[caption caption="Rame-rame Menebar Nazar Politik. Sumber: pribadi"][/caption]
Oleh : eN-Te
Jokowi dan kini Ahok, oleh sebagian orang dipersepsikan sebagai “bayi” yang tak diinginkan kelahirannya di pentas politik negeri ini. Karena tidak diinginkan, maka sebagian orang gagal bergerak maju (move on) dari rasa kecewa.
Kekecewaan yang mungkin saja hampir tidak bisa disembuhkan, sehingga membuat sebagian orang dari komponen bangsa ini menjadi frustasi, bahkan menderita penyakit akut, rasa sakit yang tidak sembuh-sembuh. Terutama orang-orang dan kaum oportunis yang menginginkan kekuasaan, tapi gagal meraihnya karena keliru dan salah menentukan pilihan sehingga harus menelan ludah dalam-dalam.
Bahwa setiap orang dari warga bangsa ini memiliki hak konstitusional yang sama untuk dipilih dan memilih. Apakah ia sebagai warga negara pribumi maupun warga negara keturunan, sebagai warga negara mayoritas ataupun warga negara minoritas, sepanjang diakui dan dijamin oleh konstitusi maka melekat padanya kedua hak tersebut.
Artinya seseorang warga negara memiliki hak konstitusional untuk memilih dan dipilih. Bila ia tidak memiliki kesempatan untuk dipilih, maka masih ada hak (kewajiban) konstitusional lain untuk memilih orang yang akan dipilih sesuai dengan pilihan politiknya.
Dalam proses ini, berlaku hukum probalistik, keserbakemungkinan, bisa tepat dan bisa juga keliru, bahkan salah.
Sayangnya belum seluruh warga bangsa ini dapat memahami aksioma konstitusional ini. Masih secara telanjang sebagian komponen bangsa ini tidak rela dan mau berbesar hati untuk menerima realitas sosial dan politik di sekitarnya. Bahwa bangsa ini dibangun di atas keberagaman (pluralitas). Keberagaman atas dasar suku, agama, ras, etnis, dan budaya.
Kegagalan dalam memahami keberagaman sosial dan politik ini membawa konsekuensi terjadinya gesekan. Gesekan itu timbul karena masih ada sebagian kelompok bangsa ini yang merasa lebih superior dan lebih berhak memiliki bangsa ini ketimbang kelompok sosial dan politik lainnya.
Karena merasa memiliki kekuatan mayoritas dan merasa lebih berhak sehingga enggan menerima kelompok sosial dan politik lain dari komponen bangsa ini, baik perorangan maupun kelompok untuk memberikan kontribusi dalam membesarkan dan memajukan bangsa. Meski komponen bangsa, baik perorangan atau kelompok itu, yang kebetulan menyandang label minoritas memiliki “keunggulan”.
Akibat lanjut dari gagal memaknai aksioma konstitusional dapat mendorong seseorang atau kelompok-kelompok tertentu atas nama hak (sebagai mayoritas) kemudian menyerang orang atau kelompok lain dengan sentimen primordial (baca: SARA). Sesuatu yang sudah disepakati oleh founding fathers agar tidak menjadi alasan untuk menolak kehadiran mereka dalam turut serta berpartisipasi membangun negeri.