Lepas dari semua kontroversi dan polemic terhadap berbagai kebijakannya, dan mungkin berbagai kasus yang sedang diselidiki KPK saat ini, Ahok dalam pandangan SU mempunyai kompetensi, kapasitas, akseptabilitas dalam menahkodai Jakarta. SU menilai Ahok ternyata memiliki “maqom” tersendiri di hati rakyat dan warga Jakarta. Sampai sejauh ini, meski mendapat resistensi yang tak kalah banyak dari berbagai komponen warga Jakarta, baik dari parpol maupun perseorangan, Ahok masih mendapat kepercayaan dari warga Jakarta.
Hal itu terbukti, minimal melalui pengumpulan Kartu Tanda Penduduk (KTP) warga yang akan mendukung Ahok maju menjadi Cagub pada Pilkada 2017 melalui jalur independen yang telah melampui persyaratan minimal. Karena itu, bagi SU, memang sudah sepantasnya Ahok “naik tingkat” menjadi salah satu anggota cabinet Pemerintahan Jokowi.
Kedua, perspektif promosi. Usul SU agar Ahok menjadi menteri Jokowi cukup beralasan bila melihat “prestasi dan kinerja” Ahok. Mungkin SU memandang bahwa sebagai bentuk appresiasi dan reward terhadap “keberhasilannya” membangun Jakarta (sejauh ini), maka Ahok pantas mendapat promosi “naik tingkat” menjadi menteri.
Soal posisi sebagai menteri apa, itu terserah Presiden dengan melihat rekam jejak (track record) Ahok. Dan bagi Jokowi merupakan hal yang tidak sulit untuk mencari “tempat” buat Ahok di jajaran anggota kabinetnya. Pasalnya, keduanya sudah saling tahu “kelebihan dan Kelemahan” masing-masing. Jadi di posisi manapun Ahok dipromosikan di gerbong pemerintahan, merupakan sebuah kehormatan.
Ketiga, perspektif mengurangi kegaduhan. SU pasti sangat tahu dan mengakui bahwa sejak menjabat sebagai Wagub hingga kemudian menduduki “tahta” DKI 1, Ahok terus menerus menghadirkan kontroversi (baca Kontroversi Ahok). Bukan hanya masalah gaya kepemimpinan (leadership styles), tapi juga menyangkut komunikasi politik. Di mata sebagian komponen anak bangsa, tipologi Ahok itu terlalu arogan, kasar, tidak sopan, anti-mainstream, dan masih banyak lagi nilai minus lainnya. Gaya komunikasi yang cenderung “kasar dan tidak sopan”, oleh sebagian orang dianggap sebagai bahasa toilet, tidak sesuai dengan budaya bangsa. Meski tidak sedikit pula yang menganggap bahwa dalam kondisi social politik “jahiliyyah” seperti saat ini, gaya kepemimpinan dan pola komunikasi politik Ahok itu diperlukan.
Bagi para pendukung Ahok (katakanlah begitu), dalam situasi daya magis aturan hukum dan perundangan tidak lagi cukup memberi pengaruh “rasa takut”, maka pola anti-mainstream Ahok ini dibutuhkan. Kita tidak perlu lagi berlindung di balik ungkapan-ungkapan dan komunikasi politik menggunakan gaya eufimisme. Karena pola komunikasi eufimisme hanyalah menghadirkan kamuflase, kebohongan, kepura-puraan untuk menutupi sikap kemunafikan semata. Di depan berkata A di belakang berkata B.
Sebenarnya publik juga sudah merasa gerah dengan sikap hipokrit yang sudah hampir mencapai ambang batas. Dan bagi publik, saatnya perilaku dan laku tak bertanggung jawab ini dihentikanI
Ahok hadir mencoba mendobrak pakem “kelaziman” itu dengan menggunakan gaya kepemimpinan dan pola komunikasi politik yang menantang arus. Bagi Ahok kondisi “kelaziman” itu harus segera diputus mata rantainya bila menginginkan negeri besar ini maju bersaing dengan negara-negara lain. Masyarakat tidak perlu terus menerus dininakbobokkan dan dibodohi-bodohi oleh elitnya sendiri dengan mengorbankan keminskinan mereka. Dan Ahok menjadikan etase negeri, DKI Jakarta sebagai “laboratorium” untuk melakukan eksperimen politiknya itu.
Di sinilah mungkin “pertemuan” pandangan antara SU dan Ahok. Karena itu, SU merasa perlu mengusulkan agar Presiden Jokowi berkenan menarik Ahok sebagai salah satu “hulubalangnya” di cabinet. Di satu sisi hal itu sebagai bentuk mengurangi kegaduhan atmofsir politik di DKI, dan di sisi lain hal itu sebagai bentuk “pengakuan” yang jujur dari SU terhadap prestasi dan kemampuan Ahok. Mungkin bagi SU, negeri ini membutuhkan figure seperti Ahok.
Keempat, perspektif mengurangi tekanan dalam persaingan. SU pasti sangat menyadari dan sangat mahfum bahwa Ahok merupakan salah satu “variable” krusial dalam isu pencalonan gubernur DKI Jakarta. SU pasti tidak akan menafikkan kenyataan dan menegasikan begitu saja berbagai hasil polling tentang popularitas dan elektabilitas bakal Cagub DKI. Sejauh ini, hampir semua lembaga survey masih menempatkan Ahok pada posisi teratas bakal Cagub yang memenangkan Pilkada DKI 2017 yang akan datang. Dari semua nama bakal Cagub yang sudah beredar, termasuk SU sendiri, belum dapat menandingi “kehebatan’ Ahok.
Menyadari kondisi seperti itu, SU hanya berharap pada kebaikan Jokowi. Dengan mengambil Ahok menjadi salah seorang Menteri di cabinet pemerintahannya, Jokowi sudah membuka jalan bagi SU untuk lebih percaya diri maju berlaga di Pilkada 2017. Persaingan dan tekanan sedikit berkurang, karena salah satu kandidat terkuat sudah “tereliminasi”.