Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengapa Hanya (Me)Rokok yang Dipersoalkan?

25 Agustus 2016   12:48 Diperbarui: 25 Agustus 2016   13:05 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : eN-Te

Kurang lebih seperti itu pertanyaan yang diajukan anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar, Muhammad Misbakhun kepada Prof. Hasbullah Thabrany ketika berdebat di Kompas TV, Senin (22/8/16). Pertanyaan dan analogi itu juga disampaikan oleh salah seorang ketua asosiasi produsen rokok ketika hadir sebagai narasumber acara Indonesia Lawyer Club ala TV One (Selasa, 23/8/16). Analogi itu disampaikan Misbakhun dan pengurus assosiasi itu menanggapi isu kenaikan harga rokok menjadi 50 ribu rupiah.

Pernyataan Misbakhun itu disampaikan ketika hadir menjadi narasumber di Kompas TV dalam membedah isu kenaikan harga rokok yang bermula dari hasil penelitian Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat (PKEKK-FKM), Universitas Indonesia (UI). Kehadiran Misbakhun dalam kapasitasnya sebagai anggota DPR yang membidangi Kesejahteraan Rakyat (Kesra) yang bersentuhan dengan kepentingan warga masyarakat, khususnya petani tembakau.

Sami mawon dengan Misbakhun, pernyataan yang sama juga disampikan asosiasi produsen rokok. Sang Ketua sebuah “wadah berkumpul” para produsen rokok itu merasa perlu menyampaikan aspirasi para anggotanya. Maka ketika diundang hadir dalam ILC yang digawangi Karni Ilyas pada Selasa (23/8/16) malam itu, ia pun tak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk menyampaikan “logika” dengan mengambil berkendara sebagai analogi untuk menolak kenaikan harga rokok.

Pada intinya, baik Misbakhun maupun perwakilan asosiasi produsen rokok, mengatakan bahwa jika alasannya (me)rokok menyebabkan kematian, sehingga perlu menekan tingkat konsumsi rokok, khususnya bagi pemula, maka penjualan kendaraan juga harus dikendalikan. Ya, dengan logika yang sama, menaikan harga kendaraan bermotor (khususnya mobil). Dalam logika ini, bahwa dengan menaikan harga mobil maka tingkat penjualan menurun, karena konsumen berkurang. Dengan begitu, maka secara simultan hal itu pasti akan berpengaruh positif terhadap menurunnya tingkat kecelakaan di jalan.

Bahwa berdasarkan tinjauan kesehatan, merokok dapat merusak organ-organ vital, seperti menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan ganguan kehamilan dan janin. Sementara kecelakaan di jalan akibat berkendera, juga menyebabkan kematian. Maka muncul “ide” di kepala Misbakhun dan sang Ketua itu, jika sama-sama menimbulkan akibat yang tidak menguntungkan, malah fatal, yakni kematian, mengapa hanya (me)rokok saja yang dipermasalahkan? Orang yang berkendara di jalan, yang kemudian karena “kelalaian” sehingga menimbulkan kematian, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain, tidak juga dijadikan sebagai alasan untuk menaikkan harga kendaraan (mobil)? Mengapa ada perlakuan yang tidak sama (diskriminatif) terhadap para pelaku di bisnis rokok dan tembakau dengan para pengusaha mobil?

Kira-kira begitulah alur pikir Misbakhun yang merupakan anggota DPR yang harus memperjuangkan kepentingan rakyat, khususnya para petani tembakau. Begitu pula dengan sang Ketua asosiasi itu. Padahal antara merokok dan berkendara, meski hampir berdampak sama, misalnya menyebabkan kematian, seperti dikatakan Misbakhun dan sang ketua itu, hal itu tidak begitu saja disamakan.

Berkendara mungkin saja dapat menyebabkan kematian, karena human error maupun masalah teknis kendaraan. Tapi menganalogikan merokok dengan berkendara merupakan sebuah hal yang dipaksakan.

Merokok berakibat langsung pada para perokok dan orang-orang di sekitarnya. Sedangkan berkendara, merupakan aktivitas yang jika dijalankan mengikuti aturan dan ketentuan berlalu lintas secara tertib dan teratur, maka sangat kecil kemungkinan dapat menimbulkan dampak kematian, baik bagi diri pengendara maupun orang lain di jalanan.

Saya juga heran bercampur takjub dengan logika yang dibangun oleh Misbakhun dan sang Ketua asosiasi itu. Bahwa setiap orang boleh merasa tidak setuju dan menolak kenaikan harga rokok berdasarkan rekomendasi hasil sebuah penelitian, tapi hendaknya hal itu harus dengan argumentasi yang benar. Tentu saja harus didukung oleh data-data yang benar dan juga valid. Jadi, kalau hanya sekedar menyama-nyamakan, saya jadi bertanya-tanya apakah anggota Dewan hanya berprinsip, yang penting bisa tampil berbeda? Karena prinsip ini, sehingga apapun isu, hoax sekalipun, yang penting itu dapat memojokkan pemerintah, maka dikritisi dengan argumentasi yang dipaksakan.

Padahal penelitian yang kemudian menghasilkan beberapa rekomendasi tindak lanjut mengenai “harga rokok” ini, memiliki dasar argumentasi yang jelas dan kuat. Lagi pula, rekomendasi hasil penelitian itu belum pula ditindaklanjuti pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun