Oleh : eN-Te
Gaung dan getaran (resonansi) operasi tangkap tangan (OTT) terhadap praktek pungutan liar (pungli) di Kementerian Perhubungan (Kemenhub) RI, terasa semakin menggema. Resonansi untuk memberantas praktek-praktek tidak terpuji dalam proses pelayanan masyarakat semakin hari semakin menemukan bentuknya.
Rupanya ‘gaya’ Presiden Jokowi membiarkan dirinya dicap sebagai sedang melakukan pencitraan telah memberikan dampak luar biasa terhadap semangat menghadirkan pemerintahan yang bersih dan akuntabel. Satu saja langkah kejut sederhana yang dilakukan Presiden Jokowi telah memberikan bekas yang mendalam dalam proses pelayanan publik.
Pandangan bahwa praktek-praktek pungli dan sejenisnya hampir tidak mungkin dan mustahil untuk dihilangkan karena sudah berurat berakar. Mentalitas ingin cepat beres hanya dengan sedikit mengeluarkan ongkos sudah menjadi pemandangan umum di negeri ini. Akan tetapi, Jokowi menepis pandangan itu hanya dengan satu langkah kejut sederhana.
Presiden setelah menerima laporan dari Menhub, di mana sedang terjadi OTT yang dipimpin Kepala Kepolisian RI (Kapolri) dengan sigap mendatangi Kemenhub. Di hadapan pers Jokowi menegaskan sikapnya untuk memberantas habis dan tuntas terhadap praktek-praktek dan perilaku yang telah menodai semangat pengelolaan pemerintahan yang bersih dan akuntabel.
Di hadapan pers, Jokowi mempertegas sikapnya untuk memerangi budaya pungli. Presiden menegaskan, bahwa agar seluruh instansi untuk langsung memecat pejabat yang terbukti melakukan praktek pungli. Jokowi ingin pungli, terutama yang berkaitan dengan pelayanan terhadap masyarakat bisa dihentikan (sumber).
Bagi Presiden praktek patgulipat dan korupsi telah membuat negara ini kelimpungan. Mentalitas korup berkembang biak berawal dari kebiasaan melakukan pungli. Budaya pungli merupakan embrio awal munculnya bibit-bibit korupsi.
Ibarat virus yang menyebar, praktek pungli, yang hampir merata hadir pada setiap proses pemberian pelayanan kepada masyarakat, akan menjadi penyakit endemis bagi negeri ini. Jika langkah taktis dan spektakuler tidak dimulai hari ini, meski itu bersifat ‘recehan’, pada sutau saat akan mengantarkan negeri ini masuk ke jurang pandemi. Padahal, jika kita mau jujur dan harus mengakui bahwa memang kondisi pungli itu sudah menjadi pandemi.
Pandemi adalah wabah yang berjangkit serempak di mana-mana yang meliputi daerah geografi yang luas (KBBI, 2008, h. 1116). Boleh jadi, Presiden Jokowi merasa kondisi mewabah ini tidak boleh terus menerus dibiarkan. Jika sebagai seorang Presiden yang telah melihat dan merasakan ‘wabah’, kemudian seolah menutup mata dan telinga, kemudian tidak melakukan apa-apa, membiarkannya, maka hal itu akan menjadi ‘noda’ dalam cacatan sejarah kepemimpinannya. Â
Jokowi harus membuktikan satu hal sederhana, bahwa visinya untuk menghadirkan Indonesia yang bermartabat dan beradab, bukan merupakan isapan jempol. Langkah taktis dan terobosan yang nyaris mustahil harus ia petakan rintis. Meski karena langkah sederhana nan kecil itu, malah menghadirkan penilaian sinis.
Revolusi mental yang menjadi visi Presiden untuk melakukan restorasi, baik fisik maupun mental bangsa ini harus dengan segera dijalankan. Jokowi merasa tidak perlu lagi harus menunggu, jika tidak ingin semuanya menjadi terlambat.