Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memetik Hikmah dari Kisruh Tafsir Al-Maidah 51

14 Oktober 2016   16:06 Diperbarui: 14 Oktober 2016   16:12 3210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sbr. gbr. : https://niaceria17.wordpress.com/2015/02/25/selalu-ada-hikmah-di-setiap-peristiwa/

Oleh : eN-Te

Rupanya geger Ahok mengutip surah al-Maidah ayat 51 tidak hanya nyaris membuat negeri ini berada di bibir tebing, tapi juga dapat memberikan hikmah. Setiap masalah yang muncul dan berkembang, pasti akan membawa dua dampak sekaligus. Dampak negatif, yang bersifat merusak (destruktif), dan sekaligus menawarkan pula dampak positif yang bersifat membangun (konstruktif). Dalam bahasa agama mungkin kita kenal dengan istilah hikmah (yang dapat dipetik di balik sebuah peristiwa).

Kekhawatiran sebagian elemen bangsa bahwa ‘keisengan’ Ahok menyitir surat al-Maidah 51 sebagai digunakan untuk membohongi, akan membawa dampak sangat serius, yakni akan mencederai dan  mengancam (keberlangsungan) keberagaman. Kebhineka-tunggal-ika-an sebagai nilai perekat persatuan dan kesatuan akan tergerus ke titik nadir bila kita mau bermain-main dengan sesutau yang sangat sensitif. Sentimen publik akan segera tersulut, bila ada yang menyinggung hakekat kepercayaan dan keyakinannya.

Begitu pula dengan kasus pidato Ahok di hadapan warga di Kepulauan Seribu. Lepas dari ada niat tertentu dari pengunggah video pidato yang telah dipotong itu,  suka atau tidak suka, fakta menunjukkan bahwa ada frase dari pidato Ahok itu telah menyentil kesadaran paling dasar dari umat Islam. Jika sebuah komunitas merasa ada yang,  dengan  sengaja atau tidak sengaja, telah menyinggung perasaan terdalam, sesuatu yang sangat sentifif yang menjadi keyakinan mereka, akan pasti menimbulkan reaksi. Apakah reaksi itu bersifat konstruktif atau pun bersifat destruktif.

Peristiwa geger surah al-Maidah 51, yang telah ‘diisengi’ Ahok telah memberikan pelajaran yang berharga bagi semua elemen bangsa, termasuk pula bagi Ahok pribadi. Terus pelajaran apa yang dapat kita petik dari peristiwa kisruh al-Maidah 51 ini? Mari kita coba urai bersama-sama!

Jangan Coba Mengusik Sesuatu yang ‘Tabu’

Sejak masa orde baru, rezim Soeharto telah dengan sangat sukses mengkondisikan rakyat Indonesia bersikap toleran  atas realitas perbedaan (kebhinekaan dan pluralisme). Keberagaman itu merupakan sebuah sumber daya yang harus tetap dijaga untuk menjamin keberlangsungan rezim. Karena itu, siapapun yang berusaha mengusik keberagaman itu dengan hal-hal yang berbau ‘tabu’, sudah pasti akan terlempar.

Pada era di mana rezim Soeharto sebagai penguasa tunggal yang harus didengarkan dan dijalankan segala titahnya, pembicaraan yang berbau sensitif harus dibuang jauh-jauh dari ruang publik. Pembicaraan yang menyangkut sensifitas hakekat kepercayaan dan keyakinan harus ditempatkan pada koridor dan posisinya, secara proporsional dan berimbang. Tidak boleh mengumbar di ruang publik sesuka hati. Karena apabila hal itu dilakukan, resiko menanti, dan siap-siap menanggung akibatnya.

Di zaman Soeharto pula, mulai diperkenalkan frase SARA, yang merupakan akronim dari Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan. SARA, adalah frase ‘tabu’ dan ‘mantra’ yang tidak sembarangan diperbincangkan. Apalagi menjadikannya sebagai dagangan politik. Karena hal itu sangat berpotensi merusak kerukunan.

Harus diakui bahwa sampai hari ini, publik Indonesia sangat menghargai dan menempatkan isu SARA pada posisi yang hampir tak terjangkau. SARA merupakan sebuah akronim yang menggambarkan sensifitas yang (bisa) menghancurkan. Karena itu, apabila ada yang dengan ‘iseng’ ingin mencoba menjangkau itu, apalagi berusaha mengambil kemudian mencampakkannya, maka sudah pasti akan ‘terbuang’.

