Oleh : eN-Te
Selasa (16/8/2016) malam, seperti biasa TV One menggelar “Diskusi Hukum” di Forum Indonesian Lawyer Club (ILC) dengan mengangkat tema tentang Polemik Kewarganegaraan Mantan Menteri ESDM, dengan judul “Aduh, Arcandra”. Banyak narasumber yang diundang dalam program rutin yang digawangi Karni Ilyas tersebut.
Ada anggota DPR RI, seperti Effendi Simbolon dari Fraksi PDIP dan Akbar Faisal dari Fraksi Nasdem sebagai pendukung Pemerintah, ada Ruhut Sitompul dari Fraksi Demokrat, ada pakar Hukum Tata Negara (HTN) seperti Refli Harun, Machfud MD, dan Margarito Kamis, ada pula pakar Komunikasi (politik) seperti Cipta Lesmana, dan ada mantan Ketua Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat, serta para praktisi hukum sebagai anggota tetap ILC.
Semua narasumber memberikan pendapatnya tentang status kewarganegaraan Arcandra Tahar sesuai dengan bidangnya masing-masing. Tentu saja pendapat tersebut disesuaikan dengan perspektif mereka dan juga “kepentingannya”. Ada yang melihat masalah Arcandra dengan kacamata yang sangat jernih, tapi ada pula tidak dapat menyembunyikan tendensi kepentingan dalam menguliti Arcandra.
Dalam “kelompok tendensius” itu, masuk pula Margarito Kamis, seorang pakar HTN yang selalu menjadi favorit untuk dihadirkan dalam program acara TV One termasuk acara “Diskusi Hukum” di ILC yang dipandu “Presidennya”, Karni Ilyas itu. Satu lagi yang masuk dalam “kelompok tendensius” itu adalah anggota DPR RI dari Fraksi PDIP, Effendi Simbolon.
Seperti biasa, Margarito Kamis memberikan analisisnya sesuai dengan “kepakarannya” di bidang HTN. Dalam salah satu pendapatnya itu, Margarito menilai bahwa Presiden telah melakukan “tindakan tercela” karena telah mengangkat warga negara asing (WNA) menjadi salah satu anggota kabinet di Pemerintahannya. Menurut Margarito, karena telah melakukan tindakan yang berkategori tercela, maka Presiden dapat di-impeachment (dimakzulkan).
Menurut Margarito setiap pelanggaran terhadap konstitusi harus bermuara pada impeachment. Dalam pandangan Margarito, Presiden telah lalai dengan menunjuk Arcandra sebagai Menteri ESDM, padahal pada kenyataannya Arcandra merupakan warga negara AS. Itu berarti Presiden telah dengan sengaja mengangkat seorang yang berkewarnegaraan lain untuk menempati salah satu posisi penting di pemerintahan, yakni setingkat Menteri. Kelalaian ini, bagi Margarito merupakan pelanggaran berat yang berpotensi terjadi impeachmentterhadap Presiden.
Bila mengacu pada ketentuan UU No. 12/2016, bahwa Warga Negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan (a) karena memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri, maka apa yang disampaikan Margarito ada benarnya. Berdasarkan ketentuan tersebut maka Arcandra Tahar telah kehilangan kewarganegaraan Indonesia ketika ia menerima dan melakukan “baiat” terhadap negara barunya, AS atas kemauan sendiri.
Sebenarnya, dalam diskusi ILC tersebut, yang pertama kali menyinggung tentang kemungkinan Presiden dapat di-impeach, adalah Effendi Simbolon, anggota DPR dari Fraksi PDIP. Menurut Effendi, bahwa karena Presiden telah lalai tidak melakukan check and recheck secara menyeluruh terhadap profil Arcandra Tahar sebelum yang bersangkutan ditunjuk dan diangkat menjadi salah satu anggota kabinet, maka atas “tindakan tercela” tersebut, Presiden dapat di-impeach.
Menurut Effendi Simbolon, penting untuk menelusuri “motif” di balik pengangkatan Arcandra. Bahkan Effendi Simbolon sudah sampai pada kesimpulan bahwa penunjukkan dan pengangkatan Arcandra merupakan sebuah hal yang disengaja, yang di dalamnya terkandung hidden agenda. Dan katanya pula, bahwa hidden agenda ini di luar pengetahuan Presiden. Bisa jadi Presiden sedang ingin dijebak.
Ada konsipirasi tersembunyi di balik pengangkatan Arcandra. Karena itu, Effendi Simbolon melihat kasus Arcandra dapat menjadi katup pembuka melakukan impeachment terhadap Presiden. Meski awal mula tersibaknya status kewarganegaraan Arcandra Tahar melalui Whattsapp (WA), bagi Effendi hal itu merupakan berkah. Bagi Effendi Simbolon, lepas dari apa motif sesungguhnya orang yang melakukan cuitan pertama di WA , itu tidak penting, yang penting hal itu telah membuka mata kita, bagaimana seharusnya kita bersikap sebagai negara berdaulat.
Namun pendapat Effendi Simbolon ini langsung dibantah oleh Akbar Faisal. Menurut Akbar Faisal bahwa terlalu jauh bila mengaitkan kasus Arcandra Tahar dengan masalah impeachment. Bahkan secara lugas, Akbar Faisal mempersoalkan pengetahuan seorang Effendi Simbolon tentang masalah impeachment. Lebih jauh, Akbar Faisal malah ingin menguji pengetahuan Effensi Simbolon dengan bertanya kepadanya tentang apa itu impeachment.
Perdebatan antara Akbar Faisal dan Effendi Simbolon ini terpaksa harus dihentikan oleh Karni Ilyas, karena melihat perdebatan keduanya sudah mengarah pada debat kusir. Meski di satu sisi Akbar Faisal sedikit geregetan terhadap status Effendi Simbolon sebagai anggota DPR dari Fraksi PDIP, yang nota bene sebagai pendukung utama Pemerintah. Sehingga bagi Akbar Faisal merupakan sesuatu yang aneh, bila Effendi Simbolon “bersikap aneh” terhadap Presiden Jokowi.
Bila kita melakukan sedikit flash back, maka “sikap aneh” Effendi Simbolon terhadap Presiden Jokowi, dapat dimengerti. Mengingat, sejak namanya tidak masuk dalam gerbong kabinet ketika Jokowi mengumumkan anggota Kabinet Kerja, Effendi Simbolon sudah mulai memperlihatkan “sikap aneh” terhadap Presiden Jokowi secara terbuka. Setiap kebijakan Pemerintah, bila menurutnya “tidak sesuai” selalu dikritisinya. Meski kritiknya tersebut cenderung tendensius dan tidak mewakili, bahkan bertolak belakang dengan aspirasi fraksinya sebagai pendukung utama Pemerintah.
Sebelum lanjut, saya perlu menambahkan bahwa acara ILC pada Selasa (16/8/2016) malam itu, tidak seluruhnya saya tonton. Saya baru mengubah saluran ke TV One ketika acara yang saya tonton pada saluran TV lain sedang break iklan.
Pada saat saya mengubah channel ke TV One ternyata sedang berlangsung diskusi ala ILC dengan tema “Aduh, Arcandra” itu. Dan ketika itu, yang sedang berbicara adalah Effendi Simbolon. Saya pun berhenti sejenak untuk menonton acara itu sambil menyimak pendapat para narasumber yang hadir.
Tapi tidak seluruh pendapat narasumber termasuk Effendi Simbolon saya ikuti. Hanya saja pernyataan impeachment Effendi Simbolon, yang kemudian mendapat counter attact dari Akbar Faisal, serta di belakang ketika mendapat giliran berbicara, disinggung lagi oleh Margarito, yang cukup membuatku “terkesan”.
Saya semakin terkesan dengan istilah impeachmentitu ketika giliran Refli Harun dan Machfud MD memberikan pendapat mereka. Khusus untuk Refli Harun, dalam sebuah pernyataannya, ia malah menyebut apa yang disampaikan Margarito tentang impeachment itu adalah imajinasi semata. Refli Harun menyebut Margarito sedang berimajinasi atas kasus Arcandra Tahar sebagai entry point untuk memakzulkan Presiden. Bahkan Margarito seakan tersentak ketika Refli Harun menyebutnya sedang berimajinasi tentang impeachment,sehingga sontak saja Margarito mendebat Refli dengan menyebutkan salah satu alasan Presiden dapat dimakzulkan, yakni melakukan tindakan tercela.
Pendapat Refli Harun kemudian diperkuat oleh Machfud MD, sekaligus pada saat yang bersamaan, sayangnya mementahkan, pendapat Margarito. Menurut Machfud MD, bahwa kasus Arcandra tidak serta merta dapat menjadi entry point untuk meng-impeachmentPresiden. Bagi Machfud MD, kasus Arcandra Tahar belum cukup memenuhi salah satu syarat, bahkan terlauh jauh (kejauhan) untuk melakukan impeachment terhadap Presiden.
Cuma masalahnya, kasus Arcandra Tahar merefleksikan tentang carut marut tata kelola administrasi pemerintahan. Pada poin ini semua narasumber sepakat, bahwa ke depan posisi Kementerian Sekretaris Negara (Sekneg) dan Kementerian Sekretrais Kabinet (Seskab) harus diperkuat. Sehingga kasus-kasus seperti kesalahan penulisan lembaga negara seperti BIN, lolosnya aturan tentang tunjangan untuk pejabat negara, serta terakhir “salah lantik” menteri tidak terulang lagi. Hal mana bisa membuat orang seperti Effendi Simbolon dan Margarito sampai harus berimajinasi prematur untuk mengusulkan melakukan impeachment terhadap Presiden, tanpa melihat kategori “pelanggaran” yang dilakukan.
Menyikapi centang perenang pengelolaan administrasi Pemerintah ini, Cipta Lesmana berharap, orang seperti Machfud MD dan Yusril Ihza Mahendra dapat dipertimbangkan oleh Presiden untuk diangkat menjadi pembantu beliau di jajaran anggota kabinet, khususnya untuk memperkuat tata kelola administrasi Pemerintah, sehingga ke depan hal-hal yang tidak perlu ini tidak lagi terjadi yang dapat membuat gaduh atmosfir politik nasional, yang berdampak pula pada kerja dan kinerja Pemerintah.
Wallahu a’lam bish-shawabi
Makassar, 18 Agustus 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H