Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Di Manakah Tempat yang Pantas Melantik Pejabat?

31 Maret 2016   16:48 Diperbarui: 1 April 2016   13:51 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Latar TPA yang Menjadi Pusat Pelantikan Para Kepsek se Kota Makassar (gambar: suara.com)"][/caption]Oleh : eN-Te

Pagi ini saya membuka laman facebook dan menemukan sebuah status, sehingga menginspirasi saya membuat tulisan ini. Dalam salah satu laman facebook (fb) itu, seseorang facebooker dengan nada “marah” mempersoalkan prosesi pelantikan Kepala Sekolah (Kepsek) di tempat yang menurutnya sangat tidak pantas. Ia menulis, “Pelantikan 435 Kepsek di Tempat Sampah ”Pelecehan” Untuk Sang Guru di Makassar". Meski menulis pelecehan diapit tanda petik, hal itu tidak dapat menutup ketidaksetujuannya terhadap pemilihan tempat pelantikan itu. Baginya, pemilihan tempat untuk suatu acara, apalagi proses pelantikan seseorang untuk sebuah jabatan pada profesi tertentu, merepresentasikan bentuk penghargaan terhadap sebuah profesi.

[caption caption="Status Fb "]

[/caption]

***

Prosesi pelantikan Kepsek sebagaimana status fb di atas berlangsung kemarin, Rabu (30/03/2016). Walikota Makassar Mohammad Ramdhan Pomanto, yang akrab dipanggil Dany Pomanto, yang langsung melantik Kepsek se Kota Makassar sebanyak 435 orang mulai dari jenjang SD sampai SMA/SMK.

Yang unik dari prosesi pelantikan itu adalah pemilihan tempat. Rupanya, pemilihan tempat prosesi pelantikan Kepsek oleh Walikota Makassar inilah, menurut sang penulis status fb di atas sebagai bentuk pelecehan terhadap profesi guru.

Terus di manakah sebenarnya tempat pelantikan yang dimaksud? Dari gambar di atas terlihat jelas latar belakang tempat pelantikan Kepsek tersebut. Ya, tempat pembuangan akhir (TPA) sampah di Kelurahan Tamangapa Antang Makassar. Karena itu, sehingga penulis fb di atas mempersepsikan, bahkan menafsirkan sebagai sesuatu yang disengaja oleh pimpinan daerah, dalam hal ini Walikota Makassar untuk merendahkan profesi guru.

***

Benarkah pemilihan tempat pelantikan mencerminkan atau merepresentasikan penghargaan pada sebuah profesi? Apalagi profesi itu adalah profesi guru. Seseorang yang dari tangan dan karyanya sehingga dapat melahirkan generasi anak negeri yang nanti mampu membangun kebesaran nama bangsa.

Secara sepintas, persepsi dan juga tafsiran penulis status di atas ada benarnya. Karena kita selama ini dibesarkan dengan mind set bahwa pelantikan seorang pejabat seharusnya berlangsung di gedung-gedung mewah, ruangan yang luks, ber-AC, sejuk, dingin, bersih, nyaman, dan asri resik. Biasanya pelantikan pejabat berlangsung di ruang tertutup, in door, di hotel berbintang, dan tempat-tempat yang sangat representatif menggambarkan status jabatan itu. Sehingga ketika sebuah prosesi pelantikan dilakukan di tempat yang tidak semestinya, seperti TPA, maka kita seakan ta’bangka(ki) (Bahasa Makassar,  artinya terkejut, kaget, dan terperangah). Seperti halnya penulis status fb di atas.

Sayangnya, sang penulis status fb itu hanya melihat “pelecehan” yang dimaksud hanya dari satu sudut pandang, yakni dari segi tempat semata. Penulis seakan tidak mau tahu pesan yang ingin disampaikan Walikota dengan mengambil latar tempat pelantikan di TPA. Mungkinkah ada maksud dan makna filosofis yang ingin disampaikan dan dititipkan Walikota dengan mengambil latar TPA sebagai tempat pelantikan?

***

Adakah makna filosofis yang ingin dititipkan sang Walikota kepada para Kepsek yang nantinya akan memimpin sebuah institusi pendidikan? Lembaga di mana awal mula penanaman nilai-nilai karakter yang baik dan mulia kepada anak-anak generasi bangsa. Mari kita lihat!

Beragam tanggapan dan penilaian dari pembaca terhadap postingan status fb itu. Berikut saya ingin mengutip beberapa di antaranya. Pada saat saya membuka dan melihat status fb, sudah ada sebanyak 42 tanggapan atau komentar dan satu kali dibagikan setelah status itu diposting. Pesan moral dan makna filosofis atas pemilihan TPA sebagai tempat pelantikan Kepsek oleh Walikota Makassar dapat terlihat melalui beragam tanggapan dan komentar pembaca itu. Berikut saya akan kutip beberapa komentar tersebut.

***

Ada yang menilai proses pelantikan dengan mengambil latar TPA sebagai sesuatu yang tidak layak. Ini antara lain diwakili oleh penulis status fb itu sendiri. Ada yang menganggap sebagai sebuah sensasi untuk upaya pencitraan, mencari simpati publik yang menurut sang penanggap sebagai sebuah seremoni yang tidak populis. Ada pula yang dengan nada sinisme bertanya, “agar mereka menghargai kebersihan?” Disambung lagi oleh yang lain, “bahan tertawaan, pendidik dilantik di tempat pembuangan sampah, apa hubungannya? Terus dinas kebersihan, lurah, camat, apa fungsinya?

Tapi ada satu penanggap yang cukup menarik. Ia langsung menangkap makna filosofis dari pemilihan tempat itu. Menurutnya,  “seorang guru adalah orang yang sudah cerdas dalam menelaah makna filosofis yang terkandung di balik resepsi pelantikan. Lebih lanjut ia menyebutkan bahwa pemilihan tempat TPA untuk acara pelantikan sebagai tolak ukur agar Kepsek mengutamakan kebersihan di lingkungan sekolah.

[caption caption="Komentar fb"]

[/caption]Ada pula yang melihat prosesi pelantikan dengan mengambil later TPA sampah dengan menghubungkan persoalan pola interaksi Kepsek dengan masyarakat stakeholder pendidikan, khususnya dengan orangtua siswa. Bagi sang komentator ini, bahwa tidak jarang seorang Kepsek setelah dilantik dan memangku jabatan sebagai pimpinan di salah satu satuan pendidikan, bersikap arogan. Karena arogansi kekuasaan itulah yang kemudian membuat seorang yang sedang memangku jabatan sebagai Kepsek berlaku tidak adil. Bersikap diskrimanatif dalam memberikan layanan terhadap wali siswa.

Menurutnya, bahwa “tak sedikit oknum Kepala Sekolah setelah dilantik jadi arogan, baik terhadap staf guru(-guru), terlebih pada masyarakat bawah. Apalagi kalau sekolah favorit”. Ditambahkan pula bahwa ia sendiri sering menyaksikan itu, bahkan mungkin pula pernah merasakan perlakuan diskriminatif itu.

[caption caption="Komentar fb"]

[/caption]

 

***

Dari beberapa tanggapan yang saya kutip di atas menggambarkan beragam tafsir terhadap layak tidaknya prosesi pelantikan sebuah jabatan publik atas alasan pemilihan tempat. Beragam tanggapan tersebut mencerminkan sudut pandang masing-masing pihak dalam menilai sebuah objek atau peristiwa.

Ada yang melihat semata-mata atas kelayakan sebuah tempat sehingga berpengaruh terhadap imeg seseorang apakah masih memiliki “harga diri” atau tidak. Dalam pandangan si penulis status fb, bahwa pemilihan tempat mencerminkan “watak” seseorang dalam menghargai sebuah profesi. Karena Walikota Dany Pomanto melantik Kepsek di TPA sampah, maka hal itu menunjukkan bahwa sang Walikota kurang menghargai profesi guru, apalagi mereka yang dilantik. Itu berarti bahwa Dany Pomanto telah melakukan “pelecehan” terhadp profesi guru. Jika demikian nalarnya, dapatkah disimpulkan bahwa orang yang merasa senang-senang saja, tidak mempersoalkan pemilihan tempat untuk acara pelantikannya, meski itu pada sebuah TPA sampah, tidak memiliki “harga diri”? Benarkah demikian?

***

Prosesi pelantikan pejabat publik dengan pemilihan tempat yang radah “aneh” tidak hanya baru kali ini terjadi seperti pelantikan Kepsek di Kota Makassar itu. Sebelumnya Walikota Makassar juga pernah melantik pejabat dengan mengambil setting di sebuah pelabuhan bongkar muat. Tapi, pada waktu itu tidak kedengaran nada-nada sumbang yang menyatakan ketidaksetujuan terhadap pemilihan tempat pelabuhan itu.

Saya juga tidak tahu mengapa pelantikan Kepsek dengan latar TPA mejadi hal yang perlu diributkan. Mungkinkah TPA identik dengan tempat pembuangan kotoran, sehingga orang-orang yang ditunjuk untuk menggawangi sebuah institusi apalagi institusi bernama pendidikan dianggap sebagai hal yang tabuh? Apakah mereka berpikir bahwa pejabat yang dilantik di tempat yang tidak semestinya juga kemudian secara otomatis dianggap sebagai  bagian dari sesuatu yang harus “dibuang”? Tidakkah kita harus melihat sisi lebih dalam dari pemilihan tempat itu?

***

Bukankah tempat hanya sebagai sarana  atau media untuk membantu agar pelaksanaan sebuah kegiatan dapat berlangsung? Tidakkah kita mencoba lebih jauh meneropong makna filosofis yang dapat tarik untuk menjadi simbol menanamkan spririt perubahan mindset agar lebih menghargai kebersihan? Bukankah ada jargon yang menyebutkan bahwa kebersihan adalah pangkal kesehatan? Bukankah agama juga menganjurkan untuk senantiasa menjaga kebersihan, karena kebersihan dalam perspektif agama disebut sebagai bagian dari iman?

Karena itu, bagi saya pemilihan tempat untuk sebuah cara seremonial seperti pelantikan pejabat, tidak harus ditafsirkan terlalu sederhana dan hitam putih. Harusnya kita mencoba lebih jauh menelaah makna atau pesan tersirat yang ingin disampaikan melalui pemilihan tempat itu. Bahwa tempat yang kotor tidak otomatis identik dengan maksud dari sebuah kegiatan. Bahwa tempat yang menurut sebagian orang tidak layak, tidak otomatis sebagai sebuah kesengajaan untuk melecehkan sebuah profesi.

***

Pada ranah politik, sudah sering kita saksikan seorang Bupati, Walikota, atau mungkin Gubernur yang terpilih melalui proses demokrasi, pemilihan kepala daerah (Pilkada) dengan terpaksa harus di lantik dalam jeruji besi (penjara). Apakah pemilihan tempat di dalam penjara juga mencerminkan bahwa orang yang dilantik tersebut tidak memiliki “harga diri”? Mungkin ya bagi orang yang sedang menjalani hukuman pidana karena kasus korupsi, misalnya. Tapi, dalam realitas, malah kita melihat mereka yang dilantik di dalam jeruji besi itu tetap merasa bangga meski sedang terjerat kasus. Bagi mereka yang penting masih tetap dipercaya “rakyatnya” untuk memimpin sebuah daerah teritorial tertentu, lepas dari proses mendapatkan kepercayaan itu dengan cara yang benar-benar demokratis atau tidak.

Memang agak sedikit dipaksakan bila membandingkan seorang Buapti/Walikota yang dilantik di dalam penjara dengan mereka yang dilantik sebagai Kepsek di TPA sampah. Tapi setidak-tidaknya dapat dipahami bahwa merupakan hal yang tidak perlu dipersoalkan, apalagi harus mengkaitkan dengan pelecehan profesi, bila hanya karena pemilihan tempat pelantikan yang kurang representatif.

Adalah wajar bila Bupati/Walikota yang terjerat kasus kemudian terpilih lagi dan dilantik di dalam penjara. Karena memang penjara adalah tempat yang cocok dan pas untuk mereka yang telah dengan sengaja mekakukan perbuatan yang tidak amanah. Bisa jadi, ada pesan yang tersembunyi yang ingin disampaikan kepada pejabat yang bersangkutan yang sedang dilantik di dalam penjara itu. Yakni agar sang pejabat menjaga “perilakunya”, lebih amanah dan tidak menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri dan keluarga, serta melupakan kewajibannya untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyatnya. Jika ia melupakan hal itu, maka tempat yang paling cocok untuknya adalah di balik jeruji besi yang pengap, bukan di dalam ruangan luks yang ber-AC.

Meski merupakan hal yang tidak lazim bila harus melantik Kepsek yang akan memimpin sebuah institusi pendidikan harus mengambil tempat di TPA. Tapi itu tidaklah berati bahwa pemilihan TPA sebagai tempat pelantikan sebagai sebuah pelecehan profesi guru. Ini ganya masalah mind set, pola pikir yang sudah terbiasa melihat sebuah prosesi pelantikan, apalagi sebuah jabatan prestisius di sebuah runagn yang mewah dan representatif. Dan saya merasa para Kepsek yang dilantik tidak merasa sedang dileceh harga dirinya.

***

Adakah pula kaitan pemilihan tempat pelantikan dengan perasaan dilecehkan? Mungkinkah tempat pelantikan juga mencerminkan perasaan harga diri (self esteem)? Term pelecehan berkaitan dengan perasaan tidak dihargai. Seseorang yang merasa dilecehkan menganggap harga diri (self esteem)-nya tercabik. terus apa itu harga diri?

Harga diri (self esteem) adalah penilaian individu terhadap kehormatan diri, melalui sikap terhadap dirinya sendiri yang sifatnya implisit dan tidak diverbalisasikan dan menggambarkan sejauh mana individu tersebut menilai dirinya sebagai orang yang mememiliki kemampuan, keberartian, berharga, dan kompeten (sumber).

Merujuk pada pengertian di atas, maka kita dapat menarik benang merah untuk melihat apakah pemilihan tempat TPA sampah untuk melantik Kepsek merupakan sebuah tindakan sengaja melecehkan profesi guru? Apakah mereka yang dilantik sebagai Kepsek di TPA itu merasa harga dirinya dilecehkan?

Mari kita lihat! Semua Kepsek yang dilantik kemarin merupakan hasil dari proses penjaringan Kepsek melalu lelang jabatan. Dan mereka semua tidak lolos begitu saja, tapi melalui tahapan-tahapan seleksi yang sangat ketat. Mulai dari seleksi berkas sampai pada tahap terhakir diperiksa kesehatannya secara menyeluruh, termasuk harus bebas dari kemungkinan mengkonsumsi narkoba. Dengan demikian, saya percaya dan yakin bahwa para Kepsek yang lolos dan kemudian dilantik kemarin, meski menurut sebagian orang pada tempat yang tidak semestinya, sudah memenuhi syarat mememiliki kemampuan, keberartian, berharga, dan kompeten. Itu berarti hampir semua Kepsek yang lolos dan dilantik kemarin tidak mempermasalahkan tempat pelantikan sebagai sesuatu yang menggangu harga dirinya. Apalagi harus merasa dilecehkan profesi (guru).

Karena itu patut pula kita menelusuri alasan Walikota Dany Pomanto memilih TPA sebagai latar pelantikan. Bukan tanpa alasan Walikota mempunyai ide memilih TPA sebagai tempat pelantikan Kepsek. Menurut Walikota, bahwa "sengaja memilih TPA karena ingin memperlihatkan kepada para calon kepsek bagaimana caranya mengelola suatu organisasi dengan baik. Kalau mereka salah mendidik anak-anak sekolah bisa jadi pengangguran dan menjadi sampah masyarakat, begitulah gambarannya," (sumber).

Dengan begitu dapatlah dikatakan bahwa sebenarnya makna yang ingin disampaikan dengan pemilihan TPA sebagai tempat pelantikan adalah agar para Kepsek dapat mendidik anak-anak siswanya untuk berperilaku hidup bersih. Bukankah penanaman nilai-nilai yang baik untuk membina dan membangun karakter mulia siswa, seperti bersikap hidup bersih berawal dari pranata keluarga dan sekolah? Karena itu, pemilihan tempat pelantikan di TPA mengandung pesan agar para Kepsek dapat memulai memperhatikan budaya bersih sejak dini usia dari sekolah. Jika seseorang sejak dini usia sudah berperilaku hidup bersih maka hal itu akan menjadi budaya yang melekat dan akan menjadi panduan dalam berinteraksi dengan masyarakat di lingkungannya. Dengan begitu akan tumbuh budaya hidup bersih yang dapat menjadi contoh bagi lingkungan sosial di sekitarnya. Dengan demikian, menurut salah seoran penanggap status fb di atas, bahwa masalah lokasi pelantikan janganlah menjadi bahan perdebatan, tapi melihat makna yang terkandung dari "simbol" pemilihan lokasi pelantikan itu.

[caption caption="Komentar fb"]

[/caption] 

***

Jadi, pemilihan tempat untuk melaksanakan sebuah prosesi pelantikan tidak otomatis mencerminkan atau merepresentasikan bahwa mereka yang akan dilantik akan berperilaku sama dengan tempat itu. Tapi ada hal-hal substantif yang terkandung di dalamnya yang ingin disampaikan, meski itu hanya bersifat simbol(is). Tinggal bagamiana memaknai simbol itu sebagai sesuatu yang dapat menjadi titik awal untuk bergerak. Spirit dari pemilihan tempat itu yang harus dilihat dan dimaknai, bukan secara serta merta mengkaitkannya dengan perasaan harga diri, apalagi harus merasa dilecehkan. Kita mungkin sudah saatnya coba bergerak keluar dari mind set kebiasaan, tapi berpikir sedikit out of the box. Dengan begitu kita dapat berdamai dengan situasi yang ada di luar kita, meski itu bukan merupakan sebuah kelaziman.

 

Wallahu a’lam bish-shawabi

Ya sudah, selamat membaca, …

Makassar, 31  Maret  2016    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun