Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketua Umum MUI Berdusta? Sungguh Terlalu!

1 Februari 2017   10:13 Diperbarui: 1 Februari 2017   17:42 4852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : eN-Te 

Kemarin Selasa (31/1/17) sidang lanjutan kasus penistaan agama dengan terdakwa Calon Gubernur (Cagub) DKI Jakarta nomor 2, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di gelar di Auditorium Kementerian Pertanian Ragunan Jakarta Selatan. Dalam sidang lanjutan tersebut sedianya akan menghadirkan lima orang saksi, yaitu Ketua Umum (Ketum) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, K. H. Ma’ruf Amin, anggota KPUD DKI Jakarta, Dahlia Umar, salah seorang saksi pelapor, Ibnu Baskoro, dan dua orang nelayan Kepulauan Seribu. Akan tetapi, dari lima orang yang dijadwalkan, hanya tiga orang yang memenuhi panggilan hadir untuk memberikan keterangan sebagai saksi. 

Salah satu saksi fakta yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk didengarkan kesaksiannya dalam sidang lanjutan penodaan agama kemarin, adalah Ketum MUI Pusat, K. H. Ma’ruf Amin. Ma’ruf Amin dianggap memiliki ‘kompetensi’ untuk memberikan keterangan terkait penerbitan sikap keagamaan MUI terhadap pidato Ahok di Kepulauan Seribu yang menyinggung surat al-Maidah, ayat 51. 

Pada kesempatan memberikan kesaksiannya, Ma’ruf Amin ditanya oleh Tim Penasehat Hukum (PH) terdakwa terkait pengetahuannya terhadap kasus yang sedang disidangkan. Mulai dari proses penerbitan sikap keagamaan MUI, sampai afiliasi politik saksi terhadap salah satu pasangan calon (paslon) gubernur DKI, yakni nomor 1, AHY-Sylviana. Khusus mengenai hal yang terakhir, demi menggali ‘keterkaitan’ politik Ma’ruf Amin pada salah satu paslon, Tim PH terdakwa menanyakan kepada saksi mengenai kunjungan AHY-Sylviana ke kantor Pengurus Besar (PB) Nahdlatul Ulama (NU). 

Kunjungan paslon 1, AHY-Sylviana berkunjung ke kantor PBNU berlangsung pada 7 Oktober 2016. Pada saat itu, Ma’ruf Amin, yang merupakan Rais Aam PBNU, juga sedang berada di kantor PBNU dan juga ikut bertemu dengan paslon 1. Sehingga Tim PH terdakwa menduga bahwa pertemuan antara paslon 1 dengan Ma’ruf Amin bukan merupakan sebuah kebetulan. Melainkan hal itu sudah direncanakan sebelumnya. 

Rupanya dugaan Tim PH ini bukan hanya isapan jempol semata. Menurut Tim PH bahwa pertemuan antara AHY-Sylviana dan Ma’ruf Amin bukan merupakan sebuah pertemuan biasa, melainkan memiliki ‘agenda’ tertentu, di mana hal itu dimaksudkan untuk mengarahkan PBNU agar memberikan dukungan kepada paslon 1.

Menurut Tim PH, mereka memiliki bukti yang menguatkan dugaan mereka. Bahwa pertemuan di kantor PBNU merupakan desain yang telah dipersiapkan. 

Dugaan Tim PH didasarkan pada adanya bukti otentik komunikasi antara ayahanda AHY dan Ketum Partai Demokrat, SBY dengan Ma’ruf Amin. Dan komunikasi itu berlangsung sebelum pertemuan di kantor PBNU. 

Lagi, menurut Tim PH bahwa komunikasi antara SBY dan Ma’ruf Amin berlangsung pada sekitar pukul 10.00 WIB. Melalui komunikasi pertelepon itu, intinya SBY meminta kepada Ma’ruf Amin untuk ‘melakukan’ dua hal. Yakni, SBY meminta agar Ma’ruf Amin dapat mengatur pertemuan antara AHY-Sylviana di kantor PBNU (1), dan meminta agar MUI segera mengeluarkan fatwa tentang penistaan agama (2) (sumber). SBY dapat meminta Ma’ruf Amin untuk melakukan dua hal itu, mengingat Ma’ruf Amin pernah ‘berutang jasa’ kepada SBY karena pernah menunjuknya menjadi salah satu anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). 

Namun Ma’ruf Amin menyanggah pernyataan Tim PH. Untuk memastikan kebenaran dan sikap Ma’ruf Amin, berulangkali Tim PH mengulangi pertanyaan yang sama kepada saksi terkait telepon SBY untuk mengatur ‘pertemuan tak biasa itu’. Tapi, berkali-kali pula Ma’ruf Amin membantah hal itu. 

Karena terus menerus membantah ‘fakta telepon’ itu, Tim PH, dalam hal ini, Humprey Djemat, mengancam akan melaporkan Ma’ruf Amin ke ranah hukum, karena dinilai telah memberikan kesaksian palsu (baca juga di sini). Melihat kondisi itu, Ketua Majelis Hakim, Dwiarso Budi Santiarto, merasa perlu mengingatkan saksi agar memberikan keterangan secara jujur karena telah disumpah. Bila tidak, sikap saksi dapat mengantarkannya ke ranah hukum. 

Mengingat dalam memberikan keterangan di depan sidang, seorang saksi harus menyampaikan keterangan apa adanya, sesuai dengan fakta dan pengetahuannya (apa yang dilihat dan didengar). “Kalau tidak, ada konsekuensi hukumnya dan bisa dituntut beri keterangan palsu di bawah sumpah," ujar Dwiarso. 

Menanggapi rencana Tim PH yang akan melaporkan Ma’ruf Amin, putri sulung mantan Presiden ke-4, Gus Dur, Yenny Wahid meminta agar rencana itu dibatalkan (lihat berita). Meski demikian, atas pemberitaan media tentang kemungkinan Tim PH melaporkan Ketum MUI, hari ini telah dibantah (sumber). 

Tim PH rupanya sejak awal memasang strategi untuk melacak ‘motif’ para saksi pelapor dan saksi fakta. Caranya dengan menelisik latar belakang, rekam jejak dan afiliasi politik mereka terhadap paslon dalam kontestasi Pilkada DKI. Dengan mengetahui latar belakang dan rekam jejak para saksi, Tim PH berharap dapat menguak tabir kebenaran yang sesungguhnya dari kasus yang dituduhkan kepada terdakwa. Termasuk berusaha menggiring para saksi sehingga terjebak dalam memberikan kesaksian palsu. 

Sejauh pemeriksaan saksi dalam sidang kasus penodaan agama yang mendudukkan Ahok sebagai tersangka, sedikit banyak telah membuka mata publik terhadap kemungkinan ada motif politik, selain soal pidana (hukum) semata. Terkait dengan Ma’ruf Amin, dalam riwayat hidup yang dilampirkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), sang Ketum MUI ini, rupanya ‘lupa’ mencantum pekerjaan sebagai Wantimpres ketika SBY berkuasa (sumber). 

‘Kelupaan’ yang disengaja ini telah memunculkan asumsi Tim PH, bahwa Ma’ruf Amin memiliki afiliasi politik terhadap paslon 1, yakni AHY-Sylviana. Bagi Tim PH, bahwa sikap Ma’ruf Amin ini menunjukkan keberpihakkan, sehingga tidak cukup independen sebagai Ketum MUI ketika mengeluarkan fatwa atau sikap keagamaan terkait pidato Ahok. 

Apalagi, dalam kesaksiannya di depan sidang, Ma’ruf Amin mengakui bahwa sikap keagamaan yang dikeluarkan MUI karena dilandasi oleh berbagai desakan (sumber). Salah satu pihak yang ikut mendesak, seperti diungkap Tim PH adalah adanya telepon SBY yang meminta Ma’ruf Amin selaku Ketum MUI untuk segera mengeluarkan fatwa penodaan agama. 

Jika bukti yang dipegang Tim PH kuat dan valid, dan dapat dibuktikan secara hukum maka Ma’ruf Amin harus bersiap-siap untuk mau ‘kelelahan’ kembali bila kesaksiannya dipersoalkan ke ranah hukum. Begitu pula jika seandainya dalam proses pembuktian itu, bahwa apa yang disampikan Ma’ruf Amin di depan persidangan sebagai kesaksian palsu, maka sangat disayangkan sebagai Ketum MUI, berlaku dusta. Ternyata, hanya karena motif politik dapat membuat seseorang dengan kualifikasi ulama dapat berbuat dusta (?). 

Meski demikian, saya sangat berharap dugaan dan asumsi Tim PH itu salah dan tidak terbukti. Sehingga marwah tokoh agama dan lembaga prestisius seperti MUI tidak ikut tercoreng hanya karena hiruk pikuk dan gonjang-ganjing masalah pemilihan pemimpin (administratif) pada sebuah wilayah. 

Wallahu a’lam bish-shawabi 

Makassar, 1 Februari 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun