Sidang kasus kematian Wayan Mirna Salihin (Mirna) telah memasuki episode ke-20 kemarin (Rabu, 14/9/2016). Ada dua orang saksi dihadirkan untuk didengarkan kesaksiannya berdasarkan keahlian mereka pada episode ke-20 itu. Satu orang merupakan ahli toksikologi kimia (lingkungan), yakni Dr. Budiawan dari Universitas Indonesia (UI). Sedangkan ahli yang lainnya, adalah Dr. Gatot Susilo Lawrence dari Univerisitas Hasanuddin (Unhas) Makassar. Dr. Gatot merupakan ahli patologi forensik.
Kedua ahli telah memberikan kesaksian menurut keahliannya masing-masing. Meski demikian, sampai kedua ahli tersebut didengarkan kesaksiannya dan memberikan pendapatnya menurut keahlian mereka, tapi hal itu belum cukup signifikan memberi kontribusi untuk menguak kasus ini menjadi terang-benderang. Malah ada kesan semakin memunculkan spekulasi liar. Tabir gelap masih saja menyelimuti, sama seperti warna asli kopi, hitam pekat.
Karena itu, sampai dengan episode ke-20 dari sidang Ice “Sianida” Coffee selesai, belum cukup membantu menguak tabir gelap yang menyelimuti kasus tersebut. Padahal, kasus ini sudah berlangsung sejak sembilan bulan lalu.
Sembilan bulan sudah sinetron Ice “Sianida” Coffee yang diplot dalam alur cerita penggalan episode demi episode. Episode perdana dibuka pada 15 Juni 2016. Kemudian berlanjut dengan episode-episode berikutnya hingga episode ke-20. Sejak episode perdana hingga episode ke-20 kemarin, sinetron Ice “Sianida” Coffee ini selalu saja menghadirkan drama yang menggelikan.
Sampai dengan episode ke-20 kemarin pun tak luput dari hiruk-pikuk. Hiruk-pikuk yang menggambarkan bahwa menguak misteri keberadaan si racun sianida tidak seperti membalik telapak tangan. Benar-benar si racun sianida itu misterius. Ia sangat lihai menyembunyikan diri sehingga para ahli kebingungan menebak dan menentukan keberadaannya.
Bagaimana tidak bingung? Masing-masing ahli, baik yang didatangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) maupun Penasehat Hukum (PH), seakan hadir mewakili kepentingan siapa yang megundang mereka. Ahli yang hadir sebagai saksi ahli yang diundang JPU cenderung “membela dan membenarkan” dakwaan JPU. Sebaliknya, ahli yag didatangkan PH juga bersikap sama, cenderung “membela dan membenarkan” sikap PH untuk mementahkan argumen ahli JPU.
Para ahli dalam sinetron Ice “Sianida” Coffee ini seakan kehilangan independensinya. Padahal, sebagai ahli ia seharusnya dapat melepaskan dirinya dari kemungkinan “dikooptasi” oleh siapa pun. Ia berbicara berdasarkan kompetensi keahliannya dan harus bersikap obyektif-independen dalam menyampaikan pendapatnya.
Sayangnya sampai dengan sidang ke-20 kemarin, kondisi ideal itu masih jauh dari harapan dalam menemukan kebenaran guna menegakkan keadilan untuk semua. Asa itu sempat muncul ketika ahli kedua dihadirkan dalam sidang pada episode ke-20 tadi malam.
Kehadiran ahli patologi forensik dari Makassar sempat menyembulkan harapan. Apalagi sejak awal Dr. Gatot sesumbar mengatakan bahwa kehadirannya di dalam sidang untuk membela dan menegakkan (sebuah) kebenaran. Tidak untuk kepentingan memberi kesaksian membela (baca meringankan) kepentingan terdakwa. Tidak juga hadir untuk menambah semakin semarak warna-warni pendapat ahli yang tidak saja berbeda, tapi juga saling berseberangan.
