Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Horeee, AHY-Sylvi Akan Kucurkan BLT Lagi!

31 Oktober 2016   09:34 Diperbarui: 31 Oktober 2016   11:27 3438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: antarafoto.com

Tanpa terasa sudah sepekan lebih saya absen menjual ‘ocehan’ di lapak Kompasiana. Meski begitu, saya tetap hadir memelototi setiap isu yang senantiasa aktual hadir di lapak Kompasiana. Kadang pula meninggalkan jejak di sana dengan memberi nilai dan juga komentar.

***

Hari ini saya mencoba kembali mengumpulkan informasi yang sempat terserap, kemudian mengolahnya sedemikan rupa agar dapat menjadi ‘jualan’, sehingga layak digelar di lapak Kompasiana. Salah satu informasi yang sempat masuk adalah mengenai program kerja pasangan calon gubernur (Cagub) dan calon wakil gubernur (Cawagub) DKI pada Pilkada 2017.

Dari ketiga pasangan calon, ada yang menarik dari program pasangan calon nomor urut satu. Yakni menghidupkan kembali program Batuan Langsung Tunai (BLT) yang sempat membuat rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dapat dengan mulus menuai ‘untung’. Berkat program BLT, SBY dengan mulus mempertahankan kekuasaan untuk periode kedua. Mengapa demikian?

***

SBY berhasil menggenggam kekuasaan untuk lima tahun berikutnya setelah periode pertama, berkat ‘keampuhan’ program BLT. SBY menang mutlak mengalahkan calon presiden (Capres) kompetitor lainnya, setelah masyarakat Indonesia menjatuhkan pilihan pada pasangan calon SBY-Boediono pada Pilpres 2009. Kemenangan itu dengan mudah diperoleh SBY setelah masyarakat Indonesia merasa ‘berutang budi’ kepada SBY karena telah dengan sukarela bagai sinterklas membagi-bagikan uang secara gratis dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kepada rumah tangga sasaran (RTS).

BLT adalah program bantuan pemerintah berjenis pemberian uang tunai atau beragam bantuan lainnya, baik bersyarat (conditional cash transfer) maupun tak bersyarat (unconditional cash transfer) untuk masyarakat miskin (sumber). BLT pertama kali dijalankan melalui Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk Rumah Tangga Sasaran (RTS). BLT itu diberikan sebagai bentuk kompensasi pengurangan subsidi BBM. Program BLT ini diberikan dengan tujuan agar dapat menyentuh dan memberi manfaat langsung kepada masyarakat miskin, mendorong tanggung jawab sosial bersama dan dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada perhatian pemerintah yang secara konsisten benar-benar memperhatikan RTS yang pasti merasakan beban yang berat dari kenaikan harga BBM (sumber).

Sengaja saya memberi cetakan tebal miring untuk menegaskan tujuan praktis pemberian BLT tersebut. Rupanya pemberian BLT tidak hanya bermaksud mulia mengurangi beban hidup RTS rentan terhadap kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) akibat pengurangan subsidi, tapi juga mengandung tujuan ‘tersembunyi’. Yakni menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada perhatian pemerintah. Dan ternyata rezim SBY langsung menuai hasil yang sangat memuaskan setelah menggelontorkan dana triliunan rupiah untuk membantu masyarakat miskin melalui program BLT. Rasa ewuh pakewuh atas ‘infaq’ yang diterima, mendorong masyarakat menjatuhkan pilihannya pada Pilpres 2009 kepada pasangan SBY-Boediono. Keduanya pun memenangkan pertarungan Pilpres 2009 hanya dalam satu putaran (sumber).

Sbr. gbr. : http://finansial.bisnis.com
Sbr. gbr. : http://finansial.bisnis.com
***

Pengalaman adalah guru yang terbaik. Maka dengan berkaca pada pengalaman itu, pasangan calon Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Sylviana Murni (Sylvi) pun ingin mengikuti jejak SBY, yang juga merupakan ayahnya.

AHY seakan ingin mengikuti pola yang telah terbangun dalam keluarganya. Pengalaman baik yang telah digoreskan sang ayah, ingin pula diteruskan. AHY seakan ingin menunjukkan kualitas dirinya sebagai anak yang berbakti. Teladan yang telah dicontohkan sang ayah, apalagi praktek tersebut merupakan best practice, adalah sebuah ‘kedurhakaan’ bila tidak mencontohinya.

Di mana-mana, ‘perilaku’ anak tersebut menjadi cermin orang tuanya. Bila si anak tidak mengikuti contoh baik yang telah diwariskan sang ayah, apalagi yang harus diharapkan dari anak berbakti? Karena itu, AHY tidak ingin menghindar dari cap menjadi anak durhaka. Maka program BLT yang telah mengantarkan ayahnya, SBY meraih tampuk kekuasaan untuk periode kedua pun ingin pula diadopsi ke dalam program kerjanya yang ingin dijual dalam Pilkada DKI 2017.

Sebuah pilihan politik yang sangat pas dan sempurna. Di samping ingin membuktikan pepatah lama, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, atau air cucuran atap jatuh ke pelimbahan juga, pasangan AHY-Sylvi juga ingin meraih 'berkah' dengan program BLT. Berkah mana melalui iming-iming dana BLT tersebut, keduanya berharap dapat mempengaruhi suara warga untuk menjatuhkan pilihan mereka pada pasangan AHY-Sylvi ketika memasuki bilik suara pada hari 'H' pencoblosan nanti. Sebuah harapan yang tidak muluk-muluk, mengingat pengalaman itu pernah dirasakan sang ayah.

