Oleh : eN-Te
Pada hari ini, 20 Mei 2017 rakyat Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Maka hari ini, 20 Mei 2017 tepat sudah 109 tahun kesadaran berbangsa dan bertanah air Indonesia di kalangan pemuda mulai tumbuh dan bangkit. Itu berarti nyaris satu abad plus satu dekade pemuda Indonesia mengalami ‘pencerahan’ terhadap pentingnya memiliki semangat nasionalisme.
Kebangkitan Nasional (Indonesia) ditandai dengan lahirnya Boedi Oetomo, yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908. Motor penggerak utama lahirnya organisasi modern pertama di Indonesia, yang kemudian dikenal sebagai Boedi Oetomo adalah Dr. Soetomo. Bersama rekan-rekannya mahasiswa STOVIA, (School tot Opleiding voor Inlandsche Arsten), antara lain Goenawan, Dr.Cipto Mangoenkeosoemo dan Soeraji serta R.T Ario Tirtokusumo (1), mereka kemudian bersepakat mendirikan Boedi Oetomo sebagai sebuah wadah untuk melaksanakan aktivitas yang bersifat sosial, ekonomi, dan kebudayaan, dan tidak berpretensi berubah menjadi bersifat politik. Pembentukannya berawal dari perjalanan dokter Wahidin Sudirohusodo yang mengadakan kampanye di kalangan priayi Jawa antara tahun 1906-1907. Tujuannya adalah meningkatkan martabat rakyat dan bangsa (2).
Momentum hari Kebangkitan Nasional kali ini hendaknya dapat menjadi awal yang baik untuk melakukan evaluasi dan introspeksi terhadap bangunan kebangsaan kita. Mengingat dalam beberapa waktu terakhir, bangunan kebangsaan kita sempat oleng. Berbagai intrik politik membuat kapal kebangsaan Indonesia nyaris karam.
Isu-isu primordial menguat. Politik identitas berbau suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) ‘menggurita’ hingga membuat jagad perpolitikan Indonesia menjadi jengah. Keragaman yang indah yang selama ini memayungi ibu pertiwi nyaris centang perenang oleh sikap-sikap intoleransi.
Semua itu lebih karena dorongan ‘nafsu dan birahi’ kekuasaan (politik). Kepentingan politik sesaat mendorong sesama anak bangsa ingin menegasikan satu dengan yang lainnya.
Satu kelompok entitas ingin lebih mengedepankan identitas kelompoknya tanpa memperhatikan kepentingan keberagaman. Keberagaman sebagai sesuatu yang given (sunnatullah) seakan ingin dinafikkan. Persatuan dan kesatuan bangsa dipertaruhkan, bahkan ingin diretas hanya untuk mewujudkan ambisi kuasa yang nyaris tak tertahankan lagi.
Maka tak heran parade intoleransi menyeruak ke permukaan sehingga membuat atmosfir politik nasional berubah menjadi sangat gaduh. Kondisi mana membuat salah seorang siswa SMA di Banyuwangi, Afi Nihaya Faradisa (3) harus menulis kegelisahannya karena jengah menyaksikan parade intoleransi atas nama klaim kebenaran dan atau politik identitas. Seorang siswa dari usianya yang masih relative sangat muda belia tapi mempunyai lompatan pikiran dan pandangan yang mencerahkan dan penuh arif (wisdom) yang sangat jauh ke depan.
Stabilitas politik dan keamanan yang hampir sempurna diwariskan rejim Soeharto, tak mampu lagi dirawat oleh anak bangsa ini. Karena masing-masing kelompok kepentingan, sengaja menutup mata bahwa negeri ini sebenarnya sangat mengedepankan ‘perasaan’.
Perasaan ewuh pakewuh. Perasaan tak ingin melihat kelompok lain ‘tersakiti’, perasaan tak ingin membuat pihak lain tak berkenan, dan ‘perasaan-perasaan sungkan lainnya’ seakan tak bersisa ketika politik identitas (SARA) menggema di ruang publik. Penafsiran sepihak atas doktrin (ajaran) agama telah menempatkan konstitusi di pojok ruang yang nyaris tak terlihat lagi. Ideologi negara, Pancasila dan UUD 1945 juga ngebet ingin dipinggirkan, bahkan sudah pula (ingin) diganti, yang membuat Presiden geram dan ingin menggebuknya (4).
Kondisi inilah yang menjadi realitas kita akhir-akhir ini. Realitas yang tidak cukup menggembirakan, tapi lebih banyak membuat dada ini semakin keriput karena terlalu sering diurut.
Mengapa demikian? Karena antarkelompok anak bangsa tidak lagi saling menghargai, tidak lagi mengedepankan tatakrama dalam berujar, bercakap, berlisan, bertulis, dan bertindak. Kesadaran kebangsaan seakan hilang. Tepo seliro, tenggang rasa, menguap entah ke mana.
Nilai-nilai luhur sebagai kearifan local (local wisdom) yang terkandung dalam sila-sila Pancasila seakan tak berwujud dan tidak lagi fungsional. Semua itu hanya hadir sebagai atribut artifisial yang kehilangan makna.
Kesadaran kebangsaan yang tergerus sudah sedemikian jauh hendaknya kembali kita pulihkan. Momentum Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) tahun ini menjadi kesempatan yang bernilai untuk melakukan muhasabah, merenung (kontemplasi), evaluasi, introspeksi, dan re-introspeksi.
Pada kondisi itu, mungkinkah tersebul pertanyaan, “Akankah setelah nyaris satu abad satu decade kesadaran kebangsaan (nasionalisme) tumbuh dan bangkit, kemudian atas nama kepentingan golongan dan atau kepentingan politik (identitas), kita sampai harus mengorbankan sesuatu yang sangat berharga yang telah membentuk kesadaran kita sebagai satu kesatuan entitas sebagai sebuah bangsa?” Mari merenung dan menilai!
Wallahu a’alam bish shawab
Makassar, 20/5/2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H