Bukan saja berkaitan dengan keahliannya, tapi hal itu terlihat dari sikapnya yang energik dan sangat atraktif. Bahkan ketika menyampaikan paparannya dan mencoba menguraikan benang kusut kasus es kopi maut ini, sikapnya begitu impresif. Tipikal karakter Bugis-Makassar sangat terlihat dari “pesona” Dr. Gatot.
Sejak awal Dr. Gatot berusaha memosisikan dirinya sebagai ahli yang benar-benar netral. Melihat dan menganalisis kasus ini secara obyektif dan kemudian memberikan penilaian berdasarkan kompetensi keahliannya. Sehingga dalam setiap pernyataannya, ia selalu menyebut apa yang disampaikan ini sebagai “dunia yang mengatakan”.
Tapi lagi-lagi pernyataan tegas itu tidak serta-merta membuat tabir gelap itu terhapus dan berubah seketika menjadi terang-benderang. Masih saja di sana terlihat awan gelap menyelimuti “warna” es kopi maut itu, yakni tetap hitam pekat.
Mengapa tetap hitam pekat? Karena ahli sendiri tidak bisa memastikan penyebab kematian korban. Meski mereka sendiri dengan pasti mengatakan, merujuk fakta yang ada, bahwa kandungan sianida 0,2 gr/l yang ditemukan dalam lambung korban setelah jenazah korban diintervensi dengan formalin. Sementara pemeriksaan korban setelah satu jam 10 menit tidak ditemukan racun sianida.
Ahli berpendapat bahwa karena lambung korban hasilnya negatif dari unsur sianida, Mirna kolaps dan kemudian meninggal bukan karena racun sianida. Racun mana yang ditabur dalam es kopi yang diminum korban (Mirna)? Artinya penyebab kematian Mirna bukan karena racun sianida melainkan zat lain.
Masalahnya ketika dikonfirmasi apa zat lain yang menyebabkan korban meninggal, kembali kita menemukan jawaban klise dari para ahli dan hanya berlindung di balik jubah apologie. Bahwa mengenai zat lain penyebab kematian itu bukan keahlian mereka untuk menentukan. Perlu ada pemeriksaan oleh ahli lain lebih lanjut. Tambahan pula bahwa jenazah korban tidak diotopsi pula. Jadi hal itu semakin menambah kesulitan tersendiri untuk mendiagnosis penyebab kematian korban.
Ahli sebelumnya, yakni Dr. Budiawan juga memberikan kesaksian yang tidak cukup membuat cahaya remang-remang lorong panjang sinetron Ice “Sinaida” Coffee ini menjadi lebih bersinar. Bahkan memberikan pendapat yang sedikit kontroversial. Di mana Dr. Budiawan mengatakan bahwa kandungan sianida yang ada dalam kopi 7400-7900 mg/l itu terlalu banyak. Jika angka sebesar ini betul ditemukan di dalam es kopi maut itu, seharusnya semua orang yang berada di sekitar lokasi kejadian (TKP), minimal akan pingsan, jika tidak kolaps bersama korban karena baunya sangat menyengat dan penyebarannya sangat cepat melalui pernapasan (hidung).
Tapi pendapat ini dibantah oleh I Made Agus Gelgel. Menurut I Made Agus yang pernah dihadirkan sebagai saksi ahli, bahwa apa yang disampaikan oleh Budiawan itu bila sianidanya berbentuk gas (HCn). Sementara yang diteliti dan ditemukan dalam kopi merupakan Natrium Sianida (NACn), bukan HCn. Malah I Made Agus menyatakan keheranannya, mengapa dalam kasus ini, ahli yang dihadirkan malah toksikologi kimia lingkungan (INews TV)? Belum lagi, Dr. Buadiawan belum pernah menangani kasus kematian akibat racun.
Rencananya sidang Ice “Sianida” Coffee Vietnam episode ke-21 akan berlanjut hari ini (Kamis, 15/9/2016). Kita berharap kebenaran akan terkuak sehingga keluarga korban mendapatkan keadilan? Lepas dari kemungkinan pelakunya Jessica atau pihak lain. Mari kita tunggu bersama!
Wallahu a’lam bish-shawabi
Makassar, 15092016
Oleh : eN-Te
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H