Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Semoga, Jokowi Dikenang sebagai ‘Presiden Recehan’

19 Oktober 2016   16:39 Diperbarui: 19 Oktober 2016   16:50 2802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sbr. gbr. : harianhaluan.com

Oleh : eN-Te

Gaung dan getaran (resonansi) operasi tangkap tangan (OTT) terhadap praktek pungutan liar (pungli) di Kementerian Perhubungan (Kemenhub) RI, terasa semakin menggema. Resonansi untuk memberantas praktek-praktek tidak terpuji dalam proses pelayanan masyarakat semakin hari semakin menemukan bentuknya.

Rupanya ‘gaya’ Presiden Jokowi membiarkan dirinya dicap sebagai sedang melakukan pencitraan telah memberikan dampak luar biasa terhadap semangat menghadirkan pemerintahan yang bersih dan akuntabel. Satu saja langkah kejut sederhana yang dilakukan Presiden Jokowi telah memberikan bekas yang mendalam dalam proses pelayanan publik.

Pandangan bahwa praktek-praktek pungli dan sejenisnya hampir tidak mungkin dan mustahil untuk dihilangkan karena sudah berurat berakar. Mentalitas ingin cepat beres hanya dengan sedikit mengeluarkan ongkos sudah menjadi pemandangan umum di negeri ini. Akan tetapi, Jokowi menepis pandangan itu hanya dengan satu langkah kejut sederhana.

Presiden setelah menerima laporan dari Menhub, di mana sedang terjadi OTT yang dipimpin Kepala Kepolisian RI (Kapolri) dengan sigap mendatangi Kemenhub. Di hadapan pers Jokowi menegaskan sikapnya untuk memberantas habis dan tuntas terhadap praktek-praktek dan perilaku yang telah menodai semangat pengelolaan pemerintahan yang bersih dan akuntabel.

Di hadapan pers, Jokowi mempertegas sikapnya untuk memerangi budaya pungli. Presiden menegaskan, bahwa agar seluruh instansi untuk langsung memecat pejabat yang terbukti melakukan praktek pungli. Jokowi ingin pungli, terutama yang berkaitan dengan pelayanan terhadap masyarakat bisa dihentikan (sumber).

Bagi Presiden praktek patgulipat dan korupsi telah membuat negara ini kelimpungan. Mentalitas korup berkembang biak berawal dari kebiasaan melakukan pungli. Budaya pungli merupakan embrio awal munculnya bibit-bibit korupsi.

Ibarat virus yang menyebar, praktek pungli, yang hampir merata hadir pada setiap proses pemberian pelayanan kepada masyarakat, akan menjadi penyakit endemis bagi negeri ini. Jika langkah taktis dan spektakuler tidak dimulai hari ini, meski itu bersifat ‘recehan’, pada sutau saat akan mengantarkan negeri ini masuk ke jurang pandemi. Padahal, jika kita mau jujur dan harus mengakui bahwa memang kondisi pungli itu sudah menjadi pandemi.

Pandemi adalah wabah yang berjangkit serempak di mana-mana yang meliputi daerah geografi yang luas (KBBI, 2008, h. 1116). Boleh jadi, Presiden Jokowi merasa kondisi mewabah ini tidak boleh terus menerus dibiarkan. Jika sebagai seorang Presiden yang telah melihat dan merasakan ‘wabah’, kemudian seolah menutup mata dan telinga, kemudian tidak melakukan apa-apa, membiarkannya, maka hal itu akan menjadi ‘noda’ dalam cacatan sejarah kepemimpinannya.  

Jokowi harus membuktikan satu hal sederhana, bahwa visinya untuk menghadirkan Indonesia yang bermartabat dan beradab, bukan merupakan isapan jempol. Langkah taktis dan terobosan yang nyaris mustahil harus ia petakan rintis. Meski karena langkah sederhana nan kecil itu, malah menghadirkan penilaian sinis.

Revolusi mental yang menjadi visi Presiden untuk melakukan restorasi, baik fisik maupun mental bangsa ini harus dengan segera dijalankan. Jokowi merasa tidak perlu lagi harus menunggu, jika tidak ingin semuanya menjadi terlambat.

Maka gebrakan yang dilakukan ketika ‘mengunjungi’ OTT pungli staf Kemenhub, menjadi langkah awal untuk kembali menegaskan komitmennya membangun negeri ini menjadi ‘Indonesia Hebat’.  Jokowi seakan tidak peduli dengan kenyinyiran 2F (Fahri Hamzah dan Fadli Zon), duo sejoli pimpinan DPR RI, yang memberi labeling terhadapnya sebagai ‘Presiden recehan’.

Presiden Jokowi malah, seolah ingin menegaskan bahwa dengan labeling seperti itu, akan menjadi catatan sejarah dan dikenang oleh rakyat negeri ini. Bahwa Jokowi telah dengan sadar ‘merendahkan’ dirinya untuk membangun sebuah nilai. Nilai tentang kejujuran, ketidaktamakkan, ketidakserakahan, dan ketulusikhlasan mengabdi.

Sbr. gbr. : harianhaluan.com
Sbr. gbr. : harianhaluan.com
Harus diakui bahwa sejak ‘mengunjungi’ staf Kemenhub, dan memberikan pernyataan pers tentang perang terhadap praktek dan budaya pungli, resonansi dari  OTT  terus menggema dan mengelinding. Ibarat bola salju, semangat memberantas budaya pungli terus mengalir jauh.

Segera setelah peringatan Presiden untuk menindak tegas pelaku pungli sampai dengan tahap pemecatan, telah memberikam dampak yang sangat luas. Pada setiap proses pelayanan publik, muncul sikap dan semangat untuk tidak bermain-main. Muncul semacam phobia di kalangan staf pada barisan terdepan yang bersentuhan langsung dengan layanan publik.

Maka terlihat mulai muncul semangat untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat tanpa harus ada keinginan memperoleh sesuatu yang lebih. Semua instansi dan lembaga, dari pusat sampai ke daerah, mulai bangkit membenahi diri.

Ketika tadi pagi saya bersama istri mengurus dokumen perjalanan Republik Indonesia (DPRI), berupa paspor di kantor Imigrasi Makassar, suasana dan atmosfir berbenah mulai tumbuh dan berkembang. Setiap pengunjung yang datang diperlakukan secara sama. Tidak ada lagi sikap dan perlakuan dsikriminatif dalam memberikan pelayanan.

Pengunjung Kantor Imigrasi Makassar (Dokpri)
Pengunjung Kantor Imigrasi Makassar (Dokpri)
Semua pengunjung harus mengikuti prosedur operasional standar (POS) yang telah dilakukan. Jika sebelum OTT di Kemenhub dan peringatan Presiden untuk menghentikan budaya pungli, suasana ‘perilaku tertib’ ini terasa sebagai sesuatu yang istimewa. Bahkan masih berlaku ‘order’ paspor melalui kolega dan kerabat staf Imigrasi.

Tapi, sejak gebrakan dan langkah kejut sederhana Jokowi, telah menyadarkan seluruh elemen bangsa ini, bahwa berlaku mengikuti aturan itu bukan merupakan sebuah langkah mustahil.

Semangat memberantas pungli pun bangkit dan menjalar ke seluruh negeri, mulai dari instansi pusat sampai daerah. Malah sejak ‘kunjungan’ ke Kemenhub dan peringatan keras Jokowi  telah memberikan energi baru dan stimulan memberantas praktek dan budaya pungli. Maka eforia memberantas praktek dan budaya pungli tumbuh mekar, seperti cendawan di musim hujan.  

Jokowi menyadari bahwa sebagai leader ia harus membuat tonggak. Tonggak itu harus bersifat spektakuler dan monumental. Jika gerakan memberantas praktek dan budaya pungli dapat berhasil, akan menjadi kredit point khusus dalam merestorasi negeri ini. Revolusi mental yang diusung Presiden akan menemukan bentuknya melalui gerakan pemberanatasan pungli ini. Dan saya yakin gerakan pemberantasan pungli ini akan berhasil.

Presiden sudah memberikan contoh yang baik, di mana dengan segera dan sigap mengunjungi Kemenhub ketika berlangsung OTT pungli. Jokowi seakan ingin menegaskan bahwa seorang pemimpin harus dapat memberi dan menjadi contoh. Bahwa selama ini, perilaku mengharapkan gerakan akar rumput (botton up) dalam memberantas ketidakberesan pengelolaan negeri sudah tidak memberi harapan.

Maka pola itu harus dirubah. Harus ada kemauan politik (good will) dan kemauan baik (good will) dari seorang pemimpin untuk melakukan terobosan. Meski Presiden menyadari, mencoba merubah alir sungai, akan tidak mudah, karena pasti mendapat resistensi. Paling kurang mendapat penilaian sinis dan minor.

Duo sejoli pimpinan DPR RI, 2F, membuktikan hal itu. Bagi kedua sejoli ini, apa pun yang dilakukan Presiden Jokowi tidak lebih dari pencitraan. Malah Fahri Hamzah mempertanyakan dasar hukum atas langkah Presiden (lihat di sini). Sedangkan koleganya, Fadli Zon, menilai gebrakan Presiden akan membuatnya gagal fokus dan ingin menutup isu lain (lihat di sini).

Meski mendapat cibiran dari duo sejoli pimpinan DPR RI, 2 F, Jokowi jalan terus. Dan seakan ingin menjawab cibiran 2F itu, Jokowi balas dengan pernyataan yang menyentak. Bagi Jokowi bukan masalah nilai rupiah, meski itu bersifat recehan (lihat di sini), tapi dapat menanamkan nilai baru. Nilai baru, di mana sebagai sebuah langkah strategis membangun negeri ini menjadi bangsa besar dan disegani.  

Bahkan, karena sikap ‘nyeleneh’ Presiden tersebut, membuat lawan politiknya dari kelompok oposisi kegerahan. Mereka seakan tak percaya, bahwa Presiden mau ‘mendagradasi’ kesakralan statusnya, sehingga dicap sebagai ‘Presiden recehan’.

Jokowi seakan ingin menegaskan bahwa seorang pemimpin itu harus dapat memberikan contoh. Dan contoh itu tidak harus dimulai dari atas, dari seorang pemimpin.

Bahwa selama ini kita terlalu terpukau dengan budaya botton up, sehingga ketika hendak 'dicoba' top down, contoh yang harus diberikan dari para pemimpin, apalagi Presiden, meski itu bersifat recehan, tetap saja mendapat penilaian minor. Mungkin itu hal biasa, dan hal biasa ini yg harus dihentikan dari pandangan umum.

Kadang-kadang untuk sebuah terapi kejut perlu menabrak pakem baku yang sudah berjalinkelindan. Dan Presiden memberikan contoh, bahwa bukan pada nilai rupiah, tapi bagaimana memberikan spririt dan membangkitkan kesadaran untuk berlaku bersih. Barangkali ini merupakan awal merestorasi, atau dalam istilah Presiden, merevolusi mental seluruh anak bangsa. 

Budaya ingin mendapatkan sesuatu secara instan, ingin memperoleh pamrih dari tugas yang seharusnya dilakukan, apalagi dengan memungut pungli harus dibasmi dari akar-akarnya.

Sidak Presiden dengan langsung turun ke lapangan di Kemenhub, ketika berlangsung OTT, telah memunculkan harapan baru. Bahwa negeri ini dapat tumbuh mekar dengan praktek-praktek pengelolaan pemerintahan yang bersih dan akuntabel. Tidak harus terus menerus dikotori oleh mental-mental ingin mendapat sesuatu secara tidak beradab.  

Kita sebagai rakyat Indonesia harus optimis bahwa langkah besar ini akan menyejarah dan menjadi catatan monumental. Bahwa Jokowi, meski sebagai seorang pemimpin yang terpaksa harus menerima labeling sebagai Presiden recehan, bahkan dinilai telah dengan sengaja mendegradasi kesakralan lembaga Presiden, telah memulai tonggak baru.

Tonggak mana dengan membuat nilai baru. Nilai untuk membangun negeri ini, jauh dari praktek-praktek tidak beradab. Dan langkah Jokowi menhentikan praktek dan budaya merupakan awal melakukan revolusi mental bagi seluruh anak bangsa. Dan langkah strategis ini, semoga tidak menjadi ‘panas-panas tahi ayam’.

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 19102016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun