Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cerita-cerita Tak Terduga dari Sidang Ice “Sianida” Coffee Vietnam

7 September 2016   10:17 Diperbarui: 7 September 2016   11:15 2595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena itu, bagi JPU, jika ahli masuk ke Indonesia untuk menjalankan profesi keahliannya secara ilegal dan bertentangan dengan perundanga-undangan, maka otomatis hal itu akan berpengaruh pada keabsahan kesaksiannya. Dengan kata lain, jika “ahli ilegal” maka kesaksiannya pun ilegal. Jika seperti itu ketentuan hukumnya, maka seharusnya keasksian ahli tidak dapat dijadikan sebagai dasar pembuktian di muka persidangan. Berikutnya Hakim juga seharusnya tidak menjadikan kesaksian itu sebagai dasar pertimbangan dalam memutus perkara.

***

Hal lain yang menjadi perhatian JPU dari BBO ini adalah mengenai status keahliannya. Maka JPU pun mempertanyakan kepada ahli tentang legitimasi formal dari keahliannya.

Ketika mendapat berondongan pertanyaan dari JPU yang mempersoalkan legitimasi formal tentang keahliannya, BBO hanya menjawab bahwa keahliannya itu diperoleh tidak melalui sebuah pendidikan atau pelatihan formal. Karena itu BBO tidak  memiliki selembar sertifikat sebagai bentuk pengakuan terhadap keahliannya.  Apa yang menjadi keahliannya sekarang diperoleh melalui membaca literatur-literatur yang berkaitan dengan itu.

Dengan begitu, kita sebagai awam jadi bertanya-tanya, ludruk macam apalagi dari sinetron Ice “Sianida” Coffee ini? Wajar bila saya dan mungkin masih banyak awam lainnya, merasa apa yang terjadi di persidangan es kopi maut itu tidak lebih dari dagelan yang tidak lucu.

***

Kelucuan pertama dihadirkan oleh saksi ahli dari JPU, dengan “mantra ajaibnya” frasa lazim dan tidak lazim. Saya berpikir kelucuan itu akan berakhir setelah saksi ahli yang dihadirkan PH terdakwa. Alih-alih membuat persidangan menjadi sebuah momentum untuk menghadirkan keadilan bagi semua (justice for all), ini malah membuat dagelan baru.

Dagelan pun berlanjut. Seusai memberikan kesaksian di muka persidangan, sang profesor malah digelandang dan selanjutnya dideportasi ke tempat asalnya dengan tuduhan menyalahgunakan izin tinggal.

***

Maka epsode akhir dari sinetron Ice “Sianida” Coffee akan berakhir manis atau pahit bagi terdakwa, masih harus kita tunggu. Atau malah publik masih tetap disuguhi plot cerita yang masih mirip, yakni tingkah pola saksi yang masih menunjukkan hiburan yang dipaksakan.

Lepas dari validitas dan keabsahan kesaksian para saksi dan saksi ahli, Hakim harus lebih jeli melihat semua rangkaian dan fakta-fakta yang terungkap persidangan. Kemudian berdasarkan semua rangkaian dan fakta yang ada, dengan tidak mengabaikan “pernak-pernik dan aksesories” cerita ala sinetron Ice “Sianida” Coffee ini, Hakim mengambil keputusan secara adil. Kita berharap keputusan yang diambil Hakim telah mempertimbangkan semua aspek dan rasa keadilan dengan tetap menjunjung tinggi prinsip keadilan untuk semua (justice for all). Baik bagi (keluarga) korban, juga baik untuk terdakwa. Tidak ada pihak yang perlu dan merasa dirugikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun