Menggunakan istilah dan ungkapan yang cenderung provokatif. Tidak memberikan perspektif yang jujur dan benar kepada publik sebagai sebuah proses pembelajaran. Ungkapan dan bahasa yang digunakan kurang memperhatikan implikasi sosial, sehingga terkesan kurang memberikan pendidikan (edukasi) kepada masyarakat. Maka wajar bila nuansa yang muncul di masyarakat adalah keresahan.
Ungkapan yang Tidak Ramah
Keresahan masyarakat atau rakyat terhadap Tax Amnesty menjadi wajar karena propaganda kaum elit yang tidak mendidik. Pilihan kata atau ungkapan sebagai argumentasi menolak bukan menghadirkan pemahaman yang baik, tapi malah sebaliknya membuat resah dan gelisah. Lihatlah frasa atau istilah yang digunakan untuk menggambarkan penolakan mereka terhadap kebijakan Tax Amnesty itu.
Ada yang menyebut Tax Amnestysebagai “anti pemerataan dan menimbulkan dampak rasialis” (Prof. Anwar Nasution). Ada lagi yang menyebut kebijakan ini sebagai “berbasis RBT, rencana bangun tidur” (Said Didu). Ada yang menyebutkan dengan istilah yang lebih menyeramkan, yakni sebagai “terorterhadap rakyat” (Ferdinand Hutahean). Ada pula karena terprovokasi oleh elit, sehingga harus membuat tagar yang kemudian menjadi viral, yakni #stopbayarpajak. Perhatikan kata-kata atau ungkapan-ungkapan yang dicetak tebal itu!
Kata dan atau ungkapan itu, tidak memberikan sedikit pun perspektif pemahaman yang benar dan utuh yang membawa kesejukan dan kedamaian. Tidak ada niat yang tulus untuk memberikan edukasi kepada masyarakat. Malah sebaliknya, dengan kata dan ungkapan tersebut tersebunyi maksud ingin memprovokasi masyarakat agar tidak serta merta menerima dan atau mau melaksanakan kebijakan (pemerintah) itu. Muaranya berharap agar pemerintahan ini gagal, sehingga mereka punya alasan dan bahan kampanye untuk kepentingan politik.
Ada pula, dan membuat saya heran, mantan pejabat yang menangani masalah pajak dan juga masalah keuangan, tidak memberikan persepktif edukatif kepada masyarakat tapi lebih cenderung melakukan agitasi dan provokasi. Untuk membungkus maksud dan tujuannya, sang mantan ini, dalam berbagai kesempatan bila memberikan opini tentang berbagai kebijakan pemerintah, termasuk Tax Amnestydengan istilah-istilah yang terkesan populis. Agar terkesan tidak provokatif, maka yang bersangkutan mengkamuflase argumentasinya dengan berlindung di balik kepentingan masyarakat dengan istilah, common questions.
Katanya apa yang disampaikan melalui tweet-nya merupakan pertanyaan-pertanyaan umum masyarakat. Padahal dia sendiri dapat memberikan jawaban dan tanggapan itu secara langsung terhadap pertanyaan-pertanyaan umum itu, tanpa harus bersikap berlebihan dengan melanjutkan pertanyaan tersebut kepada pihak terkait dan berkompeten.
Benar bahwa pertanyaan itu harus ditanggapi dan dijawab langsung oleh pihak terkait dan berkompeten, yakni misal Dirjen Pajak. Tapi jika dalam kondisi dan pertanyaan demikian menurut pengetahuan dan pengalaman yang bersangkutan dapat langsung ditanggapi dengan memberikan perspektif yang benar, kenapa mesti harus memprovokasi?
Ada lagi yang sok gaya, mencoba mengaitkan segala hal untuk menggambarkan maksudnya ingin membuat masyarakat resah. Dalam pandangannya bahwa kebijakan Tax Amnesty sebagai sebuah tindakan meneror rakyat. Sehingga Tax Amnesty dikesankan sebagai sesuatu yang sadis, karena telah meneror rakyat. Duh, seram amat!
Lain lagi dengan pihak yang ingin mengajukan Yudicial Review (YR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU Tax Amnesty ini. Bahwa melakukan YR adalah hak setiap warga negara yang merasa hak-hak konstitusionalnya dilanggar. Tapi hendaknya hal itu tidak harus membuat seolah-olah membenturkan kepentingan rakyat di satu sisi dengan kepentingan bangsa dan negara yang diwakili Pemerintah di pihak lain. Padahal seharusnya melihat lebih jauh relevansi dan korelasi positif antara semangat Tax Amanesty dengan kesadaran warga negara untuk berlaku taat terhadap aturan hukum.
Semangat Patriotisme