Maka momentum ini tak disia-siakan pula oleh Gubernur DKI, Basuki Tajahaja Purnama, alias Ahok. Dengan serta merta Ahok memanfaatkan “skandal HAA” ini sebagai amunisi untuk menyerang balik oknum dan Ketua BPK. Reaksi Ahok ini meski “wajar”, tapi hal itu juga mengkonfirmasi hal lainnya. Ahok seperti mendapat alasan untuk melakukan “tawar-menawar” dengan BPK sehubungan dengan masalah LHP BPK terkait RS. Sumber Waras yang tengah mendapat sorotan publik.
***
Galibnya seperti orang tersudut, Ketua BPK pun melakukan pembelaan. HAA berusaha dengan keyakinan penuh, meski dia tidak dapat menutupi rasa bersalahnya (marah ditanya wartawan), untuk membersihkan nama baiknya.
Ketika seseorang merasa berada pada posisi terjepit, maka pasti akan menunjukkan resistensi. Idem dito, HAA pun melakukan hal yang sama. Dengan berbagai dalih, HAA berusaha berkelit. Baginya, bukan merupakan sebuah dosa bila membuka usaha di luar negeri. Padahal usaha tersebut didirikan dengan motif untuk menghindari membayar pajak. Lagi pula, meski perusahaan changkang itu dididrikan dengan alasan memenuhi permintaan anaknya, ketika HAA masih menyandang predikat sebagai pejabat publik (penyelenggara negara) sebagai anggota DPR. Begitu pula dengan saat ini, ketika dokumen Panama Papers itu terkuak, HAA pun masih menjabat sebagai Ketua BPK.
***
Sebenarnya HAA pun tahu bahwa apa yang telah dilakukan itu merupakan sebuah pelanggaran. Pelanggaran terhadap undang-undang yang berkaitan dengan kewajiban warga negara untuk membayar pajak. Minimal pelanggaran etika sebagai pejabat publik yang dengan sengaja menyembunyikan “sesuatu” hanya untuk menghindar dari sebuah kewajiban yang harus dia tunaikan. Ya kewajiban membayar pajak kepada Negara. Tapi, rupanya karena hasrat serakah untuk menumpuk harta dan kekayaan, maka dengan sadar pula HAA melakukan tindakan tidak terpuji dengan menyembuyikan hartanya dengan membuka perusahaan changkang di luar negeri.
Negeri di mana dibebaskan bagi mereka “penanam modal” untuk membayar pajak sebagai kewajiban warga negara. Lepas dari investasi itu berasal dari usaha yang tidak benar. Karena itu, bagi HAA bukan merupakan sebuah “dosa” bila tidak melaporkan harta kekayaan itu dalam Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) sebagai pejabat publik (pejabat negara).
Dalam logika HAA, perusahaan changkang yang didirikannya itu, tidak perlu dimasukkan dalam laporan LHKPN, karena nilainya nol. “Apanya yang perlu dilaporkan, kalau nilainya nol (sambil memberi kode dengan tangan membentuk angka nol antara jari telunjuk dengan ibu jari)”. Bagi HAA, bukan merupakan aib bila harus “menyembunyikan” sesuatu yang padanya melekat pula kewajiban untuk negara. Logika tersebut menggambarkan sebuah cara berpikir anomali, bahwa tidak masalah menyembunyikan harta kekayaan dengan tujuan menghindari membayar pajak.
Publik dan warga negara lainnya boleh mencap Ketua BPK cacat moral. Dalam pandangan publik, keterlibatan HAA dalam Panama Papers menunjukkan bahwa nilai kepantasan sebagai pejabat publik telah luntur dan hilang. Karena itu HAA harus malu dan harusnya bersegera mencotoh PM Islandia dan Menteri Perindustrian Spanyol untuk mundur dari Ketua BPK.
HAA tidak perlu lagi berlindung di balik praduga tak bersalah. HAA pun tidak sendirian, ia seakan mendapat pembelaaan dari koleganya sesama kader Partai Golkar, Poempida Hidayatollah (PH). Menurut PH, kasus orang-orang yang menuntut HAA harus mundur, adalah sangat tendensius dan syarat dengan muatan politis (lihat di sini pembelaaan HAA). Sebuah tameng yang senantiasa digunakan bagi seseorang yang diduga terlibat dalam sebuah tindakan kejahatan, apalagi tindakan pidana. HAA harusnya malu menyandang status sebagai seorang muslim, ketika muslim yang lain senantiasa dan sangat gampang mengobral predikat kapir pada pihak lain. Sementara “piaraan” sendiri dibiarkan untuk terus berbohong hanya untuk mempertahankan posisi jabatannya saat ini.
***