Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Prof. Dr. H. Muhadjir Effendy, Rabu (16/11/2016) kemarin, melakukan kunjungan kerja ke Sulawesi Selatan (Sulsel). Kunjungan kali ini dalam rangka untuk meninjau pelaksanaan program, pencairan (lihat di sini), dan membagikan (lihat di sini) Kartu Indonesia Pintar (KIP) di beberapa daerah di Pulau Barang Lompo. Di samping itu, Mendikbud juga mengunjungi SMP Negeri 28 Makassar dan memberikan bantuan perbaikan plafon untuk ruangan Pusat Sumber Belajar (PSB) (lihat sumber).
Di samping itu, pada kesempatan tersebut Mendikbud juga turut menyaksikan penandatangan nota kesepahaman (memorandum of understanding, MoU) antara LPMP Sulsel dengan Kepala Dinas Pendidikan Kab/Kota se- Sulsel. Peserta Rakor merupakan Kepala Dinas Pendidikan Kab/Kota se- Sulsel, dan juga Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Dinas Pendidikan Kecamatan se- Sulsel.
Menurut Gubernur, Sulsel memiliki banyak sumber daya (resources), akan tetapi kurang didukung oleh sumber daya manusia (SDM) yang memadai. Meski pencapaian dalam bidang ekonomi Provinsi Sulsel yang paling tinggi secara Nasional. Karena itu, Gubernur, mengharapkan agar Mendikbud menjadikan Sulsel sebagai basis percontohan dalam pengembangan SDM unggul di Indonesia.
Menurut Muhadjir Effendy, sekurang-kurangnya ada empat (4) persoalan yang sedang dihadapi pendidikan kita (Indonesia). Ke-4 persoalan itu, mencakup 1) masalah mutu (kualitas), 2) masalah jumlah (kuantitas), 3) masalah kesenjangan kultural, struktural, dan spasial, dan 4) masalah ketidaksesuaian antara jenis dan jenjang jurusan yang dibutuhkan di dunia kerja.
Menurut Mendikbud, empat persoalan itu menjadi tanggung jawab LPMP di tingkat provinsi. Jadi LPMP dalam pandangan Menteri, seharusnya tidak hanya bertanggung jawab pada masalah penjaminan mutu pendidikan yang bertolok ukur pada standar nasional yang sudah ada, tapi harus dapat menjangkau hal yang lebih luas. Karena itu, Mendikbud secara khusus pada kesempatan itu, menyorot tentang masalah kesenjangan kultural, kesenjangan struktural, dan kesenjangan spasial. Mendikbud kemudian menguraikan lebih lanjut ketiga kesenjangan itu secara singkat.
Pertama, kesenjangan kultural.
Menurut Mendikbud, seperti kita tahu bahwa di kalangan masyarakat kita di negeri ini, masih ada budaya yang berpandangan bahwa bersekolah itu menghabiskan waktu dan duit (biaya). Terutama di kalangan masyarakat, bukan saja pada masyarakat kurang mampu (makmur), tapi justru juga berlaku pada daerah-daerah yang masyarakatnya sudah makmur.
Bagi kelompok masyarakat yang masih berpandangan pada simbol kultural tersebut, mereka menganggap pendidikan tidak terlalu penting. Karena mereka sudah masuk pada apa yang disebut zona nyaman. Bagi kelompok masyarakat ini, malah bertanya, “mengapa repot-repot sekolah lagi?”