Oleh : eN-Te
Kompas TV tadi malam (Ahad, 20/8/2016) menyiarkan berita tentang “pidato” Amien Rais di depan Kongres V Barisan Muda Partai Amanat Nasional (BM PAN). “Pidato” yang menyatakan seseorang yang sedang berkuasa sebagai orang yang “beringas, bengis dan hampir-hampir seperti bandit, dan juga antek pemodal” (lihat di sini). Orang yang sedang dibidik dan dicaci maki itu adalah Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok.
Saya harus memberi tanda kutip pada frase pidato untuk memberikan penjelasan bahwa apa yang disampaikan di hadapan warga BM PAN itu, sesungguhnya bukan pidato, tapi tidak lebih dari ucapan yang tidak pantas dari seseorang yang selama ini dikenal sebagai tokoh agama, selain tokoh politik. Yang keluar dari bibir dan lidah yang tak bertulang itu, bukan kata-kata puitis retoris ala politisi atau kata-kata yang sejuk penuh tausyiah yang menentramkan ala kiyai, tapi tidak lebih dari umpatan dan cacian. Sesuatu yang tidak pantas, mengumpat dan memaki dengan kata-kata yang sangat jauh dari nilai akhlakul karimah di hadapan umum sebagaimana misi kerasulan Muhammad SAW, ketika yang hadir itu bukanlah badut-badut.
***
Mereka adalah para politisi muda, yang tentu saja sangat terdidik dan intelek. Mereka dapat menyimak, mencerna, dan kemudian membuat penilaian. Dan hampir pasti, terdapat banyak versi penilaian terhadap “pidato” yang disampaikan itu dari para audiens yang hadir.
Ada yang pro (mungkin mereka “politisi taklid”), apa saja yang keluar dari moncong si patron, kliennya pasti seperti dicokorhidungnya akan menyatakan samii’na wa taa’na, kami dengar dan kami ikuti, tanpa reserve. Soal apa yang disampaikan itu bernilai manfaat atau tidak, itu soal lain. Bagi klien yang tak memiliki kemandirian, biar diberi makanan basi pun pasti akan mau dan bersedia dengan senang hati melahapnya.
Pasti pula ada yang kontra dengan pernyataan provokatif itu. Kelompok ini, juga merupakan politisi muda, tapi masih menggunakan nalarnya secara kritis dan bertanggung jawab. Sebut saja mereka ini kelompok politisi kritis. Mereka pasti akan berusaha mencerna pidato caci maki itu kemudian menempatkannya secara proporsional dalam konstelasi dan atmosfir politik kekinian. Tidak lantas menelan begitu saja, terpengaruh dengan provokasi dan agitasi tak bermutu itu dan kemudian melakukan tindakan yang tidak produktif.
***
Harus saya akui bahwa pada Kongres V BM PAN kali ini ada seseorang yang merupakan keluarga saya (keluarga dekat, karena usianya lebih muda dari saya, dia merupakan adik) yang turut maju bersaing memperebutkan posisi Ketua Umum. Saya tahu bahwa adik itu, sejak melanjutkan pendidikan dan kemudian menetap di Yogya terjun berkecimpung di dunia politik melalui kendaraan PAN. Sejak adik itu melanjutkan pendidikan dan menetap di Yogya sangat dekat dengan keluarga Amien Rais.
Meski begitu, saya tidak ingin terjebak pada sebuah kondisi berbau nepotisme sehingga memaksa saya harus tidak bersikap kritis. Adik saya itu saat ini menjabat sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) BM PAN.
Di samping adik saya yang sedang menjabat Sekjen dan sedang maju bersaing memperebutkan Ketua Umum BM PAN, masih ada satu lagi keluarga saya, karena usia saya panggil kakak, juga merupakan Pengurus DPP PAN 2015-2020, yang saat ini sedang menjabat sebagai Ketua Komisi VIII DPR RI. Dan saya berharap keduanya juga “bersikap kritis”, sehingga dapat menentukan pilihan politiknya secara mandiri tanpa harus disubordinasi (dikooptasi). Tidak perlu merasa ewuh pakewuh terhadap patronnya.