Kota Tanpa Pengemis
Seperti sudah saya singgung di pengantar, semasa masih duduk di bangku SMA di Waiwerang Adonara Timur, kami (saya) pernah mendengar cerita salah seorang guru yang berasal dari Jawa yang pernah ‘terdampar’ di Kupang. Ia menyampaikan kesannya setelah tiba dan beberapa saat tinggal di Kupang.
Selama beberapa saat ‘terdampar’ di Kupang, rupanya guru saya itu mempunyai kesan tersendiri tentang ibukota Provinsi NTT itu. Kesan tersebut sangat membekas dan sulit ia lupakan.
Seperti halnya kota-kota besar lainnya di Indonesia, Kupang sebagai kota provinsi maka jelas semua roda pemerintahan dan perekonomian bergerak dan berpusat di sana. Dengan demikian, kita akan berasumsi bahwa Kota  Kupang juga pasti ada, bergerak dan berkecimpung orang-orang yang menjadikan kegiatan mengemis sebagai profesi resmi.
Sistem Kekerabatan
Sayangnya asumsi itu tidak seluruhnya benar dan terbukti. Mengapa? Saya, sebagai warga yang berasal dari NTT (Lamakera, Flores Timur), malah bangga. Karena sepanjang pengetahuan dan pengalaman, saya belum pernah melihat, apalagi menemukan satu orang pun mengemis di jalan-jalan, di tempat-tempat umum, atau di pusat-pusat keramaian di Kota Kupang.
Bukan karena semua warga Kupang sudah berkehidupan sangat mapan dan sejahtera. Melainkan hal itu dipengaruhi oleh nilai-nilai (budaya) dari sistem kekerabatan yang membentuk jati diri kami sebagai warga NTT.
Ada tiga sistem kekerabatan yang dikenal dalam ilmu sosiologi maupun antropologi. Sistem kekerabatan itu adalah patrilineal, matrilineal, dan parental atau bilateral.
Dari tiga sistem kekerabatan yang ada, secara umum warga NTT menganut sistem kekerabatan pertama, yaitu patrilineal. Warga NTT menganut sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan melalui garis keturunan pihak ayah. Dengan demikian hal itu akan berpengaruh pula dalam hal pemberian suku atau marga untuk anak yang lahir, pengaturan hak dan kewajiban dalam adat, sistem pewarisan, dan lain-lain (sumber).
‘Karakter’ Warga NTT