Sehingga bagi RS, persepsinya terhadap logo pada uang kertas baru NKRI sudah cukup menjadi bukti otentik bahwa saat ini sedang ada upaya untuk membangkitkan paham komunis di Indonesia. Dan hampir pasti pihak yang ditunjuk sebagai sedang berupaya membangkitkan paham komunis itu adalah rezim yang sedang berkuasa saat ini.
Publik seakan dipaksa untuk menerima kesimpulan yang dibuat berdasarkan asumsi tak berdasar itu. RS seolah mencoba kembali memainkan triknya yang selama ini dipraktekkan, yakni memanipulasi persepsi dan sentimen publik terhadap dugaan absurd antek PKI yang selama ini dituduhkan kepada Presiden Jokowi.
RS seakan tanpa lelah dan henti ‘mengingatkan’ publik (menurut pengakuannya), bahwa rezim yang saat ini sedang berkuasa, khususnya Presiden Jokowi adalah orang yang ‘tidak bersih lingkungan’. Meski RS sendiri menyadari bahwa tuduhan terhadap Presiden Jokowi itu, sejak Pilkada Gubernur DKI Jakarta 2012, kemudian berlanjut ke Pilpres 2014, serta sampai saat ini, belum terbukti sama sekali.
RS tetap pada ‘tuduhannya’ bahwa rezim yang berkuasa saat ini sedang melakukan upaya-upaya secara sistematis dan terstruktur untuk membangkitkan paham komunis. Itu berarti, hanya tinggal menunggu waktu untuk melahirkan kembali (re-born) PKI di Indonesia.
RS terus menerus mengkhayal, berhalusinasi, dan berimajinasi sehingga nyaris mengidap paranoia. Apa saja yang berkaitan dengan rezim Jokowi dicobatafsirkan menurut persepsinya sendiri, bahwa sedang ada upaya untuk membangkitkan ajaran komunis di Indonesia. Padahal paham komunis di negeri asalnya, Uni Sovyet (sekarang Rusia), seperti kita tahu, sudah mati. Satu-satunya negeri yang masih bersikukuh ingin mempertahankan paham itu, selain RRC (sekarang RRT) sehingga berusaha ‘mengisolasi diri’ adalah Korea Utara (Korut). Saya kemudian bertanya-tanya,  apa mungkin, paham yang sudah kehilangan relevansi jaman itu masih akan bangkit kembali?
***
Sekarang kita tengok isu penyedap rasa. Mendengar dan melihat pesan yang disodorkan teman mengenai isu bumbu penyedap mengandung babi itu membuat saya teringat pada isu-isu sebelumnya. Misalnya isu tentang minuman ringan (soft-drink), seperti cola-cola (link terkait).
Dalam benak saya, pesan-pesan yang tersebar di media sosial tidak dapat diverifikasi keontentikannya. Bagi saya, bila mempercayai informasi yang tidak jelas sumbernya dapat membuat kita ‘tersesat’.
Setelah mengetahui kandungan babi, sesampai di rumah saya langsung menuju ke dapur untuk melihat kemasan salah satu dari bumbu penyedap yang biasa kami gunakan di rumah, yang masuk dalam ‘daftar terlarang’ itu. Dan setelah saya perhatikan secara seksama dan menyeluruh, ternyata pada kemasan bumbu penyedap itu, terdapat logo sertifikasi halal yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Untuk memastikan ‘keyakinan’ saya terhadap kehalalan bumbu penyedap itu, saya pun kembali menyambangi mbah google. Melalui mbah google, saya mendapat informasi bahwa isu mengenai kandungan babi dalam bumbu penyedap itu adalah bohong.
Dua lembaga yang berkompeten terhadap kehalalan suatu produk (makanan dan minuman) kemudian harus turun gunung memberikan klarifikasi. Menurut MUI dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan LPPOM MUI, bahwa berdasarkan hasil audit/penelusuran bahan tidak ditemukan adanya kandungan babi dalam beberapa produk bumbu penyedap yang diisukan (klarfikasi MUI, dan klarifikasi BPOM). Â