***
Seseorang ketika ia menyadari dirinya telah dipersonifikasi sebagai “penyebar kebaikan”, seharusnya akan sangat berhati-hati menjaga sikap dan lisannya. Karena mereka sesungguhnya lebih tahu hakekat ajaran yang akan disampaikan kepada umat yang bersumber dari seseorang yang diteladani. Meski pada kondisi faktual, ia juga merupakan makhluk politik, yang setiap tindakan dan pernyataannya memiliki makna ganda (multi tafsir).
Bahwa Ahok itu beretnis Tionghoa (China), beragama non-Islam, terkesan arogan dan kasar, kapir pula, sehingga mungkin menimbulkan pertanyaan mengapa pula saya harus peduli? Sama dengan pernyataan Amien Rais ketika menyampaikan “pidato” di hadapan audiens BM PAN itu, bahwa bukan masalah Tionghoa (China), beragama Kristen, sehingga dia harus membencinya dan menolak Ahok, tapi karena sikap (politik)-nya. Saya juga care terhadap kepemimpinan Ahok, juga pada sikapnya.
Ahok memang beretnis Tionghoa (China), Kristen pula, karena itu ia dicap sebagai kapir (dari sebagian kelompok penganut di luar agamanya), tapi bagi saya, Ahok memiliki kemandirian politik untuk menentukan pilihannya. Tidak karena faktor mainstream sehingga dia harus mengikuti arus, tapi mampu menempatkan posisi politiknya secara kritis, mandiri, dan bertanggung jawab.
Boleh-boleh saja orang menjalankan doktrin agamanya sehingga terikat pada doktrin itu yang “mengharuskan” memilih pemimpin dari golongannya, dan mengharamkan memilih pemimpin dari yang bukan golongannya. Tapi harus pula diingat bahwa setiap orang memiliki kemandirian untuk menentukan pilihannya berdasarkan penilaian dan feeling mereka.
Perbedaan itu hendaknya dipahami sebagai sesuatu yang wajar dan alamiah (sunnatullah). Tidak lantas menjadikan doktrin agama (yang masih debatable) untuk menghakimi pihak lain sebagai telah melakukan tindakan haram karena memilih pemimpin yang bukan termasuk golongannya. Apalagi harus men-judgementbahwa seseorang itu sudah keluar dari agamanya karena telah dengan sengaja mengabaikan doktrin agama tadi.
Begitu pula saya. Meski ada yang mungkin bersikap nyleneh “meragukan” ke-Islam-an saya karena telah lebih cenderung memilih pemimpin yang bukan dari golongan yang sama, buat saya tidak problem. Karena bagi saya, ke-Islam-an saya bukan ditentukan oleh orang lain, tapi oleh saya sendiri dengan Tuhan-Ku. Yang tahu saya Islam dan benar-benar dalam ke-Islam-an, hanya saya dengan Tuhan-Ku (Allah SWT), bukan orang lain, apalagi mereka yang disebut K. H. Mustofa Bisri sebagai OPB (orang pintar baru).
***
Kembali ke topic, mengapa saya harus kehilangan respek terhadap tokoh agama (Islam)? Bukan karena “ulah” Amien Rais yang terus berulang, melakukan blunder demi blunder, tapi dalam banyak kasus yang melibatkan tokoh agama, telah dengan sengaja dan pasti membuat saya harus berpikir ulang tentang peran mereka. Tidak hanya menyangkut masalah politik, tapi juga dimensi social lainnya, termasuk pula masalah privat.
Lihatlah para ustadz-ustadz dan ustadzah-ustadzah yang menjadi public figure di televisi. Tidak ada yang keliru dari itu, tapi kadang “menggemaskan” sikap mereka. Respek yang merupakan rasa hormat dan penghargaan terhadap keilmuan (agama) mereka, sayangnya dilumuri oleh sikap-sikap yang tidak mencerminkan ketawdhuan mereka dalam memegang doktrin agama.
***