Di lain kesempatan, YIM mencoba bersalin rupa, mendatangi pasar dengan mengenakan kostum Mickey Mouse (sumber), bersua dengan para pedagang dan memborong dagangan mereka. Tidak ada yang salah dengan semuanya itu, mau berpakaian ala apa saja, tapi kok ada yang lucu. Publik merasa ada nalar yang ditabrak, ketika tiba-tiba bersalin rupa, padahal selama ini dikenal sebagai orang yang paling parlente. Aya aya wae, ...
[caption caption=""Mickey Mouse" masuk Pasar"]
Lain lagi dengan AD, tak bosan-bosan mencoba meningkatkan elektabilitasnya dengan cara menyerang lawan tanding. Sasaran paling empuk menjadi objek kemarahannya adalah Ahok. Sehingga tak dibiarkannya kesempatan terlewatkan begitu saja untuk terus menerus mengungkapkan “sisi negatif” calon incumbent. Dari Ahok si kapir yang tidak pantas pimpin Jakarta yang mayoritas berpenduduk muslim, Ahok yang beretnis China (kapir), konglomerat yang beking Ahok, sampai pada harus memberi cap penjilat bagi partai Islam yang mendukung Ahok. Bukan hanya masalah kebencian semua pernyataan AD tersebut, tapi harus pula dilihat dari sisi psikologi bahwa itu juga merupakan kompensasi untuk menutup kekurangannya, dan sekaligus pada saat yang bersamaan mengharapkan simpati dan dukungan dari warga ibukota. Ya sah-sah saja kalau punya keinginan dan ambisi, sepanjang hal itu dilakukan dengan cara-cara yang elok akan lebih bermartabat.
Begitu pula dengan ALL. Sejak kasus dana “siluman” diungkap Ahok dalam APBD DKI 2015,LL seperti kebakaran jenggot. ALL pun memendam rasa, mulai ancang-ancang untuk dapat “menyalip” Ahok pada tikungan memperebutkan DKI 1. Ia terus menerus menggalang kekuatan, baik di DPRD maupun kekuatan massa (Islam) untuk mau melawan Ahok. Maka berbekal sebagai Ketua DPW PPP DKI, ia mendeklarasikan diri dan mulai merintis jalan menuju DKI 1.
ALL pun menyadari bahwa memang tidak mudah menuju DKI 1. Untuk memenangkan kursi DKI 1, perlu terlebih dahulu merebut hati warga. Maka ALL pun menyusun road show. Sambil road show, ALL juga menyiapkan amunisi untuk menyerang lawan. Kembali calon incumbent menjadi sasaran tembak. Kasus RS. Sumber Waras adalah senjata kampanye yang paling ampuh untuk menjatuhkan pamor Ahok. Pada saat yang bersamaan, ALL berharap dapat mereguk dukungan dan simpati. Maka publik pun maklum, di mana-mana di setiap kesempatan, ALL selalu menyebut-nyebut Ahok terlibat dalam kasus itu. Meski di lain sisi KPK sejauh ini menyatakan belum ada bukti yang dapat menjerat Ahok dalam kasus pembelian lahan RS. Sumber Waras.
Basuki Tjahaya Purnama (Ahok)
Tidak lengkap rasanya bila dalam artikel tentang rupa-rupa menarik simpati balon DKI 1 tanpa menyertakan Ahok. Meski telah memiliki “modal awal” yang sangat cukup sebagai incumbent, bukan berarti Ahok hanya ongkang-ongkang kaki menatap ajang kontestasi DKI 1 pada 2017 yang akan datang. Bahkan sudah sejak awal sejak dilantik menjadi Wakil Gubernur (Wagub) DKI mendampingi Jokowi hingga kemudian seperti mendapat durian runtuh, diangkat menjadi Gubernur DKI, Ahok tak henti-henti membuat “sensasi”.
[caption caption="Ahok Marah kepada Bawahannya"]
Saya berpikir bahwa tipikal “tempramental” Ahok yang selama ini memerintah bukan merupakan sesuatu yang tidak disengaja, tanpa motif. Saya malah berpikir, bahwa “sensasi” ala Ahok selama ini, by design. Untuk apa? Ya, untuk menciptakan kesan seolah-olah, Ahok sangat concern dengan problematika DKI. Dengan begitu, publik akan merasa diperhatikan. Muaranya mengalirlah simpati dan dukungan terhadap Ahok. Dan Ahok seakan menikmati suasana seperti itu.
Baiklah, Ahok memang tidak mempunyai motif politik dengan “sensasinya” itu. Tapi mengapa, setiap kali ada pernyataan dan penilaian kritis dari kompetitor atau publik selalu ditanggapi dengan counter atack yang tidak kalah menyentak? Apakah ini bagian dari kampanye untuk mematangkan ambisi personal yang tertanam dalam alam bawah sadar?
Di lain waktu, di acara Mata Najwa, misalnya, Ahok menjelaskan secara blak-blakan tentang semua kecurigaan dan tuduhan miring kepadanya. Ya tentang semua hal, termasuk korupsi Sumber Waras, tentang ambisinya, dan lain-lain. Publik pun disuguhi sebuah “testimoni”. Bagi saya, ini juga merupakan rupa-rupa kampanye.