Sebuah pilihan politik yang sangat pas dan sempurna. Di samping ingin membuktikan pepatah lama, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, atau air cucuran atap jatuh ke pelimbahan juga, pasangan AHY-Sylvi juga ingin meraih 'berkah' dengan program BLT. Berkah mana melalui iming-iming dana BLT tersebut, keduanya berharap dapat mempengaruhi suara warga untuk menjatuhkan pilihan mereka pada pasangan AHY-Sylvi ketika memasuki bilik suara pada hari 'H' pencoblosan nanti. Sebuah harapan yang tidak muluk-muluk, mengingat pengalaman itu pernah dirasakan sang ayah.
***
Tidak ada yang salah dengan program BLT itu. Siapapun yang ingin mengusung dan memasukkan ke dalam program kerja mereka, sah-sah saja. Toh, program tersebut merupakan sebuah tindakan yang mulia, membantu masyarakat miskin agar dapat sedikit terentaskan dari yang kondisi ekonomi mereka yang pas-pasan.
Meski program ini juga dianggap sebagai sebuah tindakan filantropi, menjual kedermawanan hanya ingin mendapat keuntungan politik praktis sesaat, tanpa memikirkan dampak negatif terhadap etos kerja. Membiarkan masyarakat terus menerus dalam ‘kemiskinan’ karena negara turut serta memfasilitasi dan seakan sengaja menciptakan kemiskinan struktural. Kemiskinan yang sengaja dikondisikan agar masyarakat tidak berbuat neko-neko terhadap kepentingan kekuasaan. Sepanjang kekuasaan dapat diraih dengan mudah, sekaligus memproteksi kekuasaan itu dari kemungkinan rongrongan bila janji tidak ditunaikan, maka membiarkan mental mengemis tumbuh subur bukan merupakan sebuah tindakan tercela.
***
Meski memiliki tujuan mulia, membantu ekonomi RTS yang masih relatif berada di bawah garis kemiskinan, tapi banyak pihak sebenarnya telah  mengungkap sisi negatif penyaluran BLT tersebut. Terdapat sejumlah resistensi dan kritik terhadap kebijakan ini. Ada yang menyebutnya sebagai tindakan tidak kreatif dari pemerintah dan ada pula berpendapat kebijakan ini hanya akan memberikan tekanan kepada inflasi dan tidak memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia. Lagi pula, kebijakan BLT ini sulit akan mencapai tujuan pengurangan kemiskinan secara optimal jika tidak didukung dengan kebijakan lainnya (sumber).
Sekedar menyebut sisi negatif penyaluran BLT, yakni muncul gejala pamer kemiskinan dadakan. Gegara BLT, warga yang sebelumnya merasa keberatan bila dikategorikan sebagai warga miskin, malah fine-fine saja bila namanya tercantum dalam daftar penerima. Bahkan kadang melakukan protes bila dari semua warga yang ada di lingkungannya menerima BLT, sementara dia atau keluarganya tidak terdaftar sebagai penerima BLT.
Tidak jarang pula terjadi keributan di tempat-tempat pencairan dana BLT, seperti Bank maupun Kantor Pos. Keributan itu bisa dipicu oleh kecemburuan sosial, antarpenerima dan yang tidak menerima, juga antara pengantre dengan pegawai di Kantor Pos dan Bank. Kadang kala pula harus bersengketa dengan pemerintah setempat, mulai dari perangkat terendah, RT, lurah, sampai pula ke atasnya. Â Â
Maka muncul fenomena memamerkan kemiskinan secara terbuka. Bahkan ada yang merasa perlu mendeklarasikan kemiskinannya. Terjadi anomali menyikapi kemiskinan. Hal yang seharusnya ‘dilawan’, malah menerimanya dengan tangan terbuka sebagai sesuatu yang given, yang harus diterima. Mental ingin memperoleh sesuatu tanpa harus berpeluh keringat tumbuh subur dan malah difasilitasi oleh negara.
Dampak negatif lain terhadap pembentukan karakter dan mental masyarakat akibat pemberian BLT juga telah diteliti secara ilmiah. Salah satu penelitian yang membuka ‘borok’ BLT itu menyebutkan bahwa pemberian BLT dapat menimbulkan beberapa hal berikut : mengaburkan rasa kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah terendah karena mereka mendapat BLT; dapat menimbulkan rusaknya hubungan kekeluargaan bagi sesama masyarakat; menjadikan masyarakat selalu berangan-angan dengan bantuan; menimbulkan rasa kecemburuan sosial antara masyarakat miskin dengan yang tidak mendapat bantuan; membuat masyarakat malas berusaha, serta berharap bantuan lagi; tidak bersifat mendidik; dan dijadikan senjata untuk saling menjatuhkan dalam sebuah kontestasi demokrasi (sumber).
Jadi, pendek kata, program dan pemberian BLT dapat berdampak pada etos kerja, menumbuhkan sikap komsumtif, memancing disharmonisasi interaksi sosial (warga, bahkan antarkeluarga bisa saling salah paham), membiarkan masyarakat hidup dengan mindset yang keliru, berpikir dana tunai yang diterima dapat mengimbangi laju inflasi (baca di sini).