernih sebelum mengambil tindakan gegabah. Apalagi berusaha mengsimplifikasi krisis kemanusiaan itu semata-mata atas sentimen agama dengan memelintir tragedi yang terjadi sebagai konflik agama. Sehingga ada sebagian 'politisi ndeso' dengan begitu genit dan binal menyebutnya sebagai pembantaian etnis atas nama agama. Meski sikap genit nan binal itu hanya menunjukkan ketidakwarasan logika. Ketidakwarasan itu dengan memprovokasi umat dengan diksi kalimat yang menyulut amarah. Seperti cuitan yang mempertanyakan kepedulian Pemerintah terhadap nasib warga Rohingya, kalimat provokatif dan menghasut, "Apakah karena kebetulan mereka muslim?"Â
Cuitan itu mengandung nafsu jualan isu agama untuk kepentingan politik jangka pendek, meski harus menggadaikan kewarasan nalar. Maka tanpa malu meredukdi krisis kemanusiaan yang terjadi di Rakhine State Myanmar sebagai sebuah bangunan narasi kebencian kepada rejim yang berkuasa saat ini.
Tujuannya jelas berusaha secara sistematis, terstruktur, dan massif mendelegitimasi peran Pemerintah yang telah dengan konkrit terlibat langsung dalam penyelesaian konflik yang tengah terjadi Myanmar. Meski mereka secara jelas melihat peran yang telah dimainkan Pemerintah, toh hal itu tidak membuat kelompok oposisi ini sedikit melek.
Alih-alih membuat mata mereka terbelalak, malah kontribusi nyata Pemerintah dinafikkan begitu saja, karena mata hati mereka juga telah buta. Maka tragedi kemanusiaan yang sedang dialami etnis Rohingya di Rakhine State Myanmar, dikonstruksi sebagai narasi kebencian baru. Setelah berkali-kali mereka gagal menggerus kepercayaan rakyat terhadap Presiden Jokowi melalui berbagai 'saluran', termasuk juga mengeruk keuntungan berita hoaks berkonten kebencian SARA, semisal melalui kelompok Saracen. Â
Di mata kaum  oposisi ini isu Rohingya terlalu seksi kalau dilewatkan begitu saja. Maka momentum tersebut tidak boleh dilewatkan untuk mengkapitalisasi sentimen umat untuk membenci sekaligus pada saat bersamaan mendegradasi kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah. Karena itu, para pembenci itu tak segan memperlihatkan mental pecundang, sehingga tega menjadikan penderitaan sebuah kaum sebagai komoditas untuk meraih ambisi politik dengan menyerang dan mendiskreditkan calon pesaing. Â
Wallahu a'lam bish-shawabi
Makassar, 10/9/2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H