Jika ada logo halal pada kemasan bumbu penyedap itu, (tentu saja  berasal dari MUI), terus mengapa pula diisukan sebagai mengandung (lemak) babi? Atas alasan apa sehingga bumbu penyedap itu dimasukkan dalam ‘daftar terlarang’? Adakah penyebaran berita bohong mengenai kandungan babi dalam bumbu penyedap itu sebagai perang bisnis? Atau ada motif lain?
***
Dari kedua cerita di atas, saya menjadi maklum bahwa negeri ini, meski secara pendidikan telah mengalami transformasi, tapi mayarakatnya masih doyan dengan berita-berita berbau sensasional (baca : hoax). Hal itu tidak hanya menjangkiti masyarakat akar rumput (msyarakat awam) yang relatif masih kurang mendapat ‘pencerahan’ melalui pendidikan yang baik, tapi sayangnya kondisi itu terjangkiti pula pada kaum urban terdidik. Bahkan pada batas-batas tertentu, kaum yang merasa terdidik lebih parah mengidap penyakit phobia dan paranoia, dan bahkan malah menjadi perantara (agen) untuk menyebarkan ketakutan di tingkat masyarakat awam.
Jika kondisi ini dibiarkan, maka tidak dapat dibayangkan seperti apa negeri ini ke depan? Soalnya, dalam perubahan yang demikian cepat seperti saat ini, ternyata kondisi masyarakat kita masih saja terus beranjak di tempat. Tidak pernah mau bergerak maju barang setapak. Tetap saja bersikap naif dan latah.
Pendidikan yang seharusnya diharapkan dapat menjadi motor penggerak perubahan pada aspek pola pikir, malah cenderung berbanding terbalik dengan pola sikap yang ditunjukkan sehari-hari. Bukankah hal ini merupakan sebuah anomali dari tujuan pendidikan itu sendiri?
Bahwa seharusnya pola pikir  seseorang berbanding lurus dengan tingkat pendidikan, bukan malah menunjukkan kecenderungan sikap sebaliknya. Pendidikan harus dapat mendobrak kemapanan, dan mampu mengubah peradaban.
Peradaban yang ‘asal terima’ (bersikap latah) tanpa berusaha melakukan verifikasi dan kroscek kebenaran adalah peradaban primitif. Tapi, fenomena hari ini membuat kita mengurut dada sambil kembali merenung, apakah sistem pendidikan kita sudah cukup mampu mengantarkan anak bangsa ini untuk menyongong masa depan dengan optimisme tanpa mengidap penyakit curiga, phobia, dan paranoia yang berlebihan? Jika pola pikir curiga, prasangka masih tetap mengakar di negeri ini, di mana lebih senang dengan gosip, isu, hoax, dan fitnah, maka hal itu hanya akan menunjukkan sikap mental kita yang belum beranjak secara signifikan dari ‘peradaban primitif’.
Wallahu a’lam bish-shawabi
Makassar, 24 Â Januari 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H