***

Tidak ada yang salah dengan program BLT itu. Siapapun yang ingin mengusung dan memasukkan ke dalam program kerja mereka, sah-sah saja. Toh, program tersebut merupakan sebuah tindakan yang mulia, membantu masyarakat miskin agar dapat sedikit terentaskan dari yang kondisi ekonomi mereka yang pas-pasan.

Meski program ini juga dianggap sebagai sebuah tindakan filantropi, menjual kedermawanan hanya ingin mendapat keuntungan politik praktis sesaat, tanpa memikirkan dampak negatif terhadap etos kerja. Membiarkan masyarakat terus menerus dalam ‘kemiskinan’ karena negara turut serta memfasilitasi dan seakan sengaja menciptakan kemiskinan struktural. Kemiskinan yang sengaja dikondisikan agar masyarakat tidak berbuat neko-neko terhadap kepentingan kekuasaan. Sepanjang kekuasaan dapat diraih dengan mudah, sekaligus memproteksi kekuasaan itu dari kemungkinan rongrongan bila janji tidak ditunaikan, maka membiarkan mental mengemis tumbuh subur bukan merupakan sebuah tindakan tercela.

***

Meski memiliki tujuan mulia, membantu ekonomi RTS yang masih relatif berada di bawah garis kemiskinan, tapi banyak pihak sebenarnya telah  mengungkap sisi negatif penyaluran BLT tersebut. Terdapat sejumlah resistensi dan kritik terhadap kebijakan ini. Ada yang menyebutnya sebagai tindakan tidak kreatif dari pemerintah dan ada pula berpendapat kebijakan ini hanya akan memberikan tekanan kepada inflasi dan tidak memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia. Lagi pula, kebijakan BLT ini sulit akan mencapai tujuan pengurangan kemiskinan secara optimal jika tidak didukung dengan kebijakan lainnya (sumber).

Sekedar menyebut sisi negatif penyaluran BLT, yakni muncul gejala pamer kemiskinan dadakan. Gegara BLT, warga yang sebelumnya merasa keberatan bila dikategorikan sebagai warga miskin, malah fine-fine saja bila namanya tercantum dalam daftar penerima. Bahkan kadang melakukan protes bila dari semua warga yang ada di lingkungannya menerima BLT, sementara dia atau keluarganya tidak terdaftar sebagai penerima BLT.

Tidak jarang pula terjadi keributan di tempat-tempat pencairan dana BLT, seperti Bank maupun Kantor Pos. Keributan itu bisa dipicu oleh kecemburuan sosial, antarpenerima dan yang tidak menerima, juga antara pengantre dengan pegawai di Kantor Pos dan Bank. Kadang kala pula harus bersengketa dengan pemerintah setempat, mulai dari perangkat terendah, RT, lurah, sampai pula ke atasnya.   

Maka muncul fenomena memamerkan kemiskinan secara terbuka. Bahkan ada yang merasa perlu mendeklarasikan kemiskinannya. Terjadi anomali menyikapi kemiskinan. Hal yang seharusnya ‘dilawan’, malah menerimanya dengan tangan terbuka sebagai sesuatu yang given, yang harus diterima. Mental ingin memperoleh sesuatu tanpa harus berpeluh keringat tumbuh subur dan malah difasilitasi oleh negara.

Dampak negatif lain terhadap pembentukan karakter dan mental masyarakat akibat pemberian BLT juga telah diteliti secara ilmiah. Salah satu penelitian yang membuka ‘borok’ BLT itu menyebutkan bahwa pemberian BLT dapat menimbulkan beberapa hal berikut : mengaburkan rasa kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah terendah karena mereka mendapat BLT; dapat menimbulkan rusaknya hubungan kekeluargaan bagi sesama masyarakat; menjadikan masyarakat selalu berangan-angan dengan bantuan; menimbulkan rasa kecemburuan sosial antara masyarakat miskin dengan yang tidak mendapat bantuan; membuat masyarakat malas berusaha, serta berharap bantuan lagi; tidak bersifat mendidik; dan dijadikan senjata untuk saling menjatuhkan dalam sebuah kontestasi demokrasi (sumber).

Jadi, pendek kata, program dan pemberian BLT dapat berdampak pada etos kerja, menumbuhkan sikap komsumtif, memancing disharmonisasi interaksi sosial (warga, bahkan antarkeluarga bisa saling salah paham), membiarkan masyarakat hidup dengan mindset yang keliru, berpikir dana tunai yang diterima dapat mengimbangi laju inflasi (baca di sini).

***

Bahwa menebarkan sikap-sikap filantropis merupakan sebuah tindakan mulia dari perspektif agama. Tapi bila hal itu dimobilisasi untuk kepentingan meraih keuntungan politik jangka pendek malah akan merusak sendi-sendi pembangunan karakter dan tatanan sosial budaya jangka panjang.

Membiarkan masyarakat hidup dengan mental malas, tidak menjadi sebuah masalah bagi pasangan calon, maka hal itu memberi sinyal buruk. Jangan sampai, semangat untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan melalui etos kerja menjadi barang langka ketika nafsu kuasa telah merasuki sum-sum.

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 31102016

Oleh : eN-Te

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun