Begitu pula halnya dengan “Teman Ahok”. Komunitas Teman Ahok harus pula bersedia memperlunak syarat kepada Ahok dengan tetap seksama membaca peta dan realitas politik yang sedang berkembang. Bahwa politik itu sangat dinamis dan cair. Karena itu membutuhkan fleksibilitas dan sensivitas dalam membaca peluang. Jika salah membaca “tanda jaman” itu maka akan menjadi awal kegagalan.
Mungkin saja “Teman Ahok” sudah menyadari resiko politik yang akan dialami Ahok bila tetap memaksakan kehendak dan menuntut konsistensi Ahok. Bagi “Teman Ahok” mengalah untuk menang adalah sebuah strategi yang tidak diharamkan dalam politik. Sehingga memilih untuk menyerahkan keputusan final ke tangan Ahok adalah sebuah keputusan bijak. Lebih baik mengorbankan “konsistensi” Ahok, daripada harus melihat Ahok tidak lagi berada di singgasana kekuasaan DKI 1.
Kekhawatiran bila Ahok gagal sehingga membiarkan Jakarta akan kembali menjadi “lumbung” untuk mengeruk keuntungan oleh pihak-pihak yang doyan mengumpulkan pundi-pundi kekayaan melalui jalan bathil harus menjadi pemikiran serius. Jika tidak, keinginan untuk melihat dan mewujudkan Jakarta Baru akan tetap menjadi ilusi.
Hari ini, “Teman Ahok” bersikap pasrah menyerahkan keputusan kepada Ahok bukan berarti kalah. Tapi harus dibaca sebagai strategi politik, mengalah untuk menang, yakni “... menjadikan Ahok (sebagai) Gubernur di periode 2017-2022".
Wallahu a’lam bish-shawabi
Makassar, 18 Juli 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H