Penyelewengan dana YPPI itu menyeret Aulia Pohan sebagai besan SBY harus berhadapan dengan penyidik KPK. Dalam proses penyelidikan KPK terungkap peran Aulia Pohan sebagai salah seorang Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) yang turut mengeruk dana YPPI itu. Karena perannya tersebut, sehingga penyidik KPK menetapkan Aulia Pohan sebagai salah seorang tersangka. Status tersangka tersebut membuat Aulia Pohan dalam prosedur pengungkapan sebuah kasus oleh KPK sangat berpotensi untuk selanjutnya akan ditahan.
Sikap Antasari
Mendapati kenyataan bahwa besannya berpotensi akan ditahan KPK, maka SBY merasa perlu mengirim ‘utusan’ ke rumah Antasari. Menurut pengakuan Antasari, bahwa orang ‘utusan’ yang dikirim ke rumahnya adalah  bos MNC Group Hary Tanoesoedibjo (HT). Kehadiran HT ke rumahnya, menurut Antasari membawa misi dan tujuan khusus. Tujuan dan misi kedatangan HT adalah melobi Antasari agar dapat menggunakan kewenangannya sebagai Ketua KPK  untuk mencegah penyidik menahan Aulia Pohan.
Namun, Antasari bergeming. Antasari menolak misi yang diemban HT yang merupakan utusan SBY. Meski HT berkali-kali menegaskan bahwa misi kedatangannya merupakan ‘titah’ langsung dari orang nomor satu di negeri ini, Antasari tetap pada pendiriannya.
Sikap Antasari yang menolak untuk memenuhi ‘keinginan’ SBY sebagaimana pesan yang disampaikan HT, karena mengacu pada Standar Operasional Prosedur (SOP) yang berlaku di KPK. Menurut Antasari, dalam proses penyelidikan dan penyidikan sebuah kasus pidana, sudah ada SOP yang menegaskan bahwa bila seseorang telah ditetapkan sebagai tersangka maka pada tahap selanjutnya akan ditahan. Bagi Antasari, merupakan sebuah pelanggaran prosedur bila harus memenuhi ‘permintaan’ SBY untuk tidak menahan besannya, Aulia Pohan.
‘Skenario’ Sang Dalang
Sikap Antasari yang tetap keuh-keuh tidak mengabulkan misi yang dibawa HT, membuat keadaan menjadi sulit. SBY pun murka. Sebagai penguasa negeri, akan menjadi tidak elok di mata keluarga bila tidak sanggup menolong orangtua dari menantunya. Pada satu sisi sang besan harus ‘diselamatkan’, sementara di sisi lain, sebagai seorang Presiden yang merupakan lembaga eksekutif tidak diperkenankan dalam system ketanegaraan untuk melakukan intervensi proses hukum yang sedang berjalan oleh penegak hukum (lembaga yudikatif).
Sayangnya, perang bathin ini kemudian dimenangkan oleh ikatan emosional sebagai keluarga besar. Maka ‘skenario’ sebagaimana terbaca dari testimony Antasari pun disusun. Targetnya adalah membuat seolah-olah ada kisah romantisme cinta segitiga antara tiga anak manusia. Ada persaingan yang dibumbui dengan perasaan cemburu antara Dirut PT. PRB Nasruddin dengan Antasari dalam memperebutkan gadis caddy, Rani Juliani. Puncaknya, Dirut PT. PRB harus ‘dikorbankan’ untuk menjebak Antasari masuk dalam pusaran sebuah kasus pidana.
Menghilangkan Beban Moral
Singkat cerita Antasari pun divonis bersalah sebagai ‘otak’ pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen. Setelah menjalani tiga perempat hukuman kurungan, Antasari pun mendapat kesempatan bebas bersyarat. Sambil menikmati masa bebas bersyarat Antasari merasa perlu melakukan sesuatu untuk membersihkan nama baiknya dengan mengajukan grasi ke Presiden Jokowi. Karena bagi Antasari predikat sebagai terpidana pembunuhan merupakan aib dan akan menjadi beban moral bagi anak-anak dan cucu-cucunya kelak. Dan Antasari tidak ingin predikat seram itu akan membebani keluarganya.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Permohonan grasi yang diajukan Antasari dikabulkan Presiden Jokowi. Maka sejak saat terbitnya grasi tersebut Antasari pun bebas murni dan kembali dapat melakukan aktivitasnya sebagai orang bebas seperti warga Negara lainnya. Maka secara defakto dan deyure, resmi Antasari menyandang status sebagai warga Negara bebas yang memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti warga Negara lainnya.