Oleh : eN-Te
Pengantar
Tulisan ini ingin mendeskripsikan kesan yang diperoleh salah seorang guru saya ketika pertama kali tiba dan sempat beberapa saat tinggal di Kupang. Ketika ia menceritakan kesannya tersebut, ia sampaikan dengan rasa takjub.
Fenomena yang ia lihat, menurutnya merupakan sebuah fenomena langkah. Bagi guru saya tersebut, Kupang sebagai salah satu ibukota provinsi sangat berbeda dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Dalam pandangan guru saya tersebut, kondisi ini merupakan sesuatu yang langkah, di mana ternyata ada kota provinsi yang bebas dari penyakit masyarakat, seperti ‘gepeng’ (gelandangan dan pengemis).
Sekilas Tentang Kota Kupang
Kupang adalah ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kota Kupang terletak di ujung Pulau Timor dan berbatasan langsung dengan negara tetangga, Timor Leste. Kota Kupang terletak pada 10°36’14”-10°39’58” LS dan 123°32’23”–123°37’01” BT, dengan luas wilayah 180,27 Km2.
Penduduk Kota Kupang berasal dari beragam etnis dan suku. Sekurang-kurangnya ada enam (6) suku dan atau etnis yang mendiami Kota Kupang. Keenam suku dan atau etnis itu, sebagai berikut, Suku Timor (dari Pulau Timor), Suku Rote (ari Pulau Rote), Suku Sabu (dari Pulau Sabu), Suku Flores (Pulau Flores dan sekitarnya), Suku Jawa, dan Etnis Tionghoa (China).
Kehadiran VOC membawa perubahan pula pada lafal nama Raja Lai Kopan. Karena pengaruh bahasa Belanda, nama Lai Kopan diucapkan menjadi Koepan. Sehingga dalam perkembangannya, lafal Lai Kopan kemudian lebih familiar diucapkan dalam bahasa sehari-hari oleh warga menjadi Kupang (sumber).
Istilah Pengemis
Saya sempat bingung ketika mencoba menerka-nerka kata dasar dari kata ‘pengemis’ ini. Soalnya dalam komunikasi sehari-hari kita hanya mendengar kata ‘pengemis’ dan ‘mengemis’. Kedua kata tersebut merupakan bentuk jadian dengan imbuhan ‘pe’ dan ‘me’. Jarang kita mendengar kata dasar dari kedua kata itu.
Bila imbuhan ‘pe’ dan ‘me’ itu dipasangkan pada kata dasar maka akan terbentuk kata benda dan kata kerja. Jika melihat konstruksi kata benda ‘pengemis’, maka seakan-akan kata tersebut terbentuk dari imbuhan ‘pe’ + (kata dasar) ‘ngemis’ atau ‘pe’ + (kata dasar) ‘emis’. Begitu pula dengan kata kerja ‘mengemis’, terbentuk dari imbuhan ‘me’ + (kata dasar) ‘ngemis’ atau ‘me’ + (kata dasar) ‘emis’.
Sekurang-kurang ada dua sumber yang sedikit memberi saya gambaran untuk menemukan kata dasar dari kata ‘pengemis’ dan ‘mengemis’ itu. Salah satu sumber (kalipaksi) menyebutkan bahwa kata ‘pengemis’ atau ‘mengemis’ awal mulanya berasal dari kata ‘kamis’.
Dijelaskan bahwa pata tahun 1950-an di daerah pesisir Jawa Timur, berlangsung kebiasaan atau adat di mana pada hari Kamis, para pemuda sering mendatangi rumah-rumah penduduk untuk mengumpulkan sumbangan, yang selanjutnya akan dibagikan ke warga yang kurang mampu. Singkatnya bahwa kebiasaan mengumpulkan sumbangan itu dalam perkembangannya dikenal sebagai kegiatan ‘ngemis’, yang merujuk pada hari Kamis di mana kegiatan itu biasa dilakukan. “Kebiasaan yang berlangsung setiap hari Kamis (dalam bahasa Jawa, Kemis), maka dari situ lahirlah sebutan orang yang mengharapkan berkah di hari Kemis dengan sebutan ‘ngemis’.
Sumber lain (khalayak) menjelaskan bahwa kata ‘pengemis’ dan ‘mengemis’ berasal dari kata dasar ‘emis’. Dicontohkan pembentukan kata ‘pengemis’ itu dengan menganalogikan dengan kata dasar ‘edar’ yang mendapat imbuhan ‘pe’, sehingga terbentuk kata ‘pengedar’. Dengan contoh seperti itu, maka kata ‘pengemis’ dan ‘mengemis’ merupakan kata jadian yang terdiri dari awalan ‘pe’ + (kata dasar) ‘emis’. Begitu pula dengan kata kerja ‘mengemis’, terbentuk dari imbuhan ‘me’ + (kata dasar) ‘emis’.
Dengan demikian jika melihat konstruksi katanya, maka kata pengemis merupakan kata benda. Menurut fungsinya, sebuah kata dasar bila mendapat imbuhan ‘pe’ maka akan membentuk kata benda. Dengan demikian kata ‘pengemis’ merupakan gabungan kata kerja yang mendapat awalan ‘pe’ sehingga terbentuk kata ‘pengemis’ yang merujuk pada orang yang melakukan kegiatan mengemis.
Dalam perkembangannya kata ‘pengemis’ juga mengalami pergeseran makna. Di mana kegiatan mengemis dijadikan sebagai lahan untuk mendapatkan keuntungan finansial sebagai sebuah profesi. Sehingga pengemis diartikan sebagai “profesi yang sengaja menimbulkan belas kasih atau mengancam orang lain sehingga diberikan uang” (kompasiana.com).
Intinya mengemis adalah kegiatan untuk mendapatkan penghasilan dengan jalan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan kedok untuk mengharapkan belas kasih orang lain. Orang yang melakukan kegiatan mengemis inilah yang disebut pengemis.
Di kota-kota besar merupakan sebuah pemandangan yang lumrah bila melihat orang-orang yang berpakaian lusuh dan sangat bersahaja, bahkan berpura-pura nelangsa di tempat-tempat umum, berusaha tampil lugu dan mengiba-iba agar orang di sekitarnya menaruh welas kasih kemudian memberikan ‘sumbangan’ kepada mereka. Ada yang memang benar-benar secara kodrat fisik tidak mampu lagi berusaha menghasilkan sesuatu melalui sebuah pekerjaan normal. Dengan kondisi seperti itu maka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, satu-satunya cara yang mungkin dapat dilakukannya adalah dengan jalan mengemis.
Kondisi tersebut mungkin masih dapat dimaklumi. Tapi faktanya kegiatan mengemis dalam perkembangan telah mengalami ‘revitalisasi’. Maksud saya sengaja dimanfaatkan oleh orang-orang ‘kreatif’ untuk mendapatkan keuntungan tanpa harus berpeluh keringat melalui pekerjaan yang terhormat. Mungkin karena, melihat ‘prospek’ yang sangat menjanjikan sehingga ada orang yang bermental kemaruk, memanfaatkan momentum itu untuk mendapatkan keuntungan. Malah ‘profesi’ ini juga dijalankan secara terorganisir, di mana orang-orang ‘kreatif’ tersebut sengaja mengkoordinir dan memanfaatkan beberapa atau sebagian orang untuk mengemis, lalu mereka yang menikmati hasilnya.
‘Orang suruhan’ ini hanya berfungsi sebagai pekerja yang diberi imbalan tergantung berapa rupiah yang dapat dia kumpulkan dalam sehari. Mereka yang dimanfaatkan sebagai ‘orang suruhan’ ini terutama adalah anak-anak dan kaum perempuan (ibu-ibu/emak-emak dan nenek-nenek). Kelompok usia dan jenis kelamin inilah yang paling rentan dimanfaatkan dan dikadali oleh ‘orang kreatif’ itu.
Kota Tanpa Pengemis
Seperti sudah saya singgung di pengantar, semasa masih duduk di bangku SMA di Waiwerang Adonara Timur, kami (saya) pernah mendengar cerita salah seorang guru yang berasal dari Jawa yang pernah ‘terdampar’ di Kupang. Ia menyampaikan kesannya setelah tiba dan beberapa saat tinggal di Kupang.
Selama beberapa saat ‘terdampar’ di Kupang, rupanya guru saya itu mempunyai kesan tersendiri tentang ibukota Provinsi NTT itu. Kesan tersebut sangat membekas dan sulit ia lupakan.
Seperti halnya kota-kota besar lainnya di Indonesia, Kupang sebagai kota provinsi maka jelas semua roda pemerintahan dan perekonomian bergerak dan berpusat di sana. Dengan demikian, kita akan berasumsi bahwa Kota Kupang juga pasti ada, bergerak dan berkecimpung orang-orang yang menjadikan kegiatan mengemis sebagai profesi resmi.
Sistem Kekerabatan
Sayangnya asumsi itu tidak seluruhnya benar dan terbukti. Mengapa? Saya, sebagai warga yang berasal dari NTT (Lamakera, Flores Timur), malah bangga. Karena sepanjang pengetahuan dan pengalaman, saya belum pernah melihat, apalagi menemukan satu orang pun mengemis di jalan-jalan, di tempat-tempat umum, atau di pusat-pusat keramaian di Kota Kupang.
Bukan karena semua warga Kupang sudah berkehidupan sangat mapan dan sejahtera. Melainkan hal itu dipengaruhi oleh nilai-nilai (budaya) dari sistem kekerabatan yang membentuk jati diri kami sebagai warga NTT.
Ada tiga sistem kekerabatan yang dikenal dalam ilmu sosiologi maupun antropologi. Sistem kekerabatan itu adalah patrilineal, matrilineal, dan parental atau bilateral.
Dari tiga sistem kekerabatan yang ada, secara umum warga NTT menganut sistem kekerabatan pertama, yaitu patrilineal. Warga NTT menganut sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan melalui garis keturunan pihak ayah. Dengan demikian hal itu akan berpengaruh pula dalam hal pemberian suku atau marga untuk anak yang lahir, pengaturan hak dan kewajiban dalam adat, sistem pewarisan, dan lain-lain (sumber).
‘Karakter’ Warga NTT
Dengan sistem kekerabatan seperti itu malah menjadi kekuatan yang saling menguatkan antarkerabat. Masing-masing anggota keluarga (kerabat) merasa bertanggung jawab atas ‘keberadaan’ anggota keluarganya yang lain. Hal ini menjadi karakter atau jati diri sesungguhnya dari warga NTT. Di maan sesulit apapun kondisinya tetap memiliki etos kerja untuk berusaha memenuhi kebutuhannya sendiri sambil bersandar pada budaya guyub (rukun) yang menjadi nilai penguat kekerabatan.
Karakter merasa malu bila anggota keluarga (kerabat) yang mengalami kesulitan dalam hal memenuhi kebutuhan ekonomi menjadi sangat kuat. Budaya guyub (rukun) yang senang bergotong royong dan ikut marasakan ‘penderitaan’ kerabat apalagi saudara merupakan sebuah nilai yang sangat dijunjung tinggi.
Dengan kesadaran seperti itu, maka antaranggota keluarga merasa berkewajiban dan bertanggung jawab turut menopang dan menjaga kelangsungan hidup anggota keluarga yang lain. Termasuk dalam hal memastikan setiap anggota keluarga (kerabat) mendapat pendidikan yang layak.
Karena itu meski hanya memiliki hubungan darah sebagai saudara sepupu, misalnya, akan tetap merasa terpanggil untuk ikut membantu kesuksesan pendidikan saudaranya hingga tuntas. Kondisi demikian, nyaris kita temukan pada komunitas sosial lainnya, apalagi berdomisili di kota-kota besar.
Harus pula diakui bahwa meski secara rerata taraf ekonomi warga NTT masih berada relatif belum mapan, tapi hal itu tidak membuat ‘empati’ mereka menjadi mati. Antarkerabat masih memiliki kepedulian yang sangat tinggi terhadap pendidikan anggota keluarga dan kerabatnya. Karena itu, saya boleh bangga, meski berasal dari keluarga relatif biasa, sebagaimana umumnya warga NTT, tapi mampu menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi.
Bila dilihat dan dibandingkan dengan tingkat atau taraf ekonomi yang relatif kurang mendukung serasa sulit untuk sampai pada kondisi seperti yang dialami warga dengan ekonomi yang sama di kota-kota besar. Makanya perlu secara jujur mengakui bahwa menjadi sebuah keheranan yang tak menemukan ujungnya, ketika saya mendapati sebagian anak-anak dari warga yang relatif kehidupannya sama dengan kami, warga NTT, tapi merasa ‘enggan’ untuk mendorong anak-anaknya memperoleh pendidikan yang layak. Apalagi hingga mencapai jenjang pendidikan tinggi.
Bukan Isapan Jempol
Kota tanpa ‘gepeng’ bukan merupakan isapan jempol belaka. Kesan guru saya yang diceritakan kepada kami (saya) bukan merupakan sesuatu yang mengada-ada. Karena apa yang disampaikan merupakan realitas sesungguhnya yang mencerminkan kondisi faktual yang dilihat dan dirasakan.
Penilaian terhadap fenomena ‘gepeng’ di Kota Kupang yang guru saya lihat dan amati itu terjadi pada era 1980-an. Kondisi tersebut bahkan sampai hari ini belum pernah berubah. Kota Kupang masih ‘steril’ dari fenomena penyakit sosial, di mana bebas dari warga yang tanpa merasa risih dan malu menjadikan mengemis sebagai profesi utnuk mendapatkan penghasilan.
Gambaran itu bukan sebagai ‘kamuflase’ untuk menutupi fakta yang sesungguhnya. Boleh jadi ada yang beranggapan bahwa mengingat saya juga menjadi bagian dari warga yang berasal dari NTT, sehingga ‘malu’ mengungkapkan fakta yang sebenarnya. Terakhir kali saya menginjakkan kaki (kembali) di Kota Kupang pada Oktober 2015, fakta bahwa ‘Kota Tanpa Pengemis’ itu, masih tetap aktual. Bahkan hingga hari ini!
Trenyuh dan Menangis
Cerita dan kesan guru saya mengenai Kota Kupang yang bebas ‘gepeng’ terus membekas dalam ingatan saya. Hingga pada suatu kesempatan saya harus meninggalkan kampung kelahiran untuk melanjutkan pendidikan di Kota Makassar.
Saya menginjakkan kaki pertama kali di Kota Makassar pada Juli 1989. Sebagai ‘orang kampung’ yang baru pertama kali menginjakkan kaki di kota besar seperti Kota Makassar (satu dari lima kota besar di Indonesia), tidak pernah terlintas dalam benak saya akan menemukan fenomena ‘gepeng’.
Dalam kesadaran saya, bahwa apa yang pernah diceritakan guru saya ketika SMA itu merupakan fenomena umum. Bahwa kondisi ‘bebas gepeng’ seperti dikesankan guru saya itu, juga berlangsung di Kota Makassar. Artinya, bahwa saya menganggap Makassar juga bebas dari penyakit sosial.
Mengingat Kota Makassar merupakan salah satu dari lima kota besar di Indonesia. Lagi pula Kota Makassar merupakan pintu gerbang dan pusat perdagangan dan ekonomi di Pulau Sulawesi dan wilayah bagian timur Indonesia. Sehingga gambaran yang ada dalam benak saya ketika itu, bahwa kehidupan warga kota relatif makmur. Karena itu, bagi saya fenomena ‘gepeng’ merupakan hal yang mustahil ada di Makassar.
Namun penilaian saya itu sungguh sangat keliru. Bahkan untuk pertama kalinya ketika melihat pengemis dengan kondisi yang sangat memprihatinkan membuat saya trenyuh. Tanpa sadar saya terharu dan meneteskan air mata.
Hal itu berawal ketika pada suatu kesempatan setelah (baru) tiba di Makassar, saya diajak beberapa saudara sekampung yang sudah lebih dahulu berada di Makassar jalan-jalan di departement store.
Ketika masuk saya tidak melihat ‘orang-orang’ yang sedang bersimpuh di emperan toko dengan lusuh dan kondisi nelangsa. Tapi sungguh membuat saya kaget dan trenyuh, saat kami keluar dari departement store. Di depan pintu keluar, saya dikagetkan oleh suara memelas sambil menengadahkan tangan memohon derma. Sungguh saya tersentak, bercampur aduk perasaan saya waktu itu. Tanpa sadar saya meneteskan air mata.
Antara merasa terharu, sedih, dan nelangsa, sekaligus tersembul perasaan bersyukur. Menyadari diri yang masih diberi ‘kelebihan’, meski dalam ukuran kelayakan hidup rerata warga NTT masih jauh dari sejahtera. Tapi, kami masih memiliki keluarga dengan ikatan kekerabatan dengan nilai-nilai dan budaya guyub yang sangat kuat.
Karena nilai itu memandu kami untuk tidak terjebak dalam perilaku ‘permisif’. Berbuat dan bertindak tanpa mengindahkan norma-norma sosial dan nilai budaya yang selama ini mengatur dan mengikat kami.
Bagi kami warga NTT, perbuatan mengemis dan menjadi pengemis adalah sebuah perilaku tidak terhormat. Menyandarkan hidup pada belas kasih orang lain, tidak lebih dari kekerdilan jiwa dan kekeringan mental. Selama fisik masih sehat untuk berusaha maka pantang bagi warga NTT untuk menengadahkan tangan. Bahkan dalam batas-batas tertentu dan sebagai implementasi nilai-nilai (budaya) yang dianut dan mengikat, mendorong dan terus menuntun kami untuk meletakkan tangan di atas. Memberi dan bukan menerima.
Pernyataan Penutup
Saya sebagai putra asli NTT begitu bangga dengan predikat Kupang yang juga merupakan kota provinsi, tapi bebas dari penyakit sosial, khususnya pengemis. Sejauh yang saya ketahui bahwa ‘marwah’ Kupang, kota tanpa pengemis, tidak lahir karena sebuah by design.
Pemerintah daerah menyadari bahwa nilai-nilai (budaya) yang membentuk karakter dan watak warga NTT begitu kuat, sehingga tidak perlu membuat regulasi untuk mengatur dan mecegah munculnya penyakit sosial, seperti ‘gepeng’ itu. Dan ini merupakan realitas sosial yang lahir dari kesadaran warga NTT (Kupang) akan nilai-nilai yang membentuk karakter dan watak, yang mengutamakan etos kerja daripada welas kasih orang lain.
Terakhir, tulisan ini juga sebagai persembahan dan ucapan terima kasih kepada guru saya yang telah ‘menginspirasi’ saya untuk menulis catatan ini! Terima kasih dan hormat saya untuk Bapak Agus Haryatna.
Wallahu a’alam bish shawab
Makassar, 27/4/2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H