Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kupang, Kota Tanpa Pengemis

27 April 2017   10:50 Diperbarui: 28 April 2017   02:00 3545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Trenyuh dan Menangis

Cerita dan kesan guru saya mengenai Kota Kupang yang bebas ‘gepeng’ terus membekas dalam ingatan saya. Hingga pada suatu kesempatan saya harus meninggalkan kampung kelahiran untuk melanjutkan pendidikan di Kota Makassar.

Saya menginjakkan kaki pertama kali di Kota Makassar pada Juli 1989. Sebagai ‘orang kampung’ yang baru pertama kali menginjakkan kaki di kota besar seperti Kota Makassar (satu dari lima kota besar di Indonesia), tidak pernah terlintas dalam benak saya akan menemukan fenomena ‘gepeng’.

Dalam kesadaran saya, bahwa apa yang pernah diceritakan guru saya ketika SMA itu merupakan fenomena umum. Bahwa kondisi ‘bebas gepeng’ seperti dikesankan guru saya itu, juga berlangsung di Kota Makassar. Artinya, bahwa saya menganggap Makassar juga bebas dari penyakit sosial.

Mengingat Kota Makassar merupakan salah satu dari lima kota besar di Indonesia. Lagi pula Kota Makassar merupakan pintu gerbang dan pusat perdagangan dan ekonomi di Pulau Sulawesi dan wilayah bagian timur Indonesia. Sehingga gambaran yang ada dalam benak saya ketika itu, bahwa kehidupan warga kota relatif makmur. Karena itu, bagi saya fenomena ‘gepeng’ merupakan hal yang mustahil ada di Makassar.

Namun penilaian saya itu sungguh sangat keliru. Bahkan untuk pertama kalinya ketika melihat pengemis dengan kondisi yang sangat memprihatinkan membuat saya trenyuh. Tanpa sadar saya terharu dan meneteskan air mata.

Hal itu berawal ketika pada suatu kesempatan setelah (baru) tiba di Makassar, saya diajak beberapa saudara sekampung yang sudah lebih dahulu berada di Makassar jalan-jalan di departement store.

Ketika masuk saya tidak melihat ‘orang-orang’ yang sedang bersimpuh di emperan toko dengan lusuh dan kondisi nelangsa. Tapi sungguh membuat saya kaget dan trenyuh, saat kami keluar dari departement store. Di depan pintu keluar, saya dikagetkan oleh suara memelas sambil menengadahkan tangan memohon derma. Sungguh saya tersentak, bercampur aduk perasaan saya waktu itu. Tanpa sadar saya meneteskan air mata.

Antara merasa terharu, sedih, dan nelangsa, sekaligus tersembul perasaan bersyukur. Menyadari diri yang masih diberi ‘kelebihan’, meski dalam ukuran kelayakan hidup rerata warga NTT masih jauh dari sejahtera. Tapi, kami masih memiliki keluarga dengan ikatan kekerabatan dengan nilai-nilai dan budaya guyub yang sangat kuat.

Karena nilai itu memandu kami untuk tidak terjebak dalam perilaku ‘permisif’. Berbuat dan bertindak tanpa mengindahkan norma-norma sosial dan nilai budaya yang selama ini mengatur dan mengikat kami.

Bagi kami warga NTT, perbuatan mengemis dan menjadi pengemis adalah sebuah perilaku tidak terhormat. Menyandarkan hidup pada belas kasih orang lain, tidak lebih dari kekerdilan jiwa dan kekeringan mental. Selama fisik masih sehat untuk berusaha maka pantang bagi warga NTT untuk menengadahkan tangan. Bahkan dalam batas-batas tertentu dan sebagai implementasi nilai-nilai (budaya) yang dianut dan mengikat, mendorong dan terus menuntun kami untuk meletakkan tangan di atas. Memberi dan bukan menerima.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun