Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jangan Lupa 'Kawal' Sidang Ahok, Ya!

8 Desember 2016   14:24 Diperbarui: 8 Desember 2016   14:37 2044
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara sudah memastikan jadwal sidang  perdana kasus penistaan agama, yang mendudukkan Ahok sebagai terdakwa di kursi pesakitan pada Selasa (13/12/16). Majelis hakim yang akan menyidangkan ‘kasus seksi’ ini pun sudah ditetapkan (lihat di sini).

Kelima hakim yang akan memimpin sidang kasus penistaan agama seperti disangkakan dilakukan Ahok diyakini memiliki rekam jejak yang bersih (baca di sini). Sehingga publik tidak perlu merasa khawatir bahwa kasus ini akan menyisakan ‘pekerjaan rumah (PR)’ tersendiri, setelah diputuskan. Mengingat majelis hakim yang mengadili perkara penistaan agama sebagaimana disangkakan kepada Ahok ini memiliki kredibilitas yang baik.

Penegasan ini perlu diberikan! Sebab jauh-jauh hari ada kelompok dari elemen bangsa ini sudah sedemikian kebelet ingin menghukum Ahok. Apapun alasannya, pokoknya Ahok harus tetap dinyatakan bersalah dan dihukum bui. Titik!

Bagi mereka persidangan yang akan dijalankan nanti hanya formalitas semata untuk mengesahkan ‘obsesi’ mereka. Karena keinginan itu sudah sedemikian menjadi obsesi, maka apa jadinya jika dalam proses persidangan nanti, majelis hakim kemudian berpendapat sebaliknya dan bertentangan dengan keinginan kelompok asal bukan Ahok (ABA) itu? Mungkinkah tidak akan terjadi lagi gelombang protes dan unjuk rasa atas nama bela ini bela itu?

Begitu pula sebaliknya. Apakah setelah majelis hakim berpendapat sama dan memutuskan harus ‘mengikuti’ keinginan dan obsesi kelompok ABA, bahwa Ahok  harus dipenjara, lantas semua kegaduhan ini akan berakhir? Wallahu’ alam.

***

Sejak awal, kelompok Islam garis keras seperti Forum Pembela Islam (FPI) dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) sudah sangat yakin bahwa Ahok memang bersalah. Ahok telah dengan sengaja menistakan agama Islam dan kitab suci Al-Qur’an. Karena itu, tidak boleh tidak Ahok harus  dinyatakan bersalah dan dihukum, dan karena itu harus segera dimasukkan ke dalam jeruji besi.

Pembuktian dalam proses persidangan menjadi tidak penting. Pokoknya Ahok bersalah. Karena itu, tempat yang paling pantas untuk Ahok adalah bui.

Anjuran untuk terus mengawal kasus penistaan agama sebagaimana disangkakan kepada Ahok hanya sekedar warning. Hanya sebagai kamuflase untuk memberikan gambaran bahwa mereka juga masih menghargai peraturan perundang-undangan yang berlaku di negeri ini. Tapi sebenarnya, kalau mau jujur, kelompok ini sangat ingin secepatnya melihat Ahok meringkuk di penjara. Bagi mereka, proses persidangan hanya akan membuang waktu dan energi semata. Toh, ‘kejahatan’ yang dilakukan Ahok sudah sangat jelas dan nyata.

Maka wajar bila sejak jauh-jauh hari mereka berusaha menggiring opini bahwa apa yang telah dilakukan Ahok adalah sebuah kejahatan. Segala argumentasi digunakan untuk membenarkan sikap mereka. Mereka tidak peduli dengan cap yang akan dialamatkan kepada mereka. Bagi mereka, asal Ahok dipenjara, maka tamat sudah riwayatnya. Bukan saja dalam percaturan politik Nasional, tapi juga untuk semua tingkatan kontestasi.

***

Mengawal kasus Ahok juga hendaknya tidak harus menjadi monopoli kelompok tertentu, seperti FPI dan GNPF MUI saja. Seharusnya kasus ini menjadi concern semua elemen masyarakat Indonesia yang masih ‘waras’ dan ingin melihat kebenaran dan keadilan ditegakkan secara adil dan bertanggung jawab.

Artinya, semua kalangan harus memastikan bahwa kasus ini diproses secara adil dan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Tidak ada pemaksaan kehendak dan intimidasi untuk menggolkan misi tertentu.

Pemerintah juga harus hadir menegaskan eksistensinya untuk mengawal kasus ini sehingga berjalan secara proporsional. Tidak membiarkan kelompok-kelompok tertentu melakukan intimidasi atas nama aspirasi mayoritas. Keadilan hendaknya tidak didasarkan tekanan dari kelompok mayoritas, tapi harus berlandaskan pada aturan hukum yang berlaku.

Dan semua itu harus dilakukan secara jujur, transparan, bertanggung jawab, dan berkeadilan. Bukan hanya untuk menyenangkan kelompok tertentu, sehingga harus mengorbankan keadilan bagi semua (justice for all). Diskriminasi harus dipastikan tidak berlaku dalam sebuah kasus, meski itu harus mengenyampingkan kemungkinan terjadinya ‘badai’ perlawanan.

Negara tidak boleh kalah oleh intimidasi parlemen jalanan. Negara harus hadir untuk memberi perlindungan dan mengayomi semua warga negara, tanpa diskriminasi atas sentimen primordial. Negara harus menjamin bahwa semua orang mendapatkan kepastian hukum secara adil. Negara tidak boleh membiarkan sekelompok orang memaksakan kehendak dengan mengabaikan rambu-rambu hukum yang telah disepakati. Meski harus dengan tegas mengabaikan keinginan dan obsesi serta aspirasi kelompok mayoritas. Karena kebenaran tidak mengacu pada jumlah, tapi berdasarkan fakta hukum dan aturan perundangan.

***

Rasa keadilan tidak diukur menurut perspektif golongan. Keadilan akan mengejawantah ketika semua pihak dapat menerima sebuah proses peradilan secara rasional dan dewasa. Bila dalam proses peradilan itu ada hal-hal yang dirasakan belum memenuhi rasa keadilan, maka masih ada saluran hukum lanjutan yang dapat ditempuh.

Negara tidak boleh tunduk dan kalah oleh tekanan dan intimidasi atas alasan memenuhi aspirasi mayoritas. Karena itu, mari kita kawal bersama-sama sidang Ahok! Jika berdasarkan fakta hukum, seseorang yang telah didakwakan bersalah karena perbuatannya (pernyataannya) maka hukumlah sesua dengan kadar kesalahannya. Begitu pula bila sesuai fakta hukum, seseorang yang didakwa tidak terbukti bersalah, maka harus dibebaskan demi hukum.

Semua pihak juga harus bersikap dewasa menerima kenyataan itu, tanpa harus melakukan tindak-tindakan destruktiif yang hanya akan merugikan kepentingan dan kemaslahatan bersama sebagai warga bangsa. Bagi pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan proses hukum yang berlaku, masih ada saluran lain yang dapat digunakan untuk mencari keadilan.

Praktek penegakkan hukum kita akan diuji melalui kasus ‘penistaan’ agama ini. Apakah Indonesia mampu menunjukkan jati dirinya sebagai negara besar yang menghargai persamaan kedudukan di muka hukum dan pemerintahan  bagi setiap warganya? Atau malah mundur karena kalah oleh intimidasi dan tekenan kolosal. Jika itu yang terjadi, maka meminjam pernyataan Otto Hasibuan, ketika menanggapi putusan hakim atas kasus kopi sianida yang menjatuhkan hukuman terhadap Jessica, bahwa ‘keadilan sudah mati’ di negeri ini. Jangan sampai hal itu terjadi!

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 08122016

Oleh : eN-Te

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun