Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mental Brutus, Menilai Tradisi dan Syariat dalam Gejolak Nafsu

2 Agustus 2016   19:00 Diperbarui: 17 April 2017   18:00 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kampung Lamakera di saat mentari pagi menyingsing (dokpri)
Kampung Lamakera di saat mentari pagi menyingsing (dokpri)
Nilai itu terbentuk dan menjadi kebiasaan yang dipraktekkan secara terus-menerus, turun temurun, sehingga telah melembaga (mentradisi), kemudian menjadi adat dan budaya. Ketika “nilai” yang dipraktekkan telah membentuk adat dan budaya dan hal itu tidak bertentangan dengan syariat agama, mengapa pula ada yang dengan arogan, atas nama “intelektualitas” dan keilmuan kemudian dengan seenak udelnya mau melakukan perubahan?  Apanya yang perlu dirubah? Atas nama apa? Apa pula manfaatnya? Dan mengapa pula harus dilakukan dengan cara  melanggar nilai itu, yang pada kondisi faktualnya bertentangan dengan syariat pula?

“Nilai” itu adalah kesepakatan tak tertulis dari sebuah komunitas, yang terdiri dari beragam kepentingan yang berbeda, bersifat tetap dan mengikat. Artinya, apapun alasannya, sepanjang “nilai” yang telah melembaga (tradisi) itu bila telah disepakati, diterima, dan dipraktekkan, maka mestinya tidak ada alasan lain yang dapat menganulir “legitimasinya”, termasuk alasan syariat.

Premis terakhir pada paragraf di atas ini bukan berarti dengan serta merta menutup pintu “ijtihad” untuk menemukan kebenaran hakiki nilai itu. Tapi, seharusnya hal itu tidak dilakukan dengan pendekatan frontal, gegabah, dan menabrak aturan syariat. Tidak dilakukan dengan cara-cara yang tidak beradab, apalagi dilakukan oleh manusia-manusia “beradab” bila ditinjau dari kemampuan berpikirnya. Lain halnya, bila hal itu terjadi dan dilakukan oleh orang yang tidak beradab dan tidak waras secara akademik.

***

Saya tidak boleh mengelak, dan harus siap menerima penilaian bahwa apa yang menjadi concern dan atensi dalam tulisan ini, karena dipengaruhi oleh kondisi aktual yang terjadi hari ini di Lamakera. Di mana kondisi aktual itu berkaitan langsung dengan kepentingan saya. Jadi, tidak bisa tidak, pasti ada unsur subyektivitas dalam memberikan pandangan saya dalam membaca tradisi dan syariat.

Saya tidak berpretensi dengan tulisan ini akan mampu mengubah kenyataan pahit yang sudah terjadi. Jika masih dapat “dirasionalisasi”, bahwa memang hal itu tidak boleh secara adat, mengapa harus terus dipaksakan? Meski saya juga tidak boleh begitu saja mengabaikan kondisi faktual di lapangan, bahwa jalan ini harus ditempuh, karena alasan kemanusiaan. Tapi, bagi saya, melihat kasus ini (dengan berbagai pernak pernik cerita yang mengelinginya), dan itu berkaitan dengan kepentingan subyektif saya, maka saya lebih setuju untuk tidak dilanjutkan.

Kalaupun kemudian muncul penilaian bahwa terlalu egois membiarkan calon anak manusia lahir tanpa ayah (jika klaim kondisi darurat itu benar), saya lebih memilih untuk dihujat. Alasan saya, toh, sejak awal, jalan yang ditempuh pun sudah salah, menyalahi dua norma sekaligus, norma adat dan juga norma agama.

Saya tidak ingin bersikap ambigu. Saya ingin tetap konsisten menjaga marwah tradisi adat dan budaya itu, dari akal bulus para brutus. Mereka yang bermental pengkhianat. Mengaku saudara dan keluarga, tapi tega menusuk dari belakang. Ibarat menggunting dalam lipatan, menjegal kawan seiring. Sesakit apapun, kalau orang lain yang tega berkhianat itu, masih wajar. Biar bagiamana pun, toh, dia (mereka) orang lain.

Pemandangan Kampung Lamakera dari Kota Waiwerang P. Adonara (dokpri)
Pemandangan Kampung Lamakera dari Kota Waiwerang P. Adonara (dokpri)
Tapi, tidak dengan orang bermental brutus. Bagi mereka persetan dengan hubungan kekerabatan menurut nilai historikal dan tradisi, yang penting misi tercapai. Soal kerusakan hubungan kekerabatan dan silaturahim, itu soal lain, pasti pada suatu waktu akan kembali normal. Namun demikian harus ditegaskan, bahwa senormal-normalnya sebuah keadaan, bila pernah mengalami kerusakan, akan tetap menjadi “bopeng”. Sehingga kita perlu bersikap ekstra hati-hati, bahwa bila orang yang ada dalam rumah (badan) sendiri saja sampai tega mengkhianati keluarganya, bagaimana dengan orang lain?      

***

Buat saya, pengetahuan dan alasan keilmuan hanya sebagai supporting dalam menyangga marwah tradisi adat dan budaya itu. Karena dalam sebuah entitas sosial, pasti ada sistem nilai yang disepakati, dipraktekkan, mengatur, dan mengikat dalam berinteraksi antara satu dengan yang lain dalam hubungan sosial. Tinggal kita menjaga nilai-nilai tradisi itu dalam praktek dan implementasinya tidak menyimpang dan bertentangan dengan norma agama (syariat).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun