Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Karena Ahok, PDIP dan Gerindra Kembali Rujuk

27 Mei 2016   10:18 Diperbarui: 27 Mei 2016   12:02 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : http://www.tribunnews.com dan http://www.tempo.co/

Oleh : eN-Te

Kemarin, Kamis (26/5/16) kembali para elit PDIP dan Partai Gerindra di DKI Jakarta mengadakan “silahturahmi” (sumber). Kedua partai tersebut mencoba kembali memupuk asa setelah sempat “bercerai” gara-gara masalah calon presiden (Capres) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2014. Sebuah pertanda baik.

***

Sejak lebih memilih untuk mencalonkan kadernya masing-masing sebagai Capres pada Pilpres 2014, kedua partai ini kemudian berseberangan jalan. Buntutnya hingga kini Partai Gerindra tetap bertahan di Koalisi Merah Putih (KMP) sebagai oposisi pemerintah, di mana pendukung utamanya adalah PDIP. Meski sudah ditinggal pergi oleh kolega-kolega partai yang lain karena tergiur “kue” pemerintah, Partai Gerindra tetap setia pada komitmen untuk mengawal dan mengontrol Pemerintah dari luar.

Pilihan politik Partai Gerindra ini merupakan sebuah praktek politik yang dapat memberikan pembelajaran bernegara. Selama ini praktek politik seragam atau keseragaman politik telah membawa pengaruh yang tidak cukup positif untuk membangun negeri besar nan elok menjadi sebuah negara yang disegani.

Pernah memang pada suatu ketika, politik seragam atau keseragaman politik itu cukup menciptakan kestabilan politik, ekonomi dan keamanan, yang membuat negeri lain menaruh hormat. Tetapi, terbukti kemudian, kestabilan itu hanya bersifat semu. Di balik itu tersimpan kerapuhan yang hampir membuat negeri beribu pulau ini kolaps berantakan.

***

Politik seragam atau keseragaman politik itu kembali menemukan determinasinya ketika Ahok hadir di pentas politik nasional. Meski Ahok menyadari label minoritas yang disandangnya tidak cukup menghentikan langkah dan keinginannya untuk merajuk asa memperbaiki negeri ini.

Jauh sebelum Ahok hadir di pentas politik nasional, sudah ada orang yang beretnis sama dengan Ahok dan karena itu menyandang label minoritas ganda, seperti Kwik Kian Gie (KKG), tidak cukup memberi warna. Bahkan hampir dapat dikatakan KKG sangat jauh dari isu-isu stigmatis yang mendiskreditkan dirinya atas nama etnis dan keturunan.

***

Ahok yang menyandang label minoritas ganda, bahkan multi, menjadi sebuah entry point bagi partai politik (parpol) berbenah diri. Ketika dengan sigap menyatakan diri keluar dari keanggotaan Partai Gerindra karena perbedaan pandangan dalam masalah UU Pilkada Langsung, praktis menempatkan Ahok pada posisi politik yang sulit, tidak membuatnya risau. Malah “kegilaannya” makin bertambah, ketika dengan serta merta tanpa tedeng aling-aling menyatakan maju berlaga di Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI 2017 melalui jalur independen (perseorangan).

Entah atas alasan apa Ahok berani menantang arus. Mungkin Ahok merasa publik sudah memiliki penilaian sendiri terhadap apa yang telah dilakukan bersama Jokowi, yang kemudian dia sendiri lanjutkan.

Memang sempat terungkap alasan Ahok memutuskan harus maju melalui jalur independen. Alasan mahar politik yang sempat mengemuka, yang kemudian membuat parpol merasa “tersinggung”, sehingga memunculkan polemik deparpolisasi.

Tapi hal yang membuat Ahok bersikukuh harus maju melalui jalur indenpenden karena melihat momentum waktu yang semakin dekat. Jika Ahok tidak segera memutuskan sementara harus menunggu parpol datang melamar, jangan-jangan malah menjadi bumerang memukul balik Ahok. Mengingat parpol kadung sudah merasa “dikhianati” Ahok, sehingga pasti akan dengan sengaja mengulur waktu, sehingga Ahok tidak lagi mempunyai kesempatan untuk menyiapkan segala “sesuatunya” sebagai syarat maju melalui jalur indenpenden. Dengan demikian, parpol merasa girang, tidak perlu lagi bertarung, sebab Ahok sudah gugur lebih awal sebelum memasuki arena bertanding.

Alasan lain sebagaimana sering disampaikan Ahok adalah karena ingin menghargai “niat baik” dan semangat anak-anak mudah dalam komunitas Teman Ahok (TA). Bagi Ahok, memberikan ruang kreasi bagi anak muda sekaligus pada saat bersamaan memberikan penghargaan adalah sebuah domain kebajikan.