Begitu pula dengan memanfaatkan isu agama untuk kepentingan politik sesaat. Salah-salah hal itu akan berbalik menyerang. Maka kondisi sekarang di ibukota yang membuat atmosfir politik menjelang Pilkada DKI 2017 sedikit panas, memberikan sedikit gambaran, bahwa setiap kontestan, baik calon maupun parpol pengusung, harus  cerdas memilih-milih ‘jualan’ kampanye.

Kasus Ahok yang mengisengi surah al-Maidah ayat 51 dapat menjelaskan bahwa frase SARA masih memilki ‘bisa’ mematikan. Bahwa ‘tabu’ SARA harus tetap dijaga, dirawat, untuk kemudian dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan mempertahankan keberagaman sebagai sebuah sumber kekuatan negeri besar ini.

Merekatkan Kembali Kerukunan dan Toleransi

Lepas dari kemungkinan Ahok ‘mengisengi’ surah al-Maidah 51 itu sebagai disengaja atau tidak, peristiwa itu semakin membuka mata hati kita, bahwa kemajemukan yang selama ini terlihat indah, sangat rentan ambruk. Di samping itu, dari peristiwa kisruh al-Maidah 51 itu, juga memberikan pelajaran tentang pentingnya sikap hati-hati memanfaatkan isu agama menjadi jualan politik.

Hal ini tidak hanya berlaku bagi mereka yang sedang dan akan bertarung dalam sebuah kontestasi politik, tapi juga bagi semua pihak. Termasuk pula mereka yang bergerak di bidang pendidikan dan keagamaan untuk memberikan pemahaman yang benar kepada umat. Tidak karena perbedaan ideologi dan kepentingan politik sesaat malah menjadikan isu agama untuk menagguk keuntungan dengan mengorbankan persatuan dan kesatuan bangsa.

Agama dalam pemahaman dan penghayatan bagi sebagian besar warga bangsa ini merupakan hal ‘keramat’. Tapi sayang, ‘kekeramatan’ itu kadang dilanggar oleh mereka yang seharusnya menjaganya. Lebih celaka lagi bila dimanfaatkan hanya sekedar untuk memanipulasi sentimen keberagamaan semata, tanpa memperhatikan implikasi sosial dan politik terhadap kerukunan dan toleransi.  

Berdemokrasi secara Dewasa

Kisruh surah al-Maidah 51 juga mengingatkan kita agar berdemokrasi secara dewasa dan bertanggung jawab. Tidak ada yang ajeg di dunia ini, termasuk dalam hal politik. Maka untuk menggapai sebuah tujuan politik, harus pula menggunakan cara-cara yang demokratis.

Keyakinan ajaran kitab suci adalah sesuatu yang harusnya tak ‘tersentuh’. Karena itu, pemahaman ajaran dalam sebuah ayat dalam kitab suci seharusnya tidak digunakan untuk meraih kepentingan politik yang bersifat profan.  

Bahwa dalam kitab suci suatu agama ada ayat yang melarang umat untuk tidak melakukan sesuatu, hendaknya hal itu tidak dimanfaatkan pada momentum tertentu, apalagi momentum politik. Sehingga muncul kesan ayat musiman. Terdengar nyaring ketika ada even-even politik. Dengan begitu, apapun alasan yang dikemukakan untuk menolak ada motif politik di balik isu itu, pasti tidak serta merta akan menghapus kesan politisisasi kitab suci.

Keberagaman Indonesia itu merupakan sebuah keniscayaan, yang tak mungkin akan digugurkan hanya karena kepentingan politik. Jadi, memaksakan nilai-nilai transedental ke ranah politik, hanya akan mereduksi nilai kesakralan kitab suci.

Kisruh surah al-Maidah 51 ini juga dapat memberikan pelajaran penting untuk tetap menjaga harmonisasi sosial. Ketentraman dan ketertiban umum harus dapat menjamin setiap warga negara mengekpresikan kehendak sosial dan politiknya tanpa ada intervensi dan intimidasi.

Pelajaran Lainnya

Lepas dari siapa yang menyentil sensitifitas kita, meski termasuk Gubernur DKI yang berasal dari etnis dan beragama minoritas, Ahok telah membangunkan kesadaran dan semangat kita untuk beragama. Sehingga selalu mau belajar dan mengkaji setiap fenomena sosial yang berkembang dengan ‘kaca mata terbuka’.

Mengedepankan pola pemahaman yang inklusif merangkul. Tidak menggunakan kaca mata tunggal, sehingga melihat dan menafsirkan sesuatu secara hitam putih an sich. Tanpa membuka ruang sedikit pun untuk melihat posisi berbeda yang ada di seberang.

Dengan demikian di sana ada ruang tafsir, bahwa terdapat banyak variasi paham atas sebuah obyek. Termasuk pula menyangkut obyek kitab suci.

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 28092016

 

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun