Bergidik buluh kudukku ketika mendengar pernyataan yang keluar dari mulut seorang ulama, anggota dan Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, K.H. Tengku Zulkarnain. Apalagi pernyataan itu diungkap dengan nada dan intonasi penuh semangat menggelora. Seakan sedang berorasi dan mencoba ‘memanipulasi’ perasaan dan sentimen keagamaan dan keimanan umat. Menurut hukum Islam, “Ahok harus dibunuh, atau dipotong kaki tangannya bersilangan, atau disalib, atau diusir dari negara ini”,ujar Wasekjen MUI itu.
Pernyataan itu diucapkan pada acara Indonesia Lawyer Club (ILC), yang disiarkan secara live tadi malam (Selasa, 11/10/2016) di TV One. Tema yang diangkat dalam diskusi ILC tadi malam itu, adalah “Setelah Ahok Meminta Maaf”.
Ahok harus (segera) meminta maaf untuk merespon reaksi keras yang berpotensi menimbulkan konflik horisontal terkait ‘ujaran kebencian’ yang disampaikan di hadapan warga di Kepulauan Seribu. Ahok harus mengambil inisiasi untuk meminta maaf untuk mencegah eskalasi kemarahan sebagian umat (Islam) yang dapat menimbulkan ganguan ketertiban umum. Sebab jika terjadi eskalasi kemarahan akan menimbulkan tindakan-tindakan anarkhis yang tidak produktif, bukan saja merugikan Ahok pribadi dan keluarga, tapi juga berkembang lebih luas ke tataran konflik horizontal.
Eskalasi dari ‘ujaran kebencian’ yang menyinggung surah al-Maidah ayat 51 semakin tidak akan terkendali bila ada kelompok-kelompok kepentingan yang mencoba memancing di air keruh. Apalagi dalam menghadapi dan menjelang proses Pilkada DKI yang akan segera berlangsung. Bahkan ada dugaan bahwa isu tafsir al-Maidah ayat 51 ala Ahok ini memang sengaja didesain untuk kepentingan jangka pendek, yakni memenangkan kontestasi Pilkada. Di mana dengan mencoba menghembuskan isu surah al-Maidah 51, bertujuan untuk menjegal agar Ahok tidak sampai harus melangkah jauh dalam kontestasi Pilkada DKI yang akan datang (baca di sini).
Karni Ilyas sebagai tuan rumah ILC mungkin merasa perlu mengangkat tema itu. Sebagaimana biasa apabila ada isu yang lagi menjadi trending topic, TV One melalui Karni Ilyas yang juga merupakan Pemimpin Redaksi, akan mengulasnya melalui acara ILC.
Mungkin Karni Ilyas ingin mengetahui sikap umat Islam dalam merespon permintaan maaf Ahok. Apakah setelah Ahok meminta maaf sikap (sebagian) umat Islam akan melunak? Atau tetap pada sikap semula ingin melanjutkan proses hukum sehubungan dengan ‘ujaran kebencian‘ Ahok mengenai surah al-Maidah ayat 51 itu.
Dari dinamika diskusi dalam ILC itu, Karni Ilyas dan mungkin pemirsa dapat dengan jelas ‘mengidentifikasi’ sikap dan respon narasumber dan peserta yang hadir. Terlihat dengan jelas dan gamblang kelompok mana saja yang menginginkan kehebohan ini tetap berlanjut. Karni Ilyas seakan melalui acara itu ‘memperlihatkan’ identitas pihak-pihak yang ingin menangguk keuntungan dari kehebohan surah al-Maidah 51 ala Ahok itu.
Menanggapi permintaan maaf Ahok, ternyata terjadi polarisasi. Ada kelompok yang sejak awal menginginkan Ahok harus ‘dipinalti’ tetap bersikukuh pada sikapnya karena menganggap Ahok telah menistakan kitab suci. Menurut kelompok ini, Ahok telah melakukan penistaan terhadap Kitab Suci Al-Qur’an, yang menjadi pedoman bagi seluruh umat Islam, mayoritas penduduk negeri ini.
Bagi kelompok ini, Ahok sudah jelas-jelas ‘bermain api’. Karena itu, akibat dari telah (dengan sengaja atau tidak sengaja) ‘bermain api’ itu, maka Ahok harus mempertanggungjawabkan ulahnya. Tidak karena semata-mata telah memohon maaf, maka ulah Ahok harus dilupakan begitu saja.
Bagi mereka, permintaan maaf adalah satu hal, sedangkan proses hukum atas dugaan penistaan agama adalah hal lain. Dalam pandangan kelompok pertama ini, yang menginginkan Ahok harus tetap diproses hukum, permintaan maaf memang mudah dilakukan, apalagi hanya mengucapkannya, tapi siapa yang dapat menjamin ketulusan niat itu. Karena niat tidak ada seorang pun yang tahu, kecuali orang itu dengan Tuhannya, maka dalam pandangan mereka, ulah ‘ujaran kebencian’ yang dilakukan oleh Ahok ini harus tetap diproses hukum.
Berbagai dalih dan alasan dikemukakan untuk menyamarkan ‘niat’ mereka yang sesungguhnya untuk menghentikan Ahok. Ada yang mencoba mengkamuflase ‘niat ingin menjegal’ itu dengan kalimat-kalimat atau frase-frase berbau menggelorakan semangat. Misal proses hukum terhadap Ahok ini harus tetap berlanjut dan harus terus dikawal. Desakan dan permintaan ini, kata mereka bukan dan tidak terkait dengan masalah Pilkada. Tapi hal ini menyangkut potensi Ahok mencederai dan mengancam keberagaman (pluralisme).
Mereka menolak bahwa sikap keras terhadap Ahok ini berkaitan dengan atmosfir politik yang lagi memanas menjelang Pilkada. Bahwa motif sesungguhnya dari keinginan untuk tetap melanjutkan proses hukum terhadap Ahok atas ‘ujaran kebencian’ mengenai surah al-Maidah 51, tidak terkait dengan Pilkada. Tapi mereka lupa, bahwa mereka juga meragukan ‘niat’ Ahok ketika meminta maaf. Karena itu, wajar pula kita (publik) pun harus meragukan pengakuan dan sikap mereka ini tidak terkait dengan momentum Pilkada.
Pihak yang tetap berkeras untuk terus melanjutkan proses hukum, dan menolak dikaitkan dengan momentum Pilkada pada acara ILC tadi malam, sebut saja antara lain Pemuda Muhammadiyah, MUI, Penasehat? PBNU (K.H. Saifuddin Amsir), wakil parpol (Fadli Zon, Gerindra, dan Nasir Jamil, PKS), dan juga Musisi (Ahmad Dhani). Di samping itu ada beberapa kelompok lainnya, seperti aktor yang memposting potongan video yang menggegerkan itu, Buni Yani dan Pengacaranya. Juga ikut pula pesrta ILC yang sering bertepuk tangan bila mendengar pernyataan yang menghujat dari narasumber kepada Ahok.
Dalam setiap menyampaikan pendapat terkait geger surah al-Maidah 51 ala Ahok ini, mereka selalu berkelit dari tuduhan memancing di air keruh. Yakni, mencoba memanfaatkan geger ‘penistaan agama’ tafsir surah al-Maidah 51 ala Ahok ini untuk kepentingan politik jangka pendek (Pilkada). Bagi mereka bukan masalah urusan Pilkada, tapi lebih kepada keinginan untuk menjamin ketertiban sosial dan keberlanjutan keberagaman (kebhinekaan). Tambahan lagi sebagai proses pembelajaran dan pedewasaan demokrasi.
Mereka semua seakan-akan ingin menampilkan diri sebagai pihak yang paling depan berdiri untuk membela dienul Islam. Karena itu, bagi mereka, siapa pun yang mencoba ‘bermain api’ dengan menghina, menistakan, dan menodai Islam, maka harus siap bertanggung jawab. Dan mereka siap mengawal itu, meski orang atau pihak yang dituduh melakukan penistaan itu sudah dengan rendah hati memohon maaf. Maka, dengan nada kemarahan, keluar pernyataan yang menyentak dari Wasekjen MUI, seperti dikutip di atas.
Belum lagi mendengar pernyataan K. H. Saifuddin Amsir (mohon maaf kalau salah mengutip nama) dari PBNU, yang dengan sinis menyindir pihak yang mendukung dan membela Ahok. Bagi kiyai ini, tidak ada yang tahu tentang niat Ahok meminta maaf itu, apakah ikhlas nan tulus atau tidak. Karena hanya Ahok dan Tuhan saja (Allah SWT) yang tahu.
Maka dengan sadar mengabaikan statusnya sebagai kiyai yang harus dapat menampilkan rasa sejuk dan menentramkan, kiyai ini malah memperlihatkan sikap yang menurut saya sangat jauh dari moral Islam. Yakni, memaafkan itu jauh lebih baik dan mulia, meski meminta maaf juga sebuah tindakan yang terpuji.
Pak Kiyai (dan mereka yang juga menyangsikan niat baik Ahok meminta maaf) ini mungkin lupa dengan sebuah peristiwa dramatis ketika Nabi Muhammad SAW sedang beristirahat di bawah sebuah pohon (di baca di sini). Diriwayatkan bahwa ketika Nabi SAW sedang beristirahat, tiba-tiba datang seorang kaum Badui, sambil menghunus pedang di leher Nabi, kemudian berujar menantang, “Siapa yang akan menolongmu (saat ini) hai Muhammad? Mendapat pertanyaan yang menantang, Nabi SAW dengan tenang kemudian menjawab, “Allah”. Mendengar kalimat Allah disebut, si kafir itu gemetaran sehingga terjatuh pedang dari genggamannya. Lantas dengan segera Nabi SAW pun memungut pedang itu, kemudian balik menghunuskan ke arah si kafir itu, sambil berkata, “Siapa yang akan membelamu?” Dengan gemetar, si Badui itu pun menjawab, “Tak ada seorang pun”. Rasulullah SAW pun kemudian memaafkan si Badui itu dan mempersilahkannya untuk pergi.
Moral dari kisah itu menunjukkan keagungan akhlak Rasulullah. Meski dalam posisi yang nyaris membuatnya kehialngan nyawa, Rasulullah mampu memnunjukkan kualitas akhlaknya sebagai seorang utusan Tuhan.
Selanjutnya dikisahkan bahwa si Badui kemudian memeluk Islam, karena terkesan dengan sikap dan akhlak agung Rasulullah yang telah dengan jiwa besar memaafkannya. Kelembutan dan sifat pemaaf Rasulullah saw adalah tauladan bagi ummat. Pertanyaannya dalam konteks kekinian saat ini apakah kita sudah meneladani keagungan sikap Rasulullah yang menjadi rujukan kita umat Islam?
Melihat perkembangan perdebatan diskusi antara tokoh-tokoh Islam pada ILC tadi malam, sehingga membuat seorang pakar pidana Tengku Nasrullah, mengeluarkan sindiran. Bahwa acara ini memperlihatkan dengan telanjang saling menjatuhkan di antara para ulama Islam. Meski kemudian dia mencabut pernyataannya setelah diprotes sebagian hadirin yang lain, saya merasa sentilan Tengku Nasrullah itu ada benarnya dan perlu menjadi starting point untuk memperbaiki diri. Harus melihat setiap persoalan secara jernih tanpa tendensi dan motif politik tertentu. Kemudian menyelesaikannya secara elegan dan bermartabat. Karena hal itu akan menunjukkan keagungan nilai moral yang sedang diperjuangkan.
Namun, jika yang diekspresikan hari ini cenderung kemarahan, tindakan anarkhis, dan menolak memaafkan, adalah hanya memperlihatkan distorsi dan anomali dari pemahaman umum keber-Islama-an kita. Maka, menjadi wajar bila kita harus mengurut dada sambil berujar, “Duh, inikah wajah Islam-ku?”
Wallahu a’lam bish-shawabi
Makassar, 12102016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H