[caption caption="Sumber : http://www.kaskus.co.id"][/caption]
Oleh : eN-Te
Ambisi atau dalam ungkapan lebih netral harapan (ekspektasi) Profesor Yusril Ihza Mahendra (Prof. YIM) untuk dapat menduduki kursi DKI 1 sepertinya sudah sampai di ubun-ubun dan tidak dapat dibendung lagi. Segala cara yang mungkin, ditempuh untuk meraih impian itu.
Hak Konstitusional
Kita patut memberi apresiasi atas kegigihan seorang Prof. YIM ini. Mulai dari beranjangsana dan bersafari mendatangi tokoh masyarakat, para ulama, Ketua Partai Politik (Parpol), hingga bertemu dan berkongsi dengan para bakal calon gubernur (cagub) lainnya. Bahkan tak segan-segan “bersalin rupa” memakai kostum Mickey Mouse mendatangi pasar-pasar tradisional untuk menyambangi para pedagang demi meraih simpati.
Tak lupa, Prof. YIM, seorang guru besar dan pakar Hukum Tata Negara (HTN) juga mendaftarkan diri pada penjaringan bakal cagub pada beberapa parpol yang membuka pendaftaran, seperti Partai Gerindra dan PDIP. Juga sedikit berbunga-bunga ketika mendatangi Ketua Umum (Ketum) PPP versi Jakarta, Djan Farid, karena mendapat garansi akan didukung. Malah dengan sedikit heroik, Ketum Partai Bulan Bintang (PBB) ini juga mengajak parpol-parpol pendukung Koalisi Merah Putih (KMP) untuk bersama-sama mengeroyok Ahok, bakal cagub independen yang juga akan maju berlaga mempertahankan kekuasaannya pada periode kedua. Semua itu dilakukan demi meraih impian dan ambisi menggenggam kekuasaan di ibukota negeri.
Wajar-wajar saja setiap warga bangsa berharap dicalonkan untuk menduduki posisi tertentu, apalagi posisi prestisius seperti gubernur di suatu daerah teritorial setingkat propinsi. Apalagi Gubernur DKI Jakarta, Propinsi yang menjadi ibukota negeri. Juga hal yang patut dan dibolehkan bila seorang warga negara merasa “mampu” sehingga harus “menjajakan” diri ke mana-mana agar dipinang menjadi bakal cagub.
Setiap orang menurut konstitusi memiliki hak yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Sehingga setiap warga bangsa berhak memiliki impian, bahkan ambisi agar dapat dipilih dan dipercaya menduduki posisi tertentu melalui sebuah proses demokrasi di negeri besar, bernama Indonesia Raya ini. Tak terkecuali Prof. YIM.
Tak Patah Arang
Sejak genderang perang Pilgub DKI ditabuh, nuansa persaingan mulai terasa antarbakal cagub. Persaingan sangat seru dan sengit karena hampir semua bakal cagub memiliki platform yang sama. Apa itu platform mereka? Ternyata masing-masing bakal cagub seirma, seiya sekata ingin “menggebuk” Ahok, sebagai petahana. Mereka kemudian mengidentifikasikan dirinya sebagai asal bukan Ahok (ABA).
Konsentrasi mereka malah kepada diri Ahok secara personal dibandingkan menawarkan program melalui platform yang realistik dan mampu mengakomodasi kepentingan publik. Boro-boro menawarkan platform yang “membumi”, malah senantiasa membuat blunder, baik dari dirinya sendiri mauun dari orang-orang dekatnya. Seperti misal tweet rasial a la adiknya, Dubes Jepang, Yusron Ihza Mahendra.
Prof. YIM meski menyadari bahwa parpol yang dipimpinnya keok pada pemilu legislatif yang lalu, sehingga nyaris punah, ia tak patah arang untuk terus “mengiklankan” diri. Segala cara dan channel yang bisa menyalurkan hasrat politiknya untuk berkuasa ia tempuh. Termasuk juga tiba-tiba harus hadir di tengah-tengah warga Luar Batang yang terdampak gusur untuk bersedia menjadi penasehat hukum (PH). Padahal sebelum-sebelumnya tak pernah terdengar kiprah Prof. YIM di kalangan masyarakat akar rumput (grass root).
Lebih banyak adalah kiprah Prof. YIM yang cenderung berada di menara gading “melayani” orang-orang yang terjerat kasus korupsi. Siap membela orang-orang bermasalah dalam tindak pidana korupsi (tipikor) demi nilai finansial tertentu. Motif yang kemudian menjadi bahan "ejekan" dan memberikan justifikasi bahwa apalagi tujuannya kalau bukan fulus yang menggiurkan. Tentu saja mereka yang dibelanya ini mempunyai uang segepok dari hasil menjarah kekayaan negara.
Sejauh ini, belum ada hal-hal yang substantif yang dapat Prof. YIM bentangkan di hadapan publik warga ibukota agar dapat tertarik memilihnya. Jangankan akan tertarik memilihnya, hanya sebatas memberikan rasa simpati pun ibarat jauh panggang dari api.
Masalahnya Prof. YIM terlalu memusatkan perhatiannya pada bagaimana “menyerang” Ahok secara personal an sich. Publik ibukota pun menjadi ragu dan bertanya-tanya. Jika Prof. YIM merasa lebih baik, lebih oke, dan lebih super daripada Ahok, pertanyaannya yang sering diajukan netizen ketika mengomentari setiap pemberitaan mengenai Prof. YIM, “terus apa tawaran dan program Prof. YIM untuk Jakarta yang lebih baik?”
Jangan-jangan Prof. YIM hanya mencoba memanipulasi dan mengeksploitasi sentimen negatif sebagian suara publik terhadap Ahok untuk menutupi “kelemahannya” yang tidak dapat menawarkan sesuatu yang menggiurkan untuk Jakarta?
Sejauh yang dapat terpantau dari berbagai komentar netizen, publik mengharapkan adu program (platform) bukan adu keunggulan berdasarkan sentimen primordial, ya suku, ya agama, ya etnis. Tapi mampu melempar isu produktif untuk memberikan pencerahan, bukan menjatuhkan lawan dengan cara-cara yang dianggap primitif. Menyerang calon lawan dengan isu-isu murahan yang oleh sebagian warga ibukota dianggap kadaluarsa (expiry).
Modal Awal
Meski demikian kondisinya, hal itu bukan berarti Prof. YIM hadir tanpa modal. Pertama, sebagai modal awalnya, dan ini menjadi lelucon bagi netizen adalah ia sebagai Ketum parpol. Yakni Ketum PBB.
Sayangnya dalam posisinya sebagai Ketum PBB, Prof. YIM tidak dapat mengantarkan partainya meraih satu kursi pun di DPR pada pileg 2014 lalu. Jangankan di DPR, di tingkat DPRD DKI Jakarta saja juga nol besar. Karena itu, publik bertanya keheranan sambil tertawa ngakak, bagaimana mungkin seorang Prof. YIM dengan percaya diri (pede) “menjajakan” dirinya ke sana kemari ke parpol-parpol besar peraih suara di DPRD DKI agar dapat diakomodir dan dipilih menjadi cagub yang akan diusung menantang Ahok?
Kedua, modal berikutnya dari Prof. YIM adalah mantan Menteri pada tiga Presiden yang berbeda. Mulai dari rezim Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati, hingga pada era SBY. Karena modal sebagai mantan Menteri ini maka Prof. YIM dengan sangat jumawa mengatakan bahwa seharusnya warga ibukota bersyukur dan berterima kasih kepadanya karena sudah mau turun derajat dari sebelumnya menjadi menteri mau menjadi cagub. Baginya dia memiliki kapasitas nasional tapi bersedia mengurusi permasalahan daerah. Bahkan lebih jauh dengan sinis mengatakan bahwa ada tokoh yang hanya memiliki kapasitas walikota tapi mau mengurus negara, ya kacau jadinya (sumber).
Ketiga, modal Prof. YIM adalah ia merupakan seorang ahli HTN. Karena pakar dan menguasai HTN, maka baginya hanya untuk mengurusi permasalahan daerah setingkat propinsi itu gampang. Karena mengurus masalah nasional lebih kompleks dibandingkan dengan persoalan tetek bengek mengenai pembagunan suatu daerah (propinsi).
Meskipun secara faktual Prof. YIM ketika menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM di era SBY pernah di-reshuffle. Memang bukan hal yang tabu antara pergantian sebagai Menteri Hukum dan HAM dengan kemampuannya sebagai pakar HTN. Tetapi hal itu dapat menggambarkan sebuah indikasi bahwa Prof. YIM pernah “gagal” memimpin kementerian, meski ia menganggap dirinya memiliki kapasitas nasional.
Keempat, Prof. YIM di samping sebagai Ketum PBB, sebuah parpol berbasis nilai-nilai Islam, ia juga merupakan calon pemimpin muslim. Sebagai muslim, Prof. YIM “lebih layak” memimpin Jakarta dengan mayoritas penduduk muslim. Karena bagi masyarakat muslim konservatif seorang pemimpin muslim adalah lebih baik dibandingkan seorang pemimpin nonmuslim, yang identik dengan kafir. Bagi mereka, kaum muslim konservatif, yang sangat “kaku” pada nash-nash tekstual, memilih pemimpin di luar golongannya adalah haram. Meski pemimpin “kafir” itu memiliki keunggulan-keunggulan dalam hal keadilan dan mensejahterakan rakyat.
Fase Pembangunan
Beberapa modal “keunggulan” yang menggambarkan bahwa Prof. YIM memiliki kapsitas nasional. Prof. YIM juga boleh-boleh saja mengklaim diri sebagai yang terbaik (the best). Tapi sejauh yang dapat terpantau belum terlihat nyata. Setidak-tidaknya dalam hal program (platform) yang akan dia jual dalam kampanye Pilgub DKI 2017 nanti.
Hal itu tidak berarti Prof. YIM, sebagai seorang akademisi kering akan program terobosan untuk memperbaiki Jakarta. Meski hal itu belum diuraikan secara gamblang.
Tapi secara umum, Prof. YIM pernah menyampaikan bahwa bila kelak ia yang memimpin Jakarta, maka ada tiga program yang akan dilaksanakan untuk membangun Jakarta menjadi ibukota negara yang representatif. Prof. YIM membagi program pembangunan Jakarta menjadi tiga fase, yakni jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
Sejauh ini baru program pembangunan jangka pendek yang ia “bocorkan” ke publik. Menurut Prof. YIM, “dia ingin memperbaiki hubungan antara pihak eksekutif dan legislatif, sehingga dapat meningkatkan penyerapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta” (sumber). Sedangkan untuk dua program pembangunan (Jakarta) lainnya, masih di awang-awang.
Entahlah, model seperti apa program pembangunan pada dua fase berikutnya setelah pembangunan jangka pendek. Mungkin Prof. YIM berharap, untuk urusan konsep pembangunan jangka menengah dan panjang, nanti disusun setelah menggenggam kekuasaan di tangan. Baginya, akan lebih mudah mengerjakan secara keroyokan kedua progaram itu bila bersama DPRD setelah terpilih menjadi Gubernur.
Jangan Sampai Hanya Ilusi
Jika sudah demikian, publik pun kembali diperhadapkan pada sebuah kondisi untuk memilih kucing dalam karung. Seperti apa kucing dalam karung itu, tidak menjadi soal. Apakah berwarna putih, abu-abu, merah, kuning, emas, atau hitam sekalipun, yang penting ada kucing?
Padahal pada era sekarang di mana masyarakat semakin cerdas memilih, hendaknya apa yang mau dijajakan harus diperlihatkan secara terbuka di atas meja. Publik kemudian melihat dan menilai, setelah itu memilih mana yang terbaik dari semua pilihan yang ada.
Seorang calon pemimpin juga harus tahu selera publik. Jika ia sudah mampu menangkap berdasarkan penerawangannya, sehingga mampu menyelami perasaan terdalam publik, maka seharusnya ia juga tahu apa yang harus dia “jual”. Tidak seperti sekarang, hanya mampu melempar isu dan mimpi, itu pun hanya berdasarkan ilusi semata.
Ilusi itu sebenarnya bersifat menipu. Menurut KBBI (2008, h. 576) ilusi berarti pengamatan yang tidak sesuai dengan penginderaan. Karena tidak sesuai dengan penginderaan maka kadang apa yang dilihat itu tidak mencerminkan kenyataan (fakta) yang sesungguhnya. Di mana rangsangan yang diterima oleh panca indera dan di persepsi secara salah oleh panca indera kemudian ditafsirkan secara salah (sumber).
Kalau orang sudah mengandalkan ilusi maka ia cenderung “dihantui” oleh bayang-bayang khayalan. Ia merasa mampu, padahal sesungguhnya secara faktual itu jauh dari harapan. Hanya mengandalkan modal nama besar semata, apalagi Ketum parpol yang gagal, jangan-jangan hal itu mengantarkan pada sebuah kondisi ilusif menggantang asap. Melakukan perbuatan sambil berharap-harap cemas, karena ia sudah tahu apa yang dilakukan itu sia-sia. Mungkinkah Prof. YIM berada pada kondisi menggantang asap itu?
Wallahu a’lam bish-shawabi
Ya sudah, selamat membaca, …
Makassar, 11 April 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H