***
Meski telah disentil secara tidak langsung oleh Presiden, SBY seperti merasa tidak sedang disindir. Maka seperti kebiasaannya yang tidak mau “diam” tetap saja nyinyir, seolah-olah SBY merasa tidak terpengaruh, malah kembali menegaskan posisinya sedang mengalami PPS. Dengan bahasa yang meyakinkan SBY kembali mengelak dengan mengatakan bahwa susah kalau pemimpin tidak mau dan alergi terhadap kritikan.
Pertanyaannya adalah benarkah rezim Jokowi sangat alergi dengan kritikan? Rasa-rasanya tidak. Jangankan kritikan, Jokowi bahkan sangat welcome terhadap semua masukan yang bernilai positif untuk pembangunan bangsa besar ini. Bahkan Jokowi tidak mempersoalkan semua kritikan yang ngawur tanpa didukung fakta-fakta factual, bahkan cenderung fitnah. Belum lagi disertai dengan meme-meme yang kurang senonoh, menjijikkan. Toh, Jokowi tetap bergeming untuk memproses mereka ke ranah hukum. Lebih jauh malah memaafkan.
Bandingkan dengan SBY. Ketika masih berkuasa sangat sering curhat, terkesan cengeng, mengeluh, minta diperhatikan. Pernah pula memperlihatkan foto-foto yang katanya sedang menjadi sasaran ingin ditembak. Tapi ternyata kemudian foto-foto itu hanyalah aspal (asli tapi palsu). Kan jadinya tidak lucu.
***
Nah, hari ini media massa, baik TV maupun media online, memperlihatkan SBY menunjukkan kebiasaannya “berceloteh”. Seiring dengan isu perombakan kabinet, SBY pun tak mau ketinggalan kereta menyentil Presiden.
Berbicara di depan kader partai Demokrat, SBY menceritakan pengalamannya ketika menjabat sebagai Menteri di Era Gus Dur menyikapi kegaduhan kabinet. Dengan bangga SBY mengatakan bahwa ketika itu dia lebih memilih mengundurkan diri karena tidak setuju dengan kebijakan Gus Dur. Baginya lebih baik mundur daripada mengikuti kemauan Presiden yang bertentangan dengan konstitusi. Sebuah sikap yang gentleman. Sayangnya sikap gentleman itu tidak diterapkan secara menyeluruh dalam semua hal. Sejarah kemudian membuktikan bahwa karena sikap “gentelnya” itu, telah memberikan kontribusi dalam ketidakharmonisan hubungannya dengan Presiden pengganti Gus Dur, yakni Megawati. Mungkin presiden Megawati, merasa SBY, telah menelikung terhadapnya, sehingga sampai sekarang tidak dapat dimaafkan.
***
Menyikapi isu perombakan anggota kabinet, SBY kembali menukilkan rumus politiknya. Menurut SBY bahwa untuk mencegah kegaduhan anggota kabinet, maka Presiden perlu hati-hati kalau merombak dan menunjuk anggota kabinet. Syaratnya adalah orang yang tepat pada posisi yang tepat (the right man on the right place).
Sebenarnya rumus politik tersebut sudah merupakan pengetahuan umum (sesuatu yang common sense). Semua pasti tahu. Pertanyaannya adalah apakah pada era rezim SBY, ia telah melakukan seleksi dan menempatkan anggota kabinatnya sesuai dengan rumus politik itu?
Soalnya seperti kita ketahui, justru pada era pemerintahannya, beberapa anggota kabinetnya malah digelandang KPK dan kemudian harus mendekam di penjara. Bukan hanya anggota kabinetnya, tapi juga beberapa kader Partai Demokrat di bawah kepemimpinannya, dicokol KPK.