Di bulan Agustus setiap tahun telinga kita sangat familiar mendengar  syair lagu Hari Merdeka, karya H. Mutahar. Syaban hari, setiap tahun kita mendengar lagu Hari Merdeka senantiasa mengumandang di seantero negeri setiap menjelang hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia (RI), tanggal 17 Agustus. Â
Begitu pula dengan suasana menjelang dan saat memperingati HUT ke-72 tahun kemerdekaan RI tahun ini. Lagu karya H. Mutahar itu menjadi lagu wajib yang diperdengarkan pada setiap tempat dan momen. Diperdengarkan dan diteriakkan melalui media resmi maupun perorangan. Dan tak terasa perasaan publik pun larut dalam kemenangan dan semangat membara untuk tetap mempertahankan kemerdekaan negeri yang diperjuangkan dengan mengorbankan harta benda, dan jiwa raga. Semangat perjuangan dalam merebut, memproklamirkan, dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia Raya ini.
***
Tahun ini, sudah 72 tahun Indonesia Raya berkumandang di jagad dunia. Menegaskan identitas diri sebagai sebuah entitas politik dan sosial dengan memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Pada tanggal tersebut, Soekarno-Hatta tampil mengatasnamakan bangsa Indonesia, menegaskan kepada dunia internasional sebagai negeri bebas merdeka dan berdaulat dari setiap jenis dan bentuk penjajahan. Karena sejatinya penjajahan itu tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Semarak memperingati kemerdekaan sebagai negeri bebas merdeka dan berdaulat yang ke-72 tahun menunjukkan nuansa yang berbeda tahun ini. Jika pada era-era sebelumnya, setiap 17 Agustus hanya diperingati, terkesan sebagai sebuah rutinitas yang biasa-biasa saja, tapi tidak halnya dengan tahun ini. Terasa ada "sesuatu'" yang berbeda dan kontras. Adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wapres Jusuf Kalla (JK) yang mula awal memperkenalkan perbedaan itu.
Sehari sebelum tanggal 17 Agustus, yakni 16 Agustus Presiden Jokowi memberikan pidato kenegaraan untuk mengantarkan nota Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) di depan Ketua dan anggota DPR/MPR RI. Terlihat hal yang berbeda ketika Presiden dan Wapres tampil dengan balutan busana khas daerah. Seakan kedua beliau ingin menegaskan bahwa negeri ini pada dasarnya terlahir dan terbentuk dari keberagaman, khususnya keberagaman budaya.
Hal yang sama Presiden dan Wapres lakukan pada saat upacara peringatan kemerdekaan di istana negara bersama tamu undangan lainnya. Bukan tanpa alasan, Presiden dan Wapres harus tampil beda ketika momentum di bulan kemerdekaan ini. Jokowi dan JK seakan ingin mengingatkan kembali kepada seluruh komponen bangsa ini bahwa negeri ini terbentuk dan terdiri dari keberagaman. Pluralitas merupakan fondasi dasar yang menyemai kebersatuan dan kesatuan bangsa.
***
Seperti diketahui bahwa pada beberapa waktu terakhir, negeri ini nyaris menjadi centang perenang karena isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang sangat rentan mengoyak kerukunan. Terutama sejak proses pemilihan gubernur (Pilgub) DKI 2017.
Publik pasti masih ingat dengan parade demo berjilid-jilid dengan menggunakan simbol 'angka-angka cantik' di kalender. Hanya karena ingin melengserkan seseorang yang bukan berasal dari  kelompok mayoritas, tapi (meminjam istilah Walikota Bandung, Kang Emil ketika menyentil Deny Siregar) sebagai 'kelompok sebelah', para petualang politik dan kekuasaan bergerilya mencoba memanipulasi sentimen keagamaan untuk meraih ambisi politiknya.Â
Sayangnya hanya untuk meraih ambisi politik merengkuh kekuasaan, nyaris mengorbankan persatuan dan kesatuan bangsa. Persatuan dan kesatuan bangsa yang telah diperjuangkan oleh para pejuang bangsa dengan mengorbankan segalanya nyaris porak poranda.
Jokowi dan JK seakan menyentil kelompok-kelompok dari komponen bangsa ini yang sudah kebelet ingin membangun sebuah dinasti dengan sistem baru, dengan berlabelkan dan berbasis agama. Semuanya ingin diseragamkan. Mereka mencoba mendoktrinasi pemahaman umat bahwa ada sebuah sistem pemerintahan yang cespleng. Semua problem bangsa akan terselesaikan dengan sendirinya bila menerapkan sistem pemerintahan 'cespleng' ini.
Ibarat obat mujarab bila diminum akan langsung menyembuhkan semua "penyakit". Mau mengentaskan kemiskinan, ya berpalinglah ke sistem ini. Mau memerangi ketergantungan politik dan ekonomi, ya tengoklah sistem ini. Mau memberantas penyakit mental serekah bin kemaruk alias korupsi maka peganglah sistem itu.
Pokoknya semua sistem nilai yang bukan berasal dari 'langit' tidak akan sanggup menyelesaikan semua problem bangsa dan negara. Karena pada dasarnya semua produk manusia pasti bersifat thogut, sehingga tidak akan mampu mengatasi semua permasalahan. Alih-alih menyelesaikan, konon malah akan membuat permasalahan semakin tumbuh subur berkelindan karena telah berkolaborasi dengan sistem thogut (setan).
***
Peringatan HUT kemerdekaan RI yang ke-72 tahun ini mengusung  tema "72 Tahun Indonesia Kerja Bersama". Pemerintah tidak hanya sekedar mengusung logo dan tema tersebut. Tapi rupanya hal itu mengandung makna yang sangat dalam dan luas.
Makna tersebut secara simbolik ditunjukkan oleh Presiden dan Wapres yang mengenakan pakaian adat saat menghadiri sidang tahunan pembacaan pengantar nota RAPBN tahun 2018 di gedung MPR/DPR RI pada tanggal 16 Agustus 2017. Hal yang sama kemudian ditunjukkan kembali oleh Presiden dan Wapres beserta seluruh anggota kabinet dan tamu undangan untuk berbusana adat saat menghadiri peringatan 17 Agustus 2017 di istana negara. Sebuah panorama yang indah yang menunjukkan keberagaman dan kebersamaan. Sebuah tekad untuk mengajak semua elemen bangsa agar bersatu padu dan bergotong royong membangun negeri. Â
Secara umum logo dan tema HUT kemerdekaan RI yang ke-72 itu menjadi representasi semangat gotong royong untuk membangun Indonesia menuju masa depan yang lebih baik (logo).
Menyaksikan keberagaman budaya melalui busana adat yang dipakai Presiden dan Wapres, anggota kabinet dan seluruh tamu undangan terbersit optimisme baru. Optimisme yang menyiratkan bahwa negeri besar nan indah permai yang dijuluki zamrud khatulistiwa ini mampu merajut asa bersama dalam kebersamaan dan semangat kegotongroyongan.
Ternyata Presiden Jokowi yang awalnya sangat disangsikan mampu menyelesaikan semua problem bangsa, mampu menunjukkan politik tingkat tinggi (high politics). Jokowi mampu menunjukkan komunikasi politik yang sangat soft dan elegant nan ciamik, serta sekaligus mampu meredam semua potensi yang ingin merongrong kekuasaannya.
Jokowi mampu menampilkan citra diri yang sangat berkebalikan dengan stigma negatif yang disematkan kepadanya sejak awal. Sejak mula, Jokowi dikesankan sebagai (calon) pemimpin yang klemar-klemer dan tidak tegas, tapi kemudian anggapan itu malah bermetamorfosa 180 derajat (masih menurut penilaian kelompok sakit hati) sebagai pemimpin diktator. Lewat komunikasi politik ala busana tradisional, Jokowi mampu merangkul semua komponen bangsa yang berbeda ideologi untuk bersatu, bersama, dan bergotong royong bekerja bersama membangun ke-Indonesia-an sejati.
Boleh jadi Presiden Jokowi sudah merasa jengah melihat ulah sebagian anak bangsa yang tanpa risih dan sok pintar mencoba merusak tatanan kebangsaan dengan berusaha menciptakan ketegangan antarkelompok dan elemen bangsa. Berusaha mengadu domba dan merusak persatuan dan kesatuan bangsa dalam pluralitas yang beragam dengan  mencoba membenturkan satu dengan yang lainnya melalui isu SARA. Sehingga nyaris lebih separuh waktu sejak akhir 2016 s.d. pertengahan 2017 ini, atmosfir politik negeri sangat pengap dan menggerahkan.
Dalam keprihatinan menyaksikan panorama yang menyesakkan tersebut, Jokowi menampilkan sebuah atraksi high politic yang sangat soft nan ciamik melalui politik busana adat yang mengundang decak kagum. Tidak hanya kawan, tapi juga (dari) lawan. Politik yang merangkul, bukan sebaliknya, menampik lawan.
Wallahu a'lam bish-shawabi
Makassar, 19082017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H