Oleh : eN-Te
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) saat ini masih menjaring bakal calon gubernur (bacagub) untuk Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI 2017. Dari semua bacagub yang muncul saat ini, rupanya PDIP belum merasa ada yang cocok. Sehingga meski semua bacagub sudah wara wiri ke sana kemari “menawarkan” diri, PDIP tak bergeming untuk segera menentukan pilihan.
Padahal dari sebagian bacagub yang wara wiri itu, ada beberapa yang sudah mampir di “tenda” PDIP untuk mendaftar. Tak ketinggalan ikut mendaftar, tokoh sekaliber mantan Menkum HAM, sekaligus pakar Hukum Tata Negara dan pengacara kondang pelawan Pemerintah, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra. Kali-kali saja, bila Tuhan mengijinkan dan sang “empunya” partai berkenan, bakal akan didapuk menjadi “petugas partai” diusung menjadi Cagub dari PDIP.
***
Tapi, rupanya sejauh ini PDIP belum menunjukkan tanda-tanda akan memilih siapa bacagub yang pas diusung menjadi Cagub untuk bertarung melawan petahana, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Dengan catatan Ahok lolos verifikasi aktual dukungan KTP maju melalui jalur independen.
Kita boleh berasumsi bahwa Ahok sudah hampir pasti melenggang kangkung maju melalui jalur independen. Karena sejauh ini, KTP dukungan warga kepada Ahok-Heru sudah mencapai lebih dari 900 ribu. Berdasarkan web Teman Ahok, KTP dukungan kepada Ahok-Heru sudah mencapai 933.846 KTP (sumber).
Dengan asumsi bahwa KTP dukungan yang telah mencapai lebih dari 933.846, bila diambil 60% atau 0,6 saja yang dinyatakan lolos verifikasi aktual, maka sudah mencapai 560.307 KTP dukungan. Itu berarti sudah lebih dari cukup memenuhi persyaratan minimal dukungan perseorangan untuk Pilgub DKI Jakarta sekitar 532.213 KTP.
***
Melihat trend atau kecenderungan warga terhadap proses pengumpulan KTP dukungan untuk Ahok-Heru maka partai politik (parpol) boleh merasa was-was. Jika parpol tidak jeli melihat momentum pergerakan Ahok, maka dapat dipastikan Ahok seng ada lawan.
Parpol-parpol, termasuk PDIP mulai merasa khawatir. Mengingat semua strategi dan “akal bulus” telah dilakukan untuk menjegal Ahok. Mulai dari isu deparpolisasi, audit investigasi BPK terhadap Rumah Sakit Sumber Waras (RS-SW), masalah reklamasi teluk Jakarta, dan terakhir masalah persyaratan dukungan minimal bagi calon perseorangan yang akan ditingkatkan dalam UU Pilkada. Akan tetapi, sejauh ini Ahok bagai karang di laut, tetap tegar, dan nyaris tak bisa digoyahkan.
Dalam kegamangan itu, tiba-tiba Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP, Hasto Kritiyanto melempar wacana bahwa partainya sedang mencari figur yang akan diusung menjadi bacagub pada Pilgub DKI 2017 dengan kriteria sebagai pemimpin (yang) manusiawi. Ternyata sepak-terjang Ahok selama ini telah membuat gerah elit PDIP. Ahok di mata elit PDIP, khususnya Hasto tidak cukup menampilkan pemimpin manusiawi.
***
Kriteria pemimpin manusiawi seakan menjadi penegasan bahwa PDIP tidak memasukkan Ahok dalam radar pantaun mereka yang menjadi salah satu bacagub yang akan diusung partai wong cilik ini. Mengapa demikian?
Hasto menjelaskan bahwa PDIP banyak menerima masukan dari masyarakat agar PDIP memilih calon pemimpin yang tepat untuk memimpin Jakarta lima tahun ke depan. Dan calon pemimpin yang tepat, menurut Hasto, sebagaimana keinginan masyarakat adalah terkait prinsip kemanusiaan. Maka Hasto menegaskan bahwa “karena, PDI-P ingin kota Jakarta memiliki pemimpin yang manusiawi” (sumber).
***
Benarkah Ahok kurang atau tidak memenuhi kriteria PDIP sebagai pemimpin yang manusiawi? Jika membaca keterangan Hasto secara sepintas, seakan PDIP telah mengeliminir faktor Ahok sebagai salah satu bacagub yang akan diusung. Bagi PDIP, kebijakan dan langkah Ahok selama ini dalam menata Jakarta tidak cukup manusiawi.
Kebijakan Ahok menggusur warga dari tanah negara kemudian memindahkan (merelokasi) mereka ke rumah-rumah susun sewa (rusunawa) dalam pandangan PDIP tidak cukup menjadi indikator bahwa Ahok juga memperhatikan aspek-aspek kemanusiaan warga. Padahal Ahok tidak asal menggusur melainkan juga memberikan berbagai kebijakan lain dengan memberikan kompensasi yang sangat manusiawi pula. Antara lain warga yang tergusur tidak begitu saja dibiarkan, tetapi diberikan berbagai fasilitas kemudahan, seperti kesehatan gratis, transportasi gratis ke tempat kerja, pemindahan anak sekolah gratis, dan masih banyak lagi lainnya (baca di sini).
***
Semua itu belum cukup membuat elit PDIP merasa bahwa apa yang dilakukan Ahok telah menghargai dan menjunjung hak-hak azasi warga. Bagi PDIP meski apa yang dilakukan Ahok merupakan kebijakan politik yang harus dilakukan dalam rangka menata Jakarta lebih berkeadaban, hal itu tidak mencerminkan seorang Ahok telah memiliki watak pemimpin yang manusiawi dan beradab. Dalam istilah Hasto, bahwa "di mana keputusan-keputusan politik, misalnya memindahkan warga harus dilakukan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan yang mendorong gambaran politik yang berkeadaban".
Hasto dan elit PDIP lainnya seakan lupa, bahwa di sebelah rumah Jakarta, ada Kampung Dadap Tangerang yang kemarin juga mengalami penggusuran. Tapi, proses penggusuran itu mendapat perlawanan dari warga karena tidak diberikan “kemudahan” sebagaimana dilakukan Ahok. Di sana ketika warga “diminta pergi” dari lokasi tempat tinggal mereka di Kampung Dadap itu, tidak diberikan apa-apa. Jangankan uang kerohiman, kendaraan untuk mengangkut barang-barang mereka untuk pindah saja tidak disiapkan, apalagi berbicara tentang “kemudahan” ala Ahok?
Sehingga Ahok pun merasa heran, mengapa penggusuran warga Kampung Dadap tak seribut di Jakarta? (sumber). Jawabannya Cuma satu, di Jakarta ada Ahok, sedang di Tangerang (Kampung Dadap) tidak ada Ahok.
***
Kalau penggusuran yang dilakukan di Jakarta mendapat perhatian yang demikian luas dari semua elemen masyarakat. Termasuk para bacagub, yang beramai-ramai mendatangi lokasi penggusuran. Katanya, bukan untuk pencitraan, tapi karena panggilan nurani demi kemanusiaan, sebab mereka calon pemimpin yang mempunyai sense of humanity.
Ada bendera dan tenda partai juga ikut berkibar di lokasi penggusuran. Ada juga elit politik dan anggota DPR merasa harus turun ke lapangan melihat, jangan-jangan ada hak-hak azasi warga terabaikan? Dan berdasarkan observasi mereka, sehingga sampai pada kesimpulan bahwa Ahok memang bukan tipe pemimpin yang memiliki sense of humanity.Sementara di Tangerang (Kampung Dadap), sudah seharusnya terjadi seperti itu, karena gaungnya tidak cukup membuat citra elit politik dan parpol terdongkrak naik.
***
Kita tunggu saja apa manuver PDIP selanjutnya. Apakah PDIP sebagai partai wong cilik masih cukup sensitif terhadap aspirasi dan keinginan mayoritas warga ibukota? Atau sebaliknya, karena ego politik, sehingga PDIP harus dengan tega mengabaikan aspirasi dan keinginan warga ibokota sebagaimana tercermin melalui pergerakan Teman Ahok dalam memobilisasi KTP dukungan untuk Ahok (dan Heru). Dan tetap ingin melakukan “audisi” mencari pemimpin yang manusiawi, tidak seperti tipologi Ahok, “yang kasar, tidak santun, dan yang lebih penting dari itu, kafir”.
Kita tunggu sampai pendaftaran bacagub secara resmi dibuka oleh KPUD DKI Jakarta! Kemudian selanjutnya kita saksikan seperti apa kecenderungan aspirasi dan dukungan politik warga ibukota pada Pilgub DKI 2017 nanti? Apakah kepada petahana, Ahok yang (tak) manusiawi atau calon lain yang menurut PDIP sebagai pemimpin manusiawi?
Sebelum sampai ke sana, pertanyaan awalnya adalah, mungkinkah PDIP mendapatkan calon pemimpin yang manuiawi itu, di tengah fenomena banyak elit dan tokoh politik “tidak bersih lingkungan”?
Wallahu a’lam bish-shawabi
Awal Ramdhan, 6 Juni 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H