Oleh : eN-Te
Kurang lebih seperti itu pertanyaan yang diajukan anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar, Muhammad Misbakhun kepada Prof. Hasbullah Thabrany ketika berdebat di Kompas TV, Senin (22/8/16). Pertanyaan dan analogi itu juga disampaikan oleh salah seorang ketua asosiasi produsen rokok ketika hadir sebagai narasumber acara Indonesia Lawyer Club ala TV One (Selasa, 23/8/16). Analogi itu disampaikan Misbakhun dan pengurus assosiasi itu menanggapi isu kenaikan harga rokok menjadi 50 ribu rupiah.
Pernyataan Misbakhun itu disampaikan ketika hadir menjadi narasumber di Kompas TV dalam membedah isu kenaikan harga rokok yang bermula dari hasil penelitian Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat (PKEKK-FKM), Universitas Indonesia (UI). Kehadiran Misbakhun dalam kapasitasnya sebagai anggota DPR yang membidangi Kesejahteraan Rakyat (Kesra) yang bersentuhan dengan kepentingan warga masyarakat, khususnya petani tembakau.
Sami mawon dengan Misbakhun, pernyataan yang sama juga disampikan asosiasi produsen rokok. Sang Ketua sebuah “wadah berkumpul” para produsen rokok itu merasa perlu menyampaikan aspirasi para anggotanya. Maka ketika diundang hadir dalam ILC yang digawangi Karni Ilyas pada Selasa (23/8/16) malam itu, ia pun tak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk menyampaikan “logika” dengan mengambil berkendara sebagai analogi untuk menolak kenaikan harga rokok.
Pada intinya, baik Misbakhun maupun perwakilan asosiasi produsen rokok, mengatakan bahwa jika alasannya (me)rokok menyebabkan kematian, sehingga perlu menekan tingkat konsumsi rokok, khususnya bagi pemula, maka penjualan kendaraan juga harus dikendalikan. Ya, dengan logika yang sama, menaikan harga kendaraan bermotor (khususnya mobil). Dalam logika ini, bahwa dengan menaikan harga mobil maka tingkat penjualan menurun, karena konsumen berkurang. Dengan begitu, maka secara simultan hal itu pasti akan berpengaruh positif terhadap menurunnya tingkat kecelakaan di jalan.
Bahwa berdasarkan tinjauan kesehatan, merokok dapat merusak organ-organ vital, seperti menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan ganguan kehamilan dan janin. Sementara kecelakaan di jalan akibat berkendera, juga menyebabkan kematian. Maka muncul “ide” di kepala Misbakhun dan sang Ketua itu, jika sama-sama menimbulkan akibat yang tidak menguntungkan, malah fatal, yakni kematian, mengapa hanya (me)rokok saja yang dipermasalahkan? Orang yang berkendara di jalan, yang kemudian karena “kelalaian” sehingga menimbulkan kematian, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain, tidak juga dijadikan sebagai alasan untuk menaikkan harga kendaraan (mobil)? Mengapa ada perlakuan yang tidak sama (diskriminatif) terhadap para pelaku di bisnis rokok dan tembakau dengan para pengusaha mobil?
Kira-kira begitulah alur pikir Misbakhun yang merupakan anggota DPR yang harus memperjuangkan kepentingan rakyat, khususnya para petani tembakau. Begitu pula dengan sang Ketua asosiasi itu. Padahal antara merokok dan berkendara, meski hampir berdampak sama, misalnya menyebabkan kematian, seperti dikatakan Misbakhun dan sang ketua itu, hal itu tidak begitu saja disamakan.
Berkendara mungkin saja dapat menyebabkan kematian, karena human error maupun masalah teknis kendaraan. Tapi menganalogikan merokok dengan berkendara merupakan sebuah hal yang dipaksakan.
Merokok berakibat langsung pada para perokok dan orang-orang di sekitarnya. Sedangkan berkendara, merupakan aktivitas yang jika dijalankan mengikuti aturan dan ketentuan berlalu lintas secara tertib dan teratur, maka sangat kecil kemungkinan dapat menimbulkan dampak kematian, baik bagi diri pengendara maupun orang lain di jalanan.
Saya juga heran bercampur takjub dengan logika yang dibangun oleh Misbakhun dan sang Ketua asosiasi itu. Bahwa setiap orang boleh merasa tidak setuju dan menolak kenaikan harga rokok berdasarkan rekomendasi hasil sebuah penelitian, tapi hendaknya hal itu harus dengan argumentasi yang benar. Tentu saja harus didukung oleh data-data yang benar dan juga valid. Jadi, kalau hanya sekedar menyama-nyamakan, saya jadi bertanya-tanya apakah anggota Dewan hanya berprinsip, yang penting bisa tampil berbeda? Karena prinsip ini, sehingga apapun isu, hoax sekalipun, yang penting itu dapat memojokkan pemerintah, maka dikritisi dengan argumentasi yang dipaksakan.
Padahal penelitian yang kemudian menghasilkan beberapa rekomendasi tindak lanjut mengenai “harga rokok” ini, memiliki dasar argumentasi yang jelas dan kuat. Lagi pula, rekomendasi hasil penelitian itu belum pula ditindaklanjuti pemerintah.
Pemerintah belum melakukan apapun terkait dengan kebijakan cukai rokok. Tapi mengapa kemudian, isu kenaikan harga rokok itu, yang oleh Dirjen Bea Cukai dinyatakan sebagai hoax itu kemudian harus menimbulkan kegaduhan atmosfir sosial politik Indonesia?
Malah TV One, seperti “kelakuannya” selalu saja memanfaatkan isu hoax harga rokok itu, untuk kepentingan menaikkan ratingnya. Maka setelah beberapa hari terjadi “kegoncangan” akibat isu hoax harga rokok itu, dengan sigap pula TV One turun gelanggang menjadikan tema diskusi dalam acara ILC.
Dalam diskusi ala ILC di TV One, Selasa (23/8/16) malam, yang mengangkat tema “Negara Paceklik, Petani Dicekik”, seperti biasa, narasumber yang diundang pun, hampir-hampir semuanya ingin menjadikan isu itu sebagai peluru yang menghakimi pemerintah. Maka, baik anggota DPR, asosiasi produsen rokok, asosiasi petani tembakau, produsen rokok, perwakilan buruh rokok, semuanya secara berapi-api “menyerang” Prof. Thabrany. Bagi mereka apa yang dilakukan Prof. Thabrany ini merupakan sebuah “tindakan terlarang”, yang tidak perlu dilakukan. Karena bila itu diteruskan, maka akan mematikan semua stakeholders pada bisnis rokok.
Yang menjadi soal adalah mengapa semua orang seperti kebakaran jenggot, ketika isu kenaikan harga rokok itu belum dipastikan kebenarnnya. Pemerintah juga belum melakukan apapun terkait kebijakan cukai rokok, tapi sudah diposisikan sebagai rezim yang kurang sensitif terhadap nasib dan kesejahteraan rakyat. Sehingga TV One, oleh pemimpin redaksinya, sekaliber Karni Ilyas merasa perlu mengangkat tema diskusi ILC dengan judul yang sangat menohok, “Negara Paceklik, Petani Dicekik”.
Saya jadi tersenyum pada sebuah episode, ketika Prof. Thabrany berbicara, dan Karni Ilyas menanyakan kepadanya tentang “data” penelitiannya, ketika Prof. Thabrany dengan sedikit nyelekit menyindir Karni Ilyas, dengan mengatakan, “Anda kan ahli hukum, harusnya berbicara berdasarkan data!” Karni Ilyas pun terlihat keki, mungkin tidak pernah berpikir akan mendapat pertanyaan balik seperti itu! Wkwkwkwk
Wallahu a’lam bish-shawabi
Makassar, 25082016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H