Dari laman viva.co.id, Prof. Jimly menyatakan bahwa kepergian almarhum yang sangat mendadak ini mengejutkan banyak pihak sehingga menimbulkan banyak pertanyaan. Dengan memberikan penjelasan secara menyeluruh mengenai rekam medis almarhum akan membuka “rahasia” sebenarnya, apa yang terjadi terhadap almarhum? Bagi Prof. Jimly, penjelasan rekam medis secara menyeluruh oleh keluarga akan menjadi bahan pembelajaran. "Kok begitu mendadak supaya kita bisa belajar" (sumber).
Di satu sisi, permintaan Prof. Jimly merupakan hal yang wajar agar kematian Ketua KPU, HKM tidak menimbulkan spekulasi liar, termasuk dugaan kemungkinan almarhun diracun. Salah satu yang sesumbar menduga Ketua KPU mati karena diracun adalah seorang pentolan politisi Golkar, yang sering memakai sorban khas di kepalanya, sehingga seakan-akan menggambarkan ia seorang yang sangat religius, yakni Ali Muchtar Ngabilin (lihat berita terkait). Tapi sayangnya, sering berprasangka buruk terhadap pihak atau kelompok yang berseberangan kepentingan dengannya.
Kita paham bahwa dengan membuka rekam medis akan memberikan gambaran jelas dan tegas bahwa kematian HKM adalah murni akibat medis. Ataukah ada faktor-faktor nonmedis lain yang ikut berperan “melenyapkan” almarhum?
Namun tidak disadari bahwa dengan pernyataan sekaligus permintaan tersebut, malah semakin membuka peluang terjadi spekulasi lebih jauh. Bukan saja spekulasi, tapi juga akan membuka ruang baru bagi kelompok-kelompok yang selama ini merasa tidak sreg dengan kiprah almarhum. Apa itu, melakukan manipulasi tafsir terhadap makna ungkapan Prof. Jimly, “daripada bikin repot” itu.
***
Maka manipulasi itu pun tak terhindarkan. Salah satu manipulasi itu adalah mencoba mengaitkan kematian mendadak Ketua KPU, HKM, dengan rekapitulasi hasil perhitungan suara Pilpres 2014. Lebih jauh, disebutkan bahwa kematian HKM merupakan by design (direncanakan).
Artinya, almarhum sengaja dihilangkan untuk menutupi “kejahatan” Pilpres 2014. Kematian almarhum HKM diibaratkan seperti kematian alamrhum Munir. Sehingga ada yang berspekulasi bahwa HKM memang “di-Munir-kan” dalam rangka mengamankan sebuah “rahasia”.
Sudah pasti pihak yang berkepentingan dengan kematian Ketua KPU, bila benar ada “rahasia” yang dipegangnya, maka telunjuk itu diarahkan kepada rezim yang sedang berkuasa. Hal itu sudah merupakan aksioma umum (commonsense). Dalam pandangan “kelompok oposisi”, bahwa bila sebuah rezim tidak ingin “belangnya” diketahui publik, satu-satunya cara adalah melenyapkan orang atau kelompok yang memegang “kartu AS” itu. Dan orang itu adalah Ketua KPU, HKM. Bila “rahasia” itu terbongkar, maka hal itu akan berpengaruh terhadap kredibiltas dan tingkat kepercayaan (trust) publik terhadap sebuah pemerintahan.
***
Dan logika ini yang coba disusun dan dibangun “kelompok oposisi” itu. Bagi “kelompok oposis” itu, Pilpres 2014 belum usai. Rekapitulasi hasil Pilpres yang kemudian digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan telah memiliki kekuatan hukum tetap (incrah), masih jauh dari kata selesai.
Dalam pandangan kelompok ini, masih banyak benang kusut Pilpres 2014, khususnya mengenai hasil rekapitulasi, harus diuraituntaskan. Bagi kelompok ini, kecurangan Pilpres itu nyata dan niscaya sehingga perlu diselesaikan!