***

Cerita Ahok ternyata tidak hanya berhenti setelah menyatakan maju berlaga melalui jalur independen. Sejak mendeklarasikan diri ingin kembali maju mencalonkan diri sebagai calon gubernur (Cagub) pada Pilgub DKI 2017,  berbagai upaya telah dilakukan, baik oleh perorangan maupun parpol untuk menjegalnya. Sayangnya, sampai sejauh ini belum ada satupun yang berhasil sukses maknyoos.

Berbagai lapak audisi politik dibuka oleh beberapa parpol untuk menjaring calon yang sepadan untuk menantang Ahok. Tapi, rupanya setelah berlalu beberapa saat proses audisi itu, pada ujung-ujungnya parpol-parpol tersebut lebih memilih kader dari partai sendiri menjadi calon. Karena itu menjadi lelucon yang tidak lucu, ketika para pendaftar dan pelamar tidak merasa “tertipu” (lihat artikel terkait) dengan audisi ala parpol itu.

***

Ketika semua jurus telah dibentangkan untuk menghentikan Ahok dan belum memberikan hasil yang memuaskan, maka langkah taktis pun dikeluarkan. Lagkah taktis itu mau tidak mau harus digunakan meski harus mengorbankan “rasa malu”.

Memang dalam politik tidak ada yang tidak mungkin. Parpol yang pernah bertikai dan sempat “bercerai” bisa rujuk kembali demi untuk mencapai ambisi bersama. Meski hal itu harus dibungkus dengan kalimat bahwa untuk membangun sebuah “peradaban” harus bergandeng tangan bersama. Tidak mungkin melakukan sendirian tanpa mengikutkan yang lainnya. Apalagi berkaca pada kekhasan budaya negeri ini, yang berlandaskan pada sifat kekeluargaan dan kegotongroyongan.

***

Kita sepakat bahwa membangun secara bersama-sama atas landasan sifat kekeluargaan dan kegotongroyongan sebagai cermin budaya bangsa. Tapi kita juga harus jujur membaca jaman bahwa dalam praktek politik selama ini sering makna itu diselewengkan oleh oknum-oknum parpol yang bermental serakah. Melakukan konspirasi secara kolaboratif mendesain sebuah motif politik untuk mendapatkan keuntungan. Baik itu keuntungan politik maupun keuntungan finansial.

Maka kehadiran Ahok untuk meretas “budaya salah” itu sebagai sebuah determinasi telah mengejutkan banyak pihak. Tak terkecuali parpol, bahkan hampir sebagian elit bangsa ini.

Fenomena gerakan menantang Ahok muncul bak cendewan tumbuh di musim hujan. Berbagai audisi politik menjaring calon penantang Asal Bukan Ahok (ABAH) hadir di pelataran politik ibukota. Tapi itu tadi, seperti sudah saya singgung di atas, hasil yang diperoleh belum cukup menjanjikan, sehingga malah parpol kembali ke habitat dan naluri dasarnya, lebih memilih kader sendiri.

***

Mungkin sudah lelah beraudisi ria, PDIP dan Partai Gerindra menjalin komunikasi untuk meretas jalan menuju rekonsialiasi. Misinya hanya satu mencari calon penantang Ahok yang sepadan melalui jalur usungan parpol.

Bertempat di kantor sekretariat DPD PDIP DKI, pertemuan itu untuk menjalin rasa itu berlangsung kemarin (26/5/16). Meski baru berupa penjajakan awal, silaturahmi menjalin rasa untuk membangun bahtera yang sempat karam, memunculkan optimisme. Kedua parpol, PDIP dan Partai Gerindra akhirnya bersepakat untuk mengusung calon sendiri melalui jalur parpol. Mereka emoh mengusung calon yang sudah memutuskan maju berlaga melalui jalur independen (sumber) dan ingin mengalahkannya. Jelas, calon yang ingin dikalahkan itu adalah Ahok.

Soal siapa yang akan diusung, dan siapa pula berhak mengajukan calon pada posisi 01 dan 02 masih perlu “silaturahmi” berikutnya. Kita tunggu saja apakah proses awal ini akan bermuara pada satu titik temu untuk mengusung pasangan calon pada Pilgub DKI 2017 dari koalisi PDIP dan Partai Gerindra. Yang pasti, bahwa gegara Ahok, telah memaksa dua parpol ini (PDIP dan partai gerindra) yang sempat “bercerai” kembali rujuk, meski mungkin itu bersifat sementara. Ahok memang beda!

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 27  Mei  2016

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun