Lepas dari ‘niat’ yang masih diragukan, memberikan maaf juga bukan merupakan tindakan yang salah. Malah sebaliknya, ketika seseorang yang dengan kebesaran hati memberikan maaf, maka akan memunculkan kemuliaan jiwa. Tidaklah ketika memberikan maaf menunjukkan kekalahan (mental pecundang), tapi malah memberikan kredit point pada sebuah nilai kesholehan.
Toh, apa yang dianggap sebagai biang keladi kekisruhan itu, berasal dari tafsir yang tidak tunggal. Terdapat beragam tafsir atas ayat 51 surah al-Maidah itu. Para ulama berbeda sudut pandang dalam menafsirkan ayat itu.
Ada yang menafsirkan kata auliya sebagai pemimpin, seperti tafsir Departemen Agama RI (sumber), tafisir Jalalain (sumber), ada pula yang menafsirkan sebagai wali, seperti Tafsir Ibnu Katsir (sumber), ada yang mengartikan sebagai sekutu, teman, atau sahabat yang dekat (sumber).
Dengan perspektif tafsir yang beragam tersebut, seharusnya kisruh mengenai surah al-Maidah 51 setelah Ahok menyampaikan permintaan maaf, tidak perlu lagi diperdebatkan. Himbaun ini mungkin saja akan segera diikuti oleh umat yang tidak memiliki vested interst. Tapi, tidak bagi yang lain, yang memiliki agenda politik tertentu.
Nyatanya kisruh ini sengaja terus dipelihara oleh kelompok-kelompok yang memiliki agenda politik terselebung itu. Mereka ingin terus mencoba memnafaatkan ‘keluguan’umat untuk meraih kepentingan politik jangka pendek. Tidak masalah bagi mereka, meski harus mengorbankan keberagaman yang indah di negeri zamrud khatulistiwa ini. Air yang sempat keruh itu sejatinya sudah hendak dijernihkan, tapi rupanya masih ada yang ingin terus memancing di air keruh itu.
***
Seakan tidak terpengaruh dengan segala kehebohan yang terjadi, dan hendak menjawab bahwa tidak semua umat Islam itu lugu, kemarin (Ahad, 16/10/2016), Pondok Pesantern Al-Imam Ashim Makassar, menyelenggarakan Wisuda Tahfzhul Qur’an ke-4. Wisuda dilakukan untuk ‘meresmikan’ santri-santri yang telah berhasil mengkhatamkan hafalannya, mulai dari tingkatan 5 juz, 10 juz, 20 juz, dan 30 juz. Alhamdulillah, salah dua dari para santri yang diwisuda itu, terdapat putra dan keponakan penulis.
Sebab Allah SWT, telah menegaskan dalam salah satu ayat Qur’an, pada surah al-Hijr, ayat 9. Dia yang empunya kitab suci itu, Allah SWT, berfirman, “innaa nahnu nazzalnaa aldzdzikra wa-innaa lahu lahaafizhuuna”. Sesungguhnya Kami yang mnurunkan Al Qur'an maka Kami pula yang akan menjaganya.
Bagaimana manifestasi Allah SWT menjaga kesucian dan kemurnian Al-Qur’an itu? Ya, salah satunya melalui lisan-lisan para tahfizhul Qur’an. Dengan kemampuan yang dianugerahi Allah SWT, para tahfizhul Qur’an mencoba mempertahankan dan menjaga kesucian dan kemurnian ayat-ayat suci-Nya melalui hafalan mereka.
Sehingga tidak ada sedikit pun kesempatan bagi pihak-pihak yang ingin dengan sengaja memanipulasi setiap ayat-ayatnya. Karena setiap ada peluang untuk memanipulasinya langsung dengan segera akan diketahui. Dan mereka, para hafidz (penghafal Qur’an) ini merupakan ‘pasukan’ garda terdepan dalam menjaga kesucian dan kemurnian Qur’an dari anasir-anasir jahat yang ingin merusaknya.
Tentu saja untuk tetap memberikan stimulasi agar setiap generasi Islam memiliki semangat untuk menghafal dan menjaga Qur’an, maka Allah SWT juga memberikan ‘insentif’ pula. Yakni berupa faedah atau manfaat, baik langsung (fadhail dunia) maupun tidak langsung (fadhail ukhrawi) bagi para hafidz Qur’an.