Lebih jauh malah akan memperburuk citra Indonesia di mata rejim militer Myanmar. Padahal sejauh ini, hanya Pemerintah Indonesia yang diberi akses oleh Pemerintah Myanmar untuk turut terlibat menyelesaiakan krisis kemanusiaan yang sedang dialami etnis Rohingya.
Dengan begitu diharapkan semua elemen bangsa untuk berpikir jernih sebelum mengambil tindakan gegabah. Apalagi berusaha mengsimplifikasi krisis kemanusiaan itu semata-mata atas sentimen agama dengan memelintir tragedi yang terjadi sebagai konflik agama. Sehingga ada sebagian 'politisi ndeso' dengan begitu genit dan binal menyebutnya sebagai pembantaian etnis atas nama agama. Meski sikap genit nan binal itu hanya menunjukkan ketidakwarasan logika. Ketidakwarasan itu dengan memprovokasi umat dengan diksi kalimat yang menyulut amarah. Seperti cuitan yang mempertanyakan kepedulian Pemerintah terhadap nasib warga Rohingya, kalimat provokatif dan menghasut, "Apakah karena kebetulan mereka muslim?"Â
Cuitan itu mengandung nafsu jualan isu agama untuk kepentingan politik jangka pendek, meski harus menggadaikan kewarasan nalar. Maka tanpa malu meredukdi krisis kemanusiaan yang terjadi di Rakhine State Myanmar sebagai sebuah bangunan narasi kebencian kepada rejim yang berkuasa saat ini.
Tujuannya jelas berusaha secara sistematis, terstruktur, dan massif mendelegitimasi peran Pemerintah yang telah dengan konkrit terlibat langsung dalam penyelesaian konflik yang tengah terjadi Myanmar. Meski mereka secara jelas melihat peran yang telah dimainkan Pemerintah, toh hal itu tidak membuat kelompok oposisi ini sedikit melek.
Alih-alih membuat mata mereka terbelalak, malah kontribusi nyata Pemerintah dinafikkan begitu saja, karena mata hati mereka juga telah buta. Maka tragedi kemanusiaan yang sedang dialami etnis Rohingya di Rakhine State Myanmar, dikonstruksi sebagai narasi kebencian baru. Setelah berkali-kali mereka gagal menggerus kepercayaan rakyat terhadap Presiden Jokowi melalui berbagai 'saluran', termasuk juga mengeruk keuntungan berita hoaks berkonten kebencian SARA, semisal melalui kelompok Saracen. Â
Di mata kaum  oposisi ini isu Rohingya terlalu seksi kalau dilewatkan begitu saja. Maka momentum tersebut tidak boleh dilewatkan untuk mengkapitalisasi sentimen umat untuk membenci sekaligus pada saat bersamaan mendegradasi kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah. Karena itu, para pembenci itu tak segan memperlihatkan mental pecundang, sehingga tega menjadikan penderitaan sebuah kaum sebagai komoditas untuk meraih ambisi politik dengan menyerang dan mendiskreditkan calon pesaing. Â
Wallahu a'lam bish-shawabi
Makassar, 10/9/2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H