Sebagai contoh, Mendikbud menyebutkan beberapa daerah perkebunan teh dan perkebunan cengkeh. Umumnya pada dearah perkebunan teh dan cengkeh tingkat kesejahteraan hidup masyarakatnya sudah cukup baik. Maka masyarakat pada daerah perkebunan ini cenderung menganggap sekolah hanya merupakan upaya pemborosan semata.
Bagi kelompok masyarakat ini, keterampilan memetik daun teh dan (bunga) cengkeh sudah lebih dari cukup, sehingga tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Dengan didukung kondisi alam yang bagus sehingga dapat memberikan hasil yang bagus pula, maka hal itu akan berdampak pada penghasilan (income) para pekerja (pemetik).Â
Apalagi pada daerah-daerah perkebunan dengan alam yang bagus, jelas akan menghasilkan produk daun teh dan cengkeh yang baik, maka keterampilan memetik sudah cukup dapat memberikan penghasilan dalam sehari bisa 300 ribu – 500 ribu rupiah. Dengan penghasilan seperti itu, jelas akan mempengaruhi animo dan antusiasme masyarakat untuk mendorong anak-anaknya mengenyam pendidikan sampai setinggi-tingginya.
Pandangan yang sama juga berlaku pada daerah-daerah pertambangan. Masyarakat pada daerah-daerah pertambangan dengan kondisi lingkungan yang sangat mendukung, maka berpandangan sangat pragmatis. Melihat sesuatu dari segi manfaat atau keuntungan yang langsung diperoleh ketimbang harus menghabiskan waktu untuk sekolah, yang belum tentu setelah tamat langsung memperoleh pekerjaan dengan penghasilan yang menjanjikan.
Bagi Mendikbud, ini adalah satu (bagian) dari masalah kesenjangan dalam akses pendidikan yang berkaitan dengan kesenjangan kultural. Di mana pandangan masyarakat pada suatu daerah dan suatu waktu tertentu sangat menentukan akses untuk mendapat pendidikan secara berkualitas bagi generasi berikutnya.
Kedua, kesenjangan struktural.
Kesejangan pada aspek ini berkaitan dengan policy pemerintah. Pemerintah mempunyai peran yang sangat signifikan terhadap akses pendidikan bagi seluruh warga bangsa.
Karena itu, menurut Mendikbud, memang antara lain, kesenjangan struktural ini, diakibatkan karena adanya kebijakan-kebijakan yang kurang berpihak pada orang-orang yang seharusnya mendapatkan akses yang luas di dalam sistem pendidikan kita. Bagi Muhadjir Effendy, bahwa masih banyak sekali kebijakan pemerintah, baik sengaja atau tidak sengaja, bisa menimbulkan ketidakmerataan akses calon peserta didik (siswa) untuk mendapatkan akses-akses  pendidikan yang layak (berkualitas).Â
Ketiga, kesenjangan spasial.
Menueut Mendikbud, masalah kesenjangan spasial ini merupakan masalah yang paling penting. Masalah ini merupakan kesenjangan yang berkaitan dengan tempat (ruang/lokasi). Atas alasan kondisi (mungkin faktor geografis dan sebagainya), sehingga menyebabkan calon peserta didik tidak mendapatkan akses pendidikan yang layak.
Menteri mencontohkan seperti daerah-daerah di Sulsel yang masih banyak masyarakat yang berada di pulau-pulau kecil dan terpencil. Tentu saja, masyarakat pada daerah-daerah tersebut tidak mendapatkan pelayanan pendidikan yang aksesnya cukup, dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan dan daerah daratan utama di Sulsel ini. Dan hal itu, perlu mendapat perhatian yang serius agar mereka juga berkesempatan memperoleh pendidikan yang layak. Â Â