“Nilai” itu adalah kesepakatan tak tertulis dari sebuah komunitas, yang terdiri dari beragam kepentingan yang berbeda, bersifat tetap dan mengikat. Artinya, apapun alasannya, sepanjang “nilai” yang telah melembaga (tradisi) itu bila telah disepakati, diterima, dan dipraktekkan, maka mestinya tidak ada alasan lain yang dapat menganulir “legitimasinya”, termasuk alasan syariat.
Premis terakhir pada paragraf di atas ini bukan berarti dengan serta merta menutup pintu “ijtihad” untuk menemukan kebenaran hakiki nilai itu. Tapi, seharusnya hal itu tidak dilakukan dengan pendekatan frontal, gegabah, dan menabrak aturan syariat. Tidak dilakukan dengan cara-cara yang tidak beradab, apalagi dilakukan oleh manusia-manusia “beradab” bila ditinjau dari kemampuan berpikirnya. Lain halnya, bila hal itu terjadi dan dilakukan oleh orang yang tidak beradab dan tidak waras secara akademik.
***
Saya tidak boleh mengelak, dan harus siap menerima penilaian bahwa apa yang menjadi concern dan atensi dalam tulisan ini, karena dipengaruhi oleh kondisi aktual yang terjadi hari ini di Lamakera. Di mana kondisi aktual itu berkaitan langsung dengan kepentingan saya. Jadi, tidak bisa tidak, pasti ada unsur subyektivitas dalam memberikan pandangan saya dalam membaca tradisi dan syariat.
Saya tidak berpretensi dengan tulisan ini akan mampu mengubah kenyataan pahit yang sudah terjadi. Jika masih dapat “dirasionalisasi”, bahwa memang hal itu tidak boleh secara adat, mengapa harus terus dipaksakan? Meski saya juga tidak boleh begitu saja mengabaikan kondisi faktual di lapangan, bahwa jalan ini harus ditempuh, karena alasan kemanusiaan. Tapi, bagi saya, melihat kasus ini (dengan berbagai pernak pernik cerita yang mengelinginya), dan itu berkaitan dengan kepentingan subyektif saya, maka saya lebih setuju untuk tidak dilanjutkan.
Kalaupun kemudian muncul penilaian bahwa terlalu egois membiarkan calon anak manusia lahir tanpa ayah (jika klaim kondisi darurat itu benar), saya lebih memilih untuk dihujat. Alasan saya, toh, sejak awal, jalan yang ditempuh pun sudah salah, menyalahi dua norma sekaligus, norma adat dan juga norma agama.
Saya tidak ingin bersikap ambigu. Saya ingin tetap konsisten menjaga marwah tradisi adat dan budaya itu, dari akal bulus para brutus. Mereka yang bermental pengkhianat. Mengaku saudara dan keluarga, tapi tega menusuk dari belakang. Ibarat menggunting dalam lipatan, menjegal kawan seiring. Sesakit apapun, kalau orang lain yang tega berkhianat itu, masih wajar. Biar bagiamana pun, toh, dia (mereka) orang lain.
***
Buat saya, pengetahuan dan alasan keilmuan hanya sebagai supporting dalam menyangga marwah tradisi adat dan budaya itu. Karena dalam sebuah entitas sosial, pasti ada sistem nilai yang disepakati, dipraktekkan, mengatur, dan mengikat dalam berinteraksi antara satu dengan yang lain dalam hubungan sosial. Tinggal kita menjaga nilai-nilai tradisi itu dalam praktek dan implementasinya tidak menyimpang dan bertentangan dengan norma agama (syariat).