Sidang kasus penodaan agama dengan terdakwa Gubernur sekaligus calon gubernur (cagub) DKI, Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok, Selasa (21/3/2017) kemarin, telah memasuki episode ke-15. Pada sidang ke-15 tersebut Ketua Majelis Hakim, Dwiarso Budi Santiarso menyampaikan agar sidang kasus penodaan agama dapat diputus tidak melebihi dari durasi waktu lima bulan. Agar target waktu tersebut dapat tercapai maka Dwiarso menyatakan bahwa frekuensi sidang akan ditambah menjadi dua kali dalam sepekan. Mungkin juga mengenai durasi sidang, bisa jadi sampai tengah malam.
Dasar Pertimbangan
Ada beberapa alasan sehingga Dwiarso mengusulkan penambahan frekuensi sidang untuk mengebut target waktu dengan terdakwa tunggal, cagub petahana ini. Pertimbangan pertama yakni mengacu pada ketentuan legal formal, yakni Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA). SEMA ini merupakan ketentuan hukum sebagai kekuatan legal formal majelis hakim mempertimbangkan ‘mengebut’ proses penyelesaian sidang.
SEMA tersebut mengatur target waktu penyelesaian sebuah kasus apabila masuk dan diproses melalui persidangan, maka tak boleh lebih dari lima bulan. Artinya, sebuah kasus ketika masuk dan diproses dalam sebuah persidangan sedapat mungkin sudah harus divonis, sejak sidang pertama dibuka dengan pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) paling lama lima bulan.
Kurang dari lima bulan dimungkinkan, sedang lebih dari lima bulan hanya akan menunjukkan bahwa proses sidang itu tidak efisien dan tidak efektif. Hal ini dapat menimbulkan dampak buruk persepsi publik terhadap kinerja peradilan. Boleh jadi, peradilan dan kinerja majelis hakim akan dipertanyakan, bahkan dapat menimbulkan persepsi bahwa peradilan dan majelis hakim tidak profesional.
Keduaberkaitan dengan faktor sosiologis dan psikologis masyarakat. Dalam pandangan Ketua Majelis Hakim, Dwiarso bahwa proses persidangan Ahok sudah menimbulkan dampak terhadap kenyamanan orang (dalam menggunakan lalu lintas jalan). Dwiarso menilai bahwa persidangan kasus penodaan agama dengan mendudukkan Ahok sebagai terdakwa tunggal sudah mengganggu banyak pihak.
Bagi majelis hakim, seperti disampaikan, Dwiarso bahwa masyarakat sudah menunjukkan dan menyampaikan keluhan terkait persidangan Ahok ini. Mungkin karena itu sehingga Dwiarso merasa bahwa majelis hakim juga harus peka dan peduli terhadap gejala tersebut.
Menurut Dwiarso, bahwa majelis hakim juga harus bersikap toleran terhadap kepentingan masyarakat, terutama pengguna jalan di Jalan RM Harsono, Jakarta Selatan yang sering dijadikan ajang ‘pamer’ kekuatan, baik kubu pendukung (pro) maupun kubu penentang (kontra), Begitu pula dengan kepentingan pegawai yang bertugas di gedung atau Auditorium Kementerian Pertanian yang digunakan untuk menggelar sidang selama ini. Dwiarso berujar, “Kita harus toleran juga pada mereka”.
Ketiga,pertimbangan majelis hakim ‘mempercepat’ vonis sidang Ahok karena berkaitan dengan aspek kualitas atau bobot kesaksian yang disampaikan di depan persidangan. Menurut Dwiarso, bahwa bobot atau kualitas kesaksian yang diberikan oleh saksi, terutama saksi ahli di depan sidang akan menjadi rujukan utama dalam mengambil keputusan. Jadi bukan bertumpu pada berapa banyak saksi (aspek kauntitas) yang dapat dihadirkan untuk memberikan kesaksian di depan persidangan.
Menurut majelis hakim jumlah saksi yang dihadirkan tidak serta merta berbanding lurus dengan vonis yang akan dijatuhkan hakim. Melainkan mutu atau bobot pendapat saksi ahlilah yang akan sangat menentukan ‘posisi’ majelis hakim dalam mengetuk palu. Dwiarso dengan sedikit ‘menyindir’ mengatakan, “karena ini bukan banyak-banyakan kayak di Pilkada".
Meski begitu, majelis hakim tetap memperhatikan hak-hak terdakwa dalam membela diri. Menurut Dwiarso, bahwa kebijakan dengan lebih mengedepankan aspek bobot atau kualitas kesaksian ahli daripada banyaknya saksi yang dapat dihadirkan penasehat hukum (PH) terdakwa tidaklah bermaksud untuk mengurangi hak terdakwa menyampaikan pembelaan.