“Dan tidak Aku ciptakan jin manusia melainkan hanya untuk mengabdi kepada-Ku” [Q. S. Adz-Dzariyat (51) ayat 56].
Mengabdi tidak semata menjalankan ritual keagamaan berupa ibadah mahdah, tapi juga senantiasa memelihara hubungan baik pada aspek sosial dan lingkungan. Rangkaian ibadah mahdah dan sosial itu merupakan implementasi kesalehan seseorang dalam mensyukuri nikmat Tuhan.
Hendaknya parameter untuk selalu menyadari eksistensi sebagai hamba, karena itu berkonsekuensi logis pada tugas kekhalifahan, yakni “hanya mengabdi”, merefleksikan kesadaran religius untuk mensyukuri nikmat Tuhan. Jika seseorang muslim menyadari eksistensi dirinya, dan karena itu menyadari pula betapa banyak nikmat yang telah ia terima maka akan semakin membuatnya tertunduk pasrah (tawadlu). Karena dalam pandangan hamba yang pandai bersyukur, nikmat Allah SWT itu tak terhitung jumlahnya.
Katakanlah (wahai Muhammad), “Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Rabbku, sungguh habislah lautan itu sebelum kalimat-kalimat Rabbku habis (ditulis), meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula). [al-Kahfi (18):109].
Dalam surat Lukman, Allah SWT juga menjelaskan :
“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya kalimat Allâh tidak akan habis ditulis. [Luqmân (31):27].
Kalimat Allah juga mengandung makna nikmat-nikmat yang telah Ia berikan kepada setiap hambanya. Seorang hamba dikatakan kufur nikmat bila ia tidak sempat menyadari eksistensinya sebagai hamba. Q. S. 51:56 di atas memberikan penegasan tugas kekhalifahan, tapi bukan berarti ketika kita menunaikan kewajiban itu akan mendatangkan manfaat untuk Allah SWT, begitu pula bila kita abai dengan kewajiban itu, tidak lantas membawa kerugian. Tak ada impact apapun untuk Allah, bila kita syukur atau kufur nikmat. Bagi Allah SWT ibadah yang engkau jalankan manfaatnya akan kembali kepada diri Anda sendiri, begitu pula bila mengabaikan titah-Nya, yang memperoleh kerugian juga bukan Allah SWT.
Karena itu Allah SWT dalam Q. S. Ar-Rahman, sampai harus mengulang 29 kali kalimat pertanyaan retoris dan sekaligus penegasan terhadap segala nikmat yang telah diberikan kepada hambanya.
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah kamu dustkan?” [Q. S. Ar-Rahman (55):13-77].
Ayat yang mengandung pertanyaan reflektif. Syukur atau kufur nikmat akan membawa konsekuensi. Pada yaumul hisab kelak, tidak ada lagi ikatan darah dan kekerabatan dapat saling membantu. Semua akan berpikir tentang diri dan nasibnya. Karena itu, dapat saja terjadi seorang anak menjadi penghalang bagi orangtuanya melangkah masuk ke surga.
Ketika seorang hamba setelah melalui proses screening dan pemeriksaan yang ketat dan seksama, dan oleh Sang Pengadil dinyatakan clear and clean, sehingga padanya diberi sertifikat lolos masuk surga, tapi ketika hendak akan melangkah, terdengar suara keberatan dari salah seorang anaknya, maka hal itu dapat menggugurkan kesempatannya masuk surga. Karena itu, menjadi kewajiban setiap orangtua untuk dapat memberikan pengasuhan dan pendidikan yang baik kepada anak-anaknya, agar kelak tidak menjadi batu sandungan untuk memperoleh reward.
Salah satu “boarding pass” gratis bagi orangtua masuk surga ketika meninggalkan anak turunannya dapat menghafal Al-Qur’an. Allah SWT tidak hanya memberi keistimewaan kepada penghafal Qur’an (Hafids), tapi juga memberikan garansi kepada kedua orangtuanya.