Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menanti Ketua BPK, HAA, Unjuk Keberanian

16 April 2016   16:04 Diperbarui: 18 April 2016   08:35 4409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber : http://www.tribunnews.com"][/caption]Oleh : eN-Te

Skandal Panama Papers telah menyeret beberapa oarng penting dari belahan dunia lain untuk merelakan posisi empuknya yang selama ini telah dinikmati. Ketika dokumen Panama Papers itu beredar,  segera saja menelan korban. Korban pertama akibat beredarnya dokumen Panama Papers ini adalah Perdana Menteri Islandia, Sigmundur David Gunnlaugsson (sumber). 

Segera (tidak pake lama), setelah mengetahui namanya dan nama istrinya tercantum dalam daftar nama-nama yang diduga sengaja menyembunyikan hartanya agar terhindar dari kewajiban membayar pajak kepada Negara, sang Perdana Menteri (PM) pun mengundurkan diri. Sebuah contoh high politic yang diperlihatkan oleh politisi yang berasal dari negeri-negeri yang selama ini sering kita cap sebagai negeri kapir. Meski mereka menyandang “predikat” sebagai kapir, tapi mampu menampilkan moral tingkat tinggi. 

Begitu pula dengan Menteri Industri Energi dan Pariwisata Spanyol, Jose Manuel Soria. Begitu menyadari bahwa namanya diduga terlibat dalam perusahaan changkang di Panama (sumber), dengan sigap pula mengundurkan diri. 

***

Contoh dua orang “kapir” di atas adalah pejabat public yang mau mengambil tanggung jawab atas kesalahan yang dilakukannya atau orang-orang dekatnya lakukan, baik keluarga maupun kolega. Jauh sebelumnya, di negeri kapir ini, banyak kasus bila terindikasi berkaitan diri, keluarga, atau  teman mereka, dan atau dengan posisinya sebagai pejabat publik, dengan serta merta mereka meletakkan jabatannya. Mereka sangat paham dan sadar bahwa sebagai pejabat publik harus dapat memberi contoh dan teladan. Karena itu, agar nilai-nilai agung yang berkembang dalam masyarakat tidak terkontaminasi oleh ulah tak bertanggung jawab, mereka berusaha untuk berada paling depan dan yang paling pertama berusaha menjaga dan memberi contoh. Salah satu caranya, yaitu tadi, bersedia mundur dari posisi terhormatnya saat ini. Lihatlah contoh “negara kapir”, Jepang yang politisi maupun pejabatnya mampu menghadirkan high politic!

Lain di luar sana, negeri yang dipandang sebagai negeri kapir, tapi mampu menghadirkan sebuah “panorama” indah nan sejuk untuk dipandang mata. Beda halnya di sini, negeri dengan mayoritas penduduk muslim, yang sering menstigmatisasi pihak lain sebagai kapir dengan standar nilai sendiri.

Di negeri ini, yang tidak hanya bangga dengan nilai-nilai religious(itas), nilai budaya, nilai etika sebagai orang timur, tapi sangat lihai berusaha untuk mengelak dari sebuah tindakan jahat yang mengindikasikan keterlibatannya, maupun keterlibatan orang dekat, keluarga atau partner. Malah masih dengan sangat pongah dan sombong secara retoris bertanya balik, “apa yang salah dengan sebuah skandal?” 

Duh, di negeri Pancasila yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur, tapi sangat suka dengan “kebohongan”. Pura-pura menjadi kura-kura dalam perahu, berusaha dengan berbagai trik untuk menghindar dari sorotan publik. Ada-ada saja alasan yang dapat digunakan untuk sekedar mengurangi rasa malu. Padahal sebenarnya sudah hilang “kemaluannya”. 

***

Berawal dari beredarnya dokumen Panama Papers, Ketua BPK, Harry Azhar Azis (HAA) kena getahnya pula. Tak disangka dan tak diduga publik, di tengah perseteruan, tepatnya polemik LHP BPK mengenai audit investigatif terhadap pembelian lahan RS. Sumber Waras, terkuak sebuah “motif jahat” yang dilakukan Ketua BPK. Ternyata dokumen Panama Papers juga mencantumkan HAA sebagai salah seorang nasabah dari firma Mossack Fonseca yang berkedudukan di Panama. 

Maka momentum ini tak disia-siakan pula oleh Gubernur DKI, Basuki Tajahaja Purnama, alias Ahok. Dengan serta merta Ahok memanfaatkan “skandal HAA” ini sebagai  amunisi untuk menyerang balik oknum dan Ketua BPK. Reaksi Ahok ini meski “wajar”, tapi hal itu juga mengkonfirmasi hal lainnya. Ahok seperti mendapat alasan untuk melakukan “tawar-menawar” dengan BPK sehubungan dengan masalah LHP BPK terkait RS. Sumber Waras yang tengah mendapat sorotan publik. 

***

Galibnya seperti orang tersudut, Ketua BPK pun melakukan pembelaan. HAA berusaha dengan keyakinan penuh, meski dia tidak dapat menutupi rasa bersalahnya (marah ditanya wartawan), untuk membersihkan nama baiknya. 

Ketika seseorang merasa berada pada posisi terjepit, maka pasti akan menunjukkan resistensi. Idem dito, HAA pun melakukan hal yang sama. Dengan berbagai dalih, HAA berusaha berkelit. Baginya, bukan merupakan sebuah dosa bila membuka usaha di luar negeri. Padahal usaha tersebut didirikan dengan motif untuk menghindari membayar pajak. Lagi pula, meski perusahaan changkang itu dididrikan dengan alasan memenuhi permintaan anaknya, ketika HAA masih menyandang predikat sebagai pejabat publik (penyelenggara negara) sebagai anggota DPR. Begitu pula dengan saat ini, ketika dokumen Panama Papers itu terkuak, HAA pun masih menjabat sebagai Ketua BPK. 

***

Sebenarnya HAA pun tahu bahwa apa yang telah dilakukan itu merupakan sebuah pelanggaran. Pelanggaran terhadap undang-undang yang berkaitan dengan kewajiban warga negara untuk membayar pajak. Minimal pelanggaran etika sebagai pejabat publik yang dengan sengaja menyembunyikan “sesuatu” hanya untuk menghindar dari sebuah kewajiban yang harus dia tunaikan. Ya kewajiban membayar pajak kepada Negara. Tapi, rupanya karena hasrat serakah untuk menumpuk harta dan kekayaan, maka dengan sadar pula HAA melakukan tindakan tidak terpuji dengan menyembuyikan hartanya dengan membuka perusahaan changkang di luar negeri. 

Negeri di mana dibebaskan bagi mereka “penanam modal” untuk membayar pajak sebagai kewajiban warga negara. Lepas dari investasi itu berasal dari usaha yang tidak benar. Karena itu, bagi HAA bukan merupakan sebuah “dosa” bila tidak melaporkan harta kekayaan itu dalam Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) sebagai pejabat publik (pejabat negara). 

Dalam logika HAA, perusahaan changkang yang didirikannya itu, tidak perlu dimasukkan dalam laporan LHKPN, karena nilainya nol. “Apanya yang perlu dilaporkan, kalau nilainya nol (sambil memberi kode dengan tangan membentuk angka nol antara jari telunjuk dengan ibu jari)”. Bagi HAA, bukan merupakan aib bila harus “menyembunyikan” sesuatu yang padanya melekat pula kewajiban untuk negara. Logika tersebut menggambarkan sebuah cara berpikir anomali, bahwa tidak masalah menyembunyikan harta kekayaan dengan tujuan menghindari membayar pajak. 

Publik dan warga negara lainnya boleh mencap Ketua BPK cacat moral. Dalam pandangan publik, keterlibatan HAA dalam Panama Papers menunjukkan bahwa nilai kepantasan sebagai pejabat publik telah luntur dan hilang. Karena itu HAA harus malu dan harusnya bersegera mencotoh PM Islandia dan Menteri Perindustrian Spanyol untuk mundur dari Ketua BPK. 

HAA tidak perlu lagi berlindung di balik praduga tak bersalah. HAA pun tidak sendirian, ia seakan mendapat pembelaaan dari koleganya sesama kader Partai Golkar, Poempida Hidayatollah (PH). Menurut PH, kasus orang-orang yang menuntut HAA harus mundur, adalah sangat tendensius dan syarat dengan muatan politis (lihat di sini pembelaaan HAA).  Sebuah tameng yang senantiasa digunakan bagi seseorang yang diduga terlibat dalam sebuah tindakan kejahatan, apalagi tindakan pidana. HAA harusnya malu menyandang status sebagai seorang muslim, ketika muslim yang lain senantiasa dan sangat gampang mengobral predikat kapir pada pihak lain. Sementara “piaraan” sendiri dibiarkan untuk terus berbohong hanya untuk mempertahankan posisi jabatannya saat ini. 

***

Naga-naganya harapan publik terhadap HAA mau memperlihatkan keberaniannya, ibarat jauh panggang dari api. HAA seperti tidak memiliki beban moral untuk tetap mempertahankan posisinya saat ini (Ketua BPK). Boleh jadi hal itu, karena pengaruh cara berpikir salah sehingga HAA yakin apa yang dilakukan bukan merupakan sebuah kesalahan. Meski di belahan dunia lain, pasti HAA tahu dan dengar, bahwa karena skandal itu telah mengantarkan mereka harus meletakkan jabatannya. 

Atau bisa sebaliknya, HAA menganut moral hazard (moral jahat). Sebuah standar nilai yang membolehkan setiap penganutnya untuk melakukan apa saja untuk mencapai tujuannya, meski dengan jalan yang tidak benar. Menyembunyikan harta dengan tujuan menghindari membayar pajak merupakan hal yang biasa. Bagi penganut mazhab moral hazard ini, sepanjang tidak merugikan orang lain secara langsung (meski dengan tidak membayar pajak akan merugikan negara dan hajat hidup orang banyak), hal itu bukan merupakan sebuah dosa. 

Karena itu, menurut HAA dan rekannya adalah salah kaprah dan salah sasaran bila menuntutnya harus mundur dari Ketua BPK. Bagi HAA tidak ada yang salah dengan Panama Papers. Dengan nada bertanya, HAA menjawab pertanyaan wartawan ketika disinggung mengenai Panama Papers, “apa setiap orang yang ada di Panama Papers bersalah?” (sumber). 

***

Jika pejabat publik setingkat Ketua BPK saja sudah bertanya status hukumnya dalam sebuah “skandal” yang menyebutkan namanya, maka sudah tidak ada lagi harapan untuk negeri ini berubah wajah. Jangankan HAA mau mencontoh PM Islandia dan Menteri Perindustrian Spanyol, karena itu kejauhan, bagaimana dengan contoh mantan Dirjen Pajak yang mau mengundurkan diri hanya karena target penerimaan negara dari pajak tidak tercapai. Padahal target penerimaan pajak tersebut sangat tergantung pada berbagai variabel, bukan semata kesalahan Dirjen Pajak. Tapi, sebagai “orang yang bertanggung jawab” atas policy yang telah ditetapkan, Dirjen Pajak bersedia mengundurkan diri untuk menujukkan “moralnya” kepada publik. 

Bahkan Ketua BPK, HAA, seakan ingin membersihkan nama baiknya, dalam dua hari terakhir tampil di dua stasiun TV yang berbeda untuk menjelaskan silang sengkarut mengenai polemik LHP BPK tentang audit inevestigtif pembelian lahan RS. Sumber Waras. Dengan tanpa merasa terbebani, HAA dengan percaya diri terus menerus “mengkampanyekan” bahwa audit yang dilakukan sudah sesuai dengan prosedur yang benar. Karena itu, apa yang tercantum dalam laporan itu merupakan sebuah kebenaran mutlak. Padahal tidak sedikit pula yang mempertanyakan validitas laporan itu dari kemungkinan intervensi kepentingan politik dalam laporan audit tersebut. 

Mungkin HAA berharap dengan menjelaskan duduk persoalan silang sengkarut polemik kasus pembelian lahan RS. Sumber Waras tersebut, maka perhatian publik akan beralih dan tidak lagi mempersoalkan namanya yang tercantum dalam Panama Papers. Jika sudah demikian “motifnya”, maka jangan berharap HAA masih memiliki keberanian untuk mengikuti PM. Islandia dan Menteri Perindustruian Spanyol, minimal mengikuti contoh baik yang telah ditunjukkan mantan Dirjen Pajak. Quovadis HAA membawa “moralmu”? 

Wallahu a’lam bish-shawabi

Ya sudah, selamat membaca, …

Makassar, 16  April  2016

  

   

  

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun