Oleh : eN-Te
Sampai hari ini, partai politik (parpol) masih sibuk dan kasak kusuk mencari figure yang pas dan cocok untuk diusung menjadi bakal calon gubernur (Cagub) dan calon wakil gubernur (Cawagub) pada ajang kontestasi Pilkada DKI 2017. Karena hampir semua figure, baik perorangan maupun pasangan yang telah muncul saat ini rupanya belum satu pun memenuhi syarat sesuai kriteria parpol, sehingga membuat parpol-parpol seperti kebingunan menentukan satu pun calon maupun pasangan calon yang akan diusung untuk bertarung di kontestasi Pilkada nanti.
Apalagi profil calon itu mempunyai harapan besar mengalahkan si Ahok “kapir”. Saking seriusnya mencari calon mumpuni itu, mereka sampai lupa pada seorang sosok yang pernah dilantik menjadi gubernur tandingan ala Front Pembela Islam (FPI) dan Gerakan Masyarakat Jakarta (GMJ), yakni Fakhrurrozi Ishaq (Bang Rozi).
***
Hiruk pikuk dan kasak kusuk mencari pasangan calon tersebut nyaris sangat sengit. Parpol maupun kelompok masyarakat tidak ketinggalan turut serta terlibat dalam arena pertarungan. Segala cara dilakukan dalam rangka bermanuver mencari calon tersebut.
Manuver-manuver mencari bakal Cagub dan Cawagub calon tersebut sangat bising. Sehingga suasana dan atmosfir politik di ibukota nyaris sangat gaduh. Kegaduhan itu berimbas pula sampai ke daerah. Lihat saja bagiamnana sensinya walikota Surabaya, Tri Rismaharini menanggapi Ahok ketika mencoba “membandingkan” Surabaya dengan Jakarta Selatan.
Begitu pula kebisingan karena tarik ulur kepentingan sekelompok orang di Jakarta yang ingin memaksa Tri Rismaharini untuk hijrah ke Jakarta dengan mayoritas warga Surabaya yang menghendaki walikotanya jangan meninggalkan amanah yang telah diberikan. Mereka tidak ingin seorang Tri Rismaharini mengingkari janjinya untuk tetap memimpin Surabaya (memimpin mereka), dibandingkan harus tergiur dengan iming-iming fantasi ala sekelompok orang yag mempunyai agenda dan kepentingan tersembunyi. Kepentingan mana, hanya bersifat jangka pendek dan sesaat, ingin mengalahkan Ahok.
Kondisi kegaduhan itu disebabkan karena manuver mencari calon itu melibatkan semua kelompok kepentingan dengan dibumbui berbagai intrik. Parpol dan kelompok masyarakat seakan ingin berlomba berlari mencari calon sesuai dengan kepentingannya. Saking ingin mendapatkan calon ideal untuk menduduki singsana DKI 1, parpol-parpol pun ramai-ramai bersibuk ria membuka lapak untuk melakukan “audisi pencarian Cagub”. Tapi sayang, sampai sejauh ini, hasilnya masih nihil.
***
Tidak kurang nama-nama beken dan terkenal sudah sejak awal tampil menkampanyekan diri untuk siap mnejadi gubernur menggantikan Ahok. Mulai dari artis, pengusaha, mantan jenderal, kader parpol, mantan menteri, mantan pejabat, sampai kepada mereka yang sedang menjabat (petahana). Di situ ada musisi Ahmad Dhani, ada Adhyaksa Dault, ada Yusril Ihza Mahendra, ada Sandiaga Uno, ada si wanita emas, Hasnaeni Muin, ada Syafrie Syamsuddin, ada pentolan parpol, seperti Abraham Lulung Lunggana, ada Muhammad Idrus, kader PKS, dan masih banyak lagi lainnya (baca juga artikel terkait, “Rame-rame bikin audisi”).
Semua nama itu bahkan sejak awal telah mendeklarasikan diri ingin maju bertarung menantang sang petahana Gubernur DKI yang sedang berkuasa. Semua bakal calon itu hampir mempunyai visi dan misi yang sama, berniat menghentikkan langkah Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok yang hendak memperpanjang masa jabatannya pada periode ke-2. Karena ketidakinginan melihat Ahok berkuasa kembali, sehingga sampai-sampai ada seorang anggota DPR mengajukan calonnya, yang menurutnya pasti akan memenangkan pertarungan melawan Ahok, yakni kambing dibedakin.
Ibarat seleksi alam, semua bakal calon yang telah berwara-wiri “menjajakan” diri itu satu persatu perlahan tapi pasti hilang dari peredaran. Mungkin sebagian calon tersebut tidak atau kurang dapat beradaptasi dan bertahan dalam perang mempertahankan keberlangsungan misinya meraih singsana DKI-1. Mungkin pula para calon tersebut tidak atau belum memenuhi syarat sesuai kriteria parpol, sehingga harus “punah” melalui proses alam itu. Tanpa harus mengeluarkan energy, parpol-parpol menyerahkan proses seleksi alam itu terus berlangsung, kemudian membiarkan dan menunggu calon mana yang memiliki “kekuatan” lebih untuk bertahan.
Kondisi ini menjelaskan satu hal, yakni ternyata audisi ala parpol untuk menjaring bakal calon itu tidak lebih dari lips service semata. Hanya menyiapkan panggung untuk memberi tempat kepada para bakal calon itu untuk mengekspresikan kegembiaraan, sekaligus kebencian mereka kepada Ahok, tanpa sebuah kepastian.
Buktinya, sampai sejauh ini, dari semua parpol yang membuka lapak audisi tidak pernah mengumumkan hasil penjaringannya secara terbuka ke public. Hanya satu parpol yang sudah secara terbuka mengumumkan hasil penjaringannya, yakni Partai Gerindra. Dari semua peserta audisi di lapaknya, Gerindra memilih kadernya sendiri sebagai pemenang audisi untuk menjadi bakal Cagub yang akan diusung nanti pada Pilkada DKI 2017, yakni Sandiaga Uno (Sandi). Pilihan ini kemudian diikuti oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang turut mengusung dan mendukung Sandi.
***
Sepanjang diskursus tentang siapa yang pantas dan paling ideal memimpin ibukota, sejauh ini belum ada kepastian. Ketidakpastian ini membuat suasana dan atmosfir politik ibukota menjadi semakin bising (gaduh). Karena masing-masing parpol dan kelompok masyarakat tidak dapat memilih salah satu dari mereka yang telah “mengiklankan” diri ingin maju bertarung pada Pilkada DKI 2017. Kebisingan semakin bertambah karena focus perhatioan mereka hanya tertuju pada figure petahana, Ahok. Sehingga energy dan emosi mereka seakan dieksploitasi secara massif hanya untuk “menghabiskan” Ahok. Karena sudah sedemikian banyak energy terkuras, secara massif pula, maka nyaris mereka melupakan seseorang yang pernah dinobatkan menjadi gubernur (DKI) tandingan.
Di tengah ramai-ramai nan bising mencari idola baru DKI-1 yang membuat atmosfir politik nasional sangat gaduh, saya teringat pada figure gubernur tandingan yang pernah dideklarasikan dan dilantik ketika rame-rame menolak Ahok yang akan promosi naik tingkat menggantikan Jokowi. Ya, gubernur tandingan ala Front Pembela Islam (FPI) (lihat di sini)
Gubernur tandingan yang dideklarasikan dan dilantik oleh Imam Besar FPI, Rizieq Shihab, dua tahun lalu, tepatnya 10 November 2014, itu adalah Bang Rozi. Itu berarti bila dihitung sejak Ahok naik tingkat menjadi Gubernur DKI, maka Bang Rozi juga seharusnya sampai hari ini masih menjabat sebagai gubernur petahana (tandingan). Sayangnya selama menjabat gubernur tandingan, kiprah “sang petahana” ini nyaris tidak terdengar. Sehingga, mungkin karena alasan itu, membuat para elit parpol tidak sedikit pun menyebut namanya dalam pencarian maupun audisi parpol mencari bakal calon gubernur. Jangan kan menyebut namanya untuk meramaikan atmosfir politik ibukota, melirik saja nama Bang Rozi sekedar untuk memeriahkan pesta dan menambah semarak dagelan mencari idola baru DKI-1 pun, nyaris tidak terdengar. Mengapa demikian?
Saking tidak memiliki aura gubernur tandingan sehingga namanya nyaris terlupakan dalam peta persaingan menuju kursi singgsana DKI-1. Padahal Bang Rozi memiliki modal yang sangat cukup sebagai “gubernur petahana”. Entah mengapa, sehingga seorang Bang Rozi harus kehilangan magnitudenya untuk mempengaruhi aspirasi warga maupun parpol untuk sekedar menyebut namanya dalam kemeriahan “pesta” yang akan datang. Mungkinkah sejak ia dilantik menjadi gubernur tandingan, Bang Rozi menyadari bahwa ia hanya dipajang sebagai boneka dan bidak yang akan “dipermainkan” oleh orang-orang dan kelompok-kelompok yang sejak awal antipati, tidak ingin melihat Ahok menjadi Gubernur DKI, sehingga Bang Rozi sendiri tidak ingin melakukan gebrakan?
Entahlah, hanya Bang Rozi saja yang tahu, apa motif dibalik penobatannya sebagai gubernur tandingan. Meski begitu sejak “penampakkannya” sebagai gubernur tandingan, Bang Rozi, turut pula memberi kontribusi kebisingan akibat polemic dan kontroversi. Ada yang menganggapnya sebagai lelucon dan dagelan politik semata menambah kesemarakan pesta untuk menghibur parpol yang lagi galau. Ada pula yang menganggap sebagai sesuatu yang serius sehingga perlu diwaspadai. Karena hal itu dapat menjadi embrio munculnya gerakan makar terhadap pemerintahan yang sah. “Itu sama saja dengan membuat boneka ondel-ondel untuk meramaikan parade. Namun jika GT (gubernur tandingan, penulis)adalah sebuah manifestasi sebuah gerakan politik yang bertujuan untuk menciptakan instabilitas penyelenggaraan pemerintahan di DKI Jakarta dan berdampak pada ketertiban umum, maka ia harus ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku bagi tindakan makar” (lihat di sini).
Rupanya anggapan bahwa gubernur tandingan itu hanya sebagai lelocun semata ada benarnya. Hal itu diakui sendiri oleh sang gubernur tandingan, Bang Rozi. Berdasarkan pengakuan Bang Rozi bahwa sebenarnya dia sendiri menolak untuk ditunjuk dan diangkat menjadi gubernur tandingan, tapi terus dikejar dan dipaksa menjadi pemimpin Jakarta versi mereka (lihat di sini).
Pengakuan ini memberi konfirmasi bahwa memang sejak awal Bang Rozi hanya diposisikan sebagai pion semata. Pion itu dalam permainan catur mudah digerakkan dan dipindahkan ke mana-mana sesuai dengan selera pemainnya. Ketika pion itu sudah tidak memberi harapan untuk memenangkan pertarungan, maka permainan pun dianggap usai. Keberadaan pion kembali dikumpulkan menjadi satu, dimasukkan kembali ke papan catur, kemudian papan catur pun ditutup.
Mengingat sejak awal Bang Rozi ini memang tidak memiliki “modal” apapun. Jika mengacu pada kriteria, 2K (kompetensi dan kapabilitas), dan 1A (akseptabilitas), maka Bang Rozi bukan siapa-siapa, dan bukan pula sebagai apa-apa. Dia tetaplah seorang “bidak catur” yang menjadi boneka mainan orang-orang dan kelompok-kelompok yang berseberangan dengan figure dan kebijakan Ahok. Meski pada diri Bang Rozi melekat pula sebuah predikat yang sungguh sangat menjanjikan untuk memenangi pertarungan sekelas Pilkada DKI, yakni “gubernur petahana”.
***
Nasib Bang Rozi ibarat pion atau bidak catur itu. Maka wajar bila gegap gempita Pilkada DKI 2017 tidak membuat para bakal calon yang sudah bersileweran selama ini dan parpol mau melirik dan menyebut namanya hanya untuk sekedar meramaikan suasana. Sungguh sayang, Bang Rozi hanya dianggap sebagai bidak catur semata, yag mudah disetir, tak mempuyai sikap dan kemandirian sebagai makhluk bebas. Maka kemeriahan pesta Pilkada membuat nama Bang Rozi, si “giubernur petahana” semakin tenggelam dan tergulung dalam pusaran ambisi besar para elit dan petualang politik di negeri ini.
Beginilah jadinya kalau orang tidak mempunyai prinsip dan sikap! Tanya, adakah di antara kita yang ingin dan hendak mengikuti jejak Bang Rozi? Memperoleh ketenaran secara instan, tapi kemudian tenggelam dalam pusaran nafsu kuasa karena kedengkian semata. Dan fenomena seperti Bang Rozi ini banyak, hanya karena rasa syirik, dengki, dan benci, tidak dapat melihat realitas di sekitarnya yang sudah berubah, kemudian tidak berusaha bangkit bergerak menatap ke depan (move on), tapi malah terus menerus tenggelam dengan halusinasi, mengigau tak karuan, menghina sana sini, memaki dan mengumpat menjadi gaya hidupnya. Segala apa yang dilakukan seseorang yang bukan merupakan idola, dihina dina, tak melihat dirinya sendiri, apakah lebih mulia dari orang yang dihina dina itu. Tipologi orang yang bermental picik dan berjiwa sempit.
Kasus meme Presiden Jokowi yang mengunjungi Toba Samosir yang berbuntut panjang, harusnya menjadi cermin dari orang-orang bertipologi mental cupak dan berjiwa kerdil nan sempit ini. Bukan saja masyarakat biasa, tapi juga virus mental cupak dan berjiwa kerdil ini menyebar dan menjangkiti pula pada orang terdidik dan intelek, seperti anggota dewan yang terhormat, DPR. Maka doa pun bisa diplintir demi untuk memuaskan dahaga dan kehampaan hidup karena kekangan rasa syirik, benci, dan dengki yang tak berujung.
Wallahu a’lam bish-shawabi
Makassar, 28 Agustus 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H