Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mungkinkah Pilkada DKI Masih Punya Greget Tanpa Ahok?

13 November 2016   10:57 Diperbarui: 13 November 2016   11:05 1485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sbr. gbr. : http://news.okezone.com

Di sinilah dasar reasoning untuk ‘mematikan’ Ahok sejak awal pertandingan. Ibarat menepuk lalat, sekali tepuk dua tiga lalat dapat tergenjet. Dengan isu ‘penistaan’ agama, Ahok digiring secara perlahan tapi pasti untuk memasuki kotak. Setelah masuk, ada alasan konstitusional untuk mendiskualifikasi Ahok dari arena pertandingan.

Meski cara tersebut terkesan vulgar tidak menjadi sebuah soal yang berarti, yang penting target dan tujuan utama berada dalam genggaman. Mengenyampingkan dan menempatkan etika politik pada nomor kesekian menjadi hal yang lumrah, tidak menjadi sesuatu yang tabuh untuk dilanggar.  

Dengan begitu, berimaginasi mengharapkan Ahok mundur dari kancah pertarungan, sama dengan mengharapkan kontestasi Pilkada DKI tanpa riak-riak yang menggembirakan sekaligus menggemaskan. Tidak ada lagi hiruk pikuk yang membuat gaduh mencermati sepak terjang Ahok dalam politik mainstream. Semuanya serba tunggal, tidak ada lagi warna-warni yang menghiasi pemandangan dan panorama politik negeri yang dijuluki zamrud khatulistiwa ini.

Bahwa dalam sebuah kompetisi kalah dan menang adalah sebuah keniscayaan. Tapi mengharapkan kemenangan tanpa harus mengucurkan keringat, tanpa berjuang secara optimal dengan kepercayaan diri adalah ibarat meminum air laut. Sebanyak apapun air laut diminum tidak akan menghilangkan dahaga. Kepuasaan yang diraih hanya akan dirasakan sesaat, karena akan muncul keinginan-keinginan berikutnya harus pula dipenuhi.

Maka jangan sekali-kali para pasangan calon (paslon) dari tiga paslon yang ada sampai berimajinasi liar, dengan mengharapkan kondisi kemenangan secara walk-out (WO). Karena kemenangan WO tanpa bertanding dan mengeluarkan keringat (mungkin juga keringat dingin sekalipun) tidak akan memberikan makna apa-apa. Di sana tidak ada tantangan, sebuah kondisi yang ‘memaksa’ seseorang harus mengeluarkan semua kemampuan dan potensi secara optimal. Jika kondisi itu yang diharapkan, ‘aura’ seorang pemimpin sebagaimana diharapkan konstituennya tidak akan terlihat dan nampak keluar. Ia hanya dikenang sebagai putra mahkota yang ketiban pulung, ketimbang seorang hero yang mendapatkan kebanggaannya secara heroik penuh elegan.

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 13112016